Bhagawad Gita

Bab 01 s/d Bab 18

Bab 01 Gundahnya Sang Arjuna
Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Kreshna. Berkatalah Dhristarashtra :
1. Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. “Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma.” Kata dharma berasal dari kata “Dhru” yang berarti “pegang.” Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Dan Kshetra berarti padang, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa. “Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas “tanahnya para Kuru” dan juga ‘”putra-putraku,” tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup ini.
Berkatalah Sanjaya :
2. Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata.
Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir hayatnya.
3. Lihatlah wahai guruku, barisan laskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.
Yang dimaksud “murid yang bijaksana” di sini adalah Dhristadyumna. la adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para Pandawa Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada, kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.
4. Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul, dari Bima, Arjuna dan yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.
5. Juga Dhrishtaketu, Chekitana dan raja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti wirawan.
6. Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.
Bima : Putra kedua dari Pandu. yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Kreshna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna). la dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanannya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.
7. Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,
“Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali” adalah ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi “lahir” lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.
8. Pertama-tama Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra Somadatta.
9. Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.
• Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih “kakek” para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terikat sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya Drona, Karna diangkat menjadi panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik Duryodana.
• Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.
10. Tak terhitung jumlah laskar kita yang dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka sangat mudah untuk dihitung.
Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.
11. Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.
Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.
12. Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakan-akan auman dahsyat seekor singa.
13. Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini.
14. Kemudian, duduk di kereta perang nan agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.
15. Sang Kreshna meniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra,
16. Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
• Raja Yudhistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti “kemenangan tanpa akhir” atau juga disebut “suara-kemenangan.”
• Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti “bersuara indah.”
• Sahadewa (Sadewa): Putra Pandu yang paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti “mutiara yang mekar” atau “bunga-bunga mutiara,” karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang indah.
17. Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah, kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata dan Satyaki (Setiaki) yang tak terkalahkan.
18. Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.
Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya ia seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah sais kereta perang pribadi Sang Kreshna.
19. Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.
20. Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman, memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai, Arjuna memungut busur panahnya.
21. Dan berkata kepada Sang Kreshna:
Berkatalah Arjuna :
22. Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.
23. Ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati iblis itu.
Berkatalah Sanjaya :
24. Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.
25. Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya.
Berkatalah Kreshna :
Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).
26. Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh (kakek-kakek), guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
27. Juga terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.
28. Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.
Berkatalah Arjuna :
Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang.
29. Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
30. Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar.
31. Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
32. Tak kuinginkan kemenangan, oh Kreshna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini ?
33. Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.
34. Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.
35. Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh, oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini ?
36. Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa ini.
37. Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana mungkin kita ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam “ke akuan” nya. Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri’1 Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.
Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: “Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia tidak akan menjadi muridKu.” Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua miliknya,” kalau sudah memilih jalanNya.
Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam “rasa-iba” atau perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat seorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa “welas-asih,” dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan Ilahi,” dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma.
Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. la lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah “bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu.” Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperanglah terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.
38. Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.
39. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna – bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?
Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada habisnya.
40. Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.
41. Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.
Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.
Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.
42. Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang berbentuk bulatan terbuat dari beras).
Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.
43. Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.
44. Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barang siapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.
45. Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.
46. Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.
Berkatalah Sanjaya :
47. Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.
Arjuna sebenamya adalah seorang kshatrya yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. la sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa.
Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta.
Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).
Sang Kreshna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.
Inti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita adalah “berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan.” Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang disebut juga Arjuna Vishada Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya.
Bab pertama disebut “Vishada Yoga.” Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam, maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: “Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan, “Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?” Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?” dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita,
Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. la (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]


Bab 02 – Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita
Berkatalah Sanjaya :
1. Sang Kreshna pun penuh dengan perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi.
Berkatalah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih :
2. Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!
3. Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!
Berkatalah Arjuna :
4. Bagaimana mungkin, wahai Kreshna, daku menyerang Bhisma dan Drona dengan panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Kreshna?
5. Lebih baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah!
6. Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik – kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka).
7. Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku), serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah daku.**
Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kshatrya. Dan puncak dari keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada Sang Kreshna agar ditunjukkan jalan yang benar dan pasti.
* Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan’: inilah kira-kira yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk seorang jignasu (seseorang yang mencari): pertama-tama ia akan masuk dalam tahap “mencari,” kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang “anak” dari sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam suatu tahap yang “tenang” dan tidak lagi dalam keadaan “depresi.”
** ‘Ajarilah daku’ dalam bahasa Sansekertanya adalah “shadhi mam” yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu “shakti atau “energi” di dalam diri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah seorang Guru yang sejati. Carilah dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan untuk berbantah-bantah, seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa- dan ragamu dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan dengan berdebat kepadanya.
8. Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan, walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa.
Berkatalah Sanjaya :
9. Setelah ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna berkata kepada Sang Kreshna: “Aku tak akan berperang.” Dan dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung berdiam diri.
Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah satu “guru” kita.
10. Kemudian Sang Kreshna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara kedua laskar ini.
Kreshna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan Arjuna sebenarnya adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya. Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk mencapai suatu “pengertian” tentang hidup ini.
Sang Kreshna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna harus melalui proses “habis gelap terbitlah terang.” Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya. Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang akan menuju ke arah kehancuran total.
Sang Kreshna tersenyum karena apa yang diutarakan oleh Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad. Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang sebenarnya. Apakah dharma itu sebenarnya? Arjuna alpa akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat ritual; bagi Sang Kreshna dharma adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
11. Dikau bersedih hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana. Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk yang telah tiada.
Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan kebodohan, Arjuna tidak sadar akan arti hidup dan mati yang sebenarnya, kedua-duanya adalah permainan Sang Maya (Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati. Seseorang yang bijaksana akan terus jalan dalam hidup ini penuh dengan dedikasi akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan berbagai cara yang baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan maupun kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam suatu pelayarannya pernah berteriak, Lajulah terus, terus dan terus. Di dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lain.
Bab ini disebut Sankhya Yoga yang berarti yoga Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad. Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.
12. Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir.
Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan masa pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontaminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang “nyata” dengan yang “tidak nyata.”
13. Sang Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.
Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada akhirnya.
14. Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).
Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.
15. Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan –tidak terusik oleh kedua-duanya — ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati, oh pemimpin diantara anak-anak manusia (Arjuna)!
16. Yang tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pernah ada habis-habisnya. Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran.
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman terus berkelana tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah sat: Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja dengan Yang Maha Pencipta. Seorang penyair Barat yang terkenal di dunia pernah menulis:
Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu,
Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang berterbangan.
Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan pelangi berwarna- warni,
Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi. (Percy Bysshe Shelley)
17. Tiada seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pernah Binasa, Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia tak akan pernah bisa dihancurkan.
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini adalah Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman). Raga kita akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pernah binasa karena Ia abadi.
18. Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi. Jadi berperanglah, oh Arjuna!
19. Seseorang yang berpikir bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir ia terbunuh kedua-duanya tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang sebenarnya dapat membunuh atau terbunuh.
20. Tak ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati. Tak ada seorangpun sebenarnya yang hilang atau terhenti proses hidupnya (eksistensinya). Ia tak pernah dilahirkan, bersifat konstan, abadi dan telah ada semenjak masa yang amat silam. Ia tak pernah mati walau raga habis terbunuh.
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah mengatakan tentang Atman sebagai berikut: “Aku datang, lewat dan berputar lagi.” Sedangkan Yesus pernah bersabda kepada orang-orang Yahudi, “Ye are gods” (Engkau semuanya adalah dewa-dewa). “Barangsiapa mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini,” kata filsuf terkenal Lao Tse dari Cina, sedangkan seorang sufi terkenal pernah berkata, “Inti dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri.”
21. Seseorang yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi, tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti, bagaimana mungkin orang seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang lain jadi pembunuh?
“Seseorang yang mengenal Jati Dirinya,” sadar Dirinya hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi, inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
22. Seperti seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru, begitupun Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang baru.
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai seseorang yang pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah jalan kehidupan Sang Jiwa dari raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga berbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan, raga-raga lainnya yang bertebaran di laut, bumi di sistim planet-planet lainnya atau di mana saja di seluruh alam semesta yang tanpa batas ini. Dan bentuk raga ini bisa saja yang berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, makhluk-halus, dll, semuanya sesuai kehendakNya dan alur karma kita sendiri.
23. Tidak ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat mengeringkanNya,
24. Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-lamanya.
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang sangat unik, tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau pun binasa.
25. Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah – begitulah Ia disebut. Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.
Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan duniawi ini yang aneka-ragam corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik. Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan terasa amat jauh. Sebenarnya la amat dekat di dalam diri kita sendiri. Kenalilah Dia !
26. Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati.
27. Karena sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir. Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan semestinya ini.
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang akan terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak ada jalan lain, yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan lain, takdir sudah mengaturnya begitu. Yang penting adalah kesadaran untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kepada Ilahi, bukan karena terpaksa.
28. Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami. Setelah mati mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan ini lagi. Jadi untuk apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna?
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian kita dan orang-orang disekitar kita saja. Sebelum dan sesudah itu gelap dan tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu. Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung terus tanpa henti-hentinya. Lalu untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.
29. Ada yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti apa Ia sebenarnya.
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka untuk kita semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri. Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah tersandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya sedikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini.
Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita lalu mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya? Sebenarnya Yang Maha Kuasa memberikan kita kebebasan untuk memilih. Sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah menjadi urusan pribadi kita yang tak dapat diganggu-gugat. Seharusnya kita melepaskan semua unsur ego baik yang positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan jujur dalam segala aspeknya. Dan seperti juga orang-tua kita yang akan selalu membimbing kita dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih, yang menjadi masalah adalah kita menganggapNya Ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia sebenamya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita masing-masing yang juga adalah DiriNya sendiri. la hadir selalu dalam diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
30. Ia yang bersemayam dalam setiap makhluk – adalah Kehidupan dalam setiap makhluk — Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk makhluk apapun juga.
Yang dimaksud Sang Kreshna di sini, adalah Sang Arjuna boleh saja memikirkan dan memperhatikan semua makhluk di dunia ini, malahan itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang bersemayam dalam setiap makhluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa walau apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih, karena kesedihan itu sia-sia belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap makhluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna atau kita semuanya.
31. Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang kshatrya, daripada suatu perang demi kebenaran.
Dharma demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang kshatrya yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah Mahabarata tertulis, “Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang kshatrya” dan juga tertulis di bagian lainnya, “Hanya ada dua tipe manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi matahari: yang pertama adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kedua adalah para kshatrya yang mati dalam peperangan membela kebenaran.” Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang demi kebenaran maka kita sedang menuju ke arahnya, Yang Maha Pencipta.
32. Berbahagialah mereka para kshatrya, yang harus berperang demi kebenaran — terbukalah kesempatan ke sorga tanpa mereka minta.
Sang Kreshna di sini menegaskan bahwa berperang/mati demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini berarti bahwa berperang demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa. Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini, dari segala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berprikemanusian dalam prilaku manusia. Sesuatu bentuk pcmerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak benar lainnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua itu bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
33. Dan seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan mengabaikan kewajiban dan kehormatan, dan dikau akan dikejar-kejar oleh perasaan salahmu itu.
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas yang besar dan suci. Sebagai seorang kshatrya, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya ini, maka ia akan kehilangan segala kehormatannya.
34. Setiap orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang terhormat, penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.
35. Para pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang menghormatimu akan memandang rendah padamu.
36. Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh musuh-musuhmu, semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi. Adakah yang lebih menyakitkan dari semua itu?
37. Seandainya dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka. Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini, maka dikau akan menikmati bumiloka ini.
Jadi bangkitlah wahai putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini.
38. Samakanlah rasa nikmat dengan derita, laba dengan rugi, menang dengan kalah, bersiaplah untuk yudha ini. Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh dosa.
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Kreshna menyindir rasa ego dan tanggung-jawab Arjuna pada dharma yang sebenarnya. Di sloka atas ini Sang Kreshna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan tugas yang amat suci bagi seorang kshatrya demi Yang Maha Esa dan kebenaran.
39. Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan), dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu.
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur sekali pun. Sedang yang dimaksud dengan Yoga di sini, adalah llmu pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Tetapi semua dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya-intelek (budhi) kita dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini sebenarnya sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka, maka secara tahap demi tahap kesadaran kita akan meningkat dan kita akan melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).
Seorang Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, tetap sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini. Seorang Buddhi-Yukta yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya, akibat dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya.
40. Di jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar.
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran) ternyata akan melepaskan kita dari samsara, yaitu penderitaan di dunia ini yang tak ada habis-habisnya. Karena jalan akhir dari dharma adalah kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas.
41. Budhi (Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas dalam dharma-bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah seakan-akan tiada habis-habisnya.
Budhi adalah suatu kesadaran total seseorang; yang memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja, yaitu bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga. Sedangkan bagi mereka yang belum sadar, maka cara atau pola berpikirnya pasti didasarkan oleh kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego dan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi nafsu mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka. Budhi bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta (aneka ragam tanpa habis-habisnya).
42. Kata-kata manis diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat membedakan, yang tidak bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang memuat: “yang ada hanyalah ini saja!”
Disinilah kita harus mencamkan sabda Sang Kreshna di atas ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri. Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata indah dalam weda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau tidak didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.
43. Mereka-mereka ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan akhir mereka adalah sorga. Akibatnya mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan dan kekuatan duniawi.
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing, tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara, melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka. Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan yagna, pengorbanan atau sesajen).
44. Budhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan unsur-unsur duniawi (seseorang).
45. Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis guna (kualitas atau sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari ketiga kualitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi. Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri – Gurumu!
Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau jenis kualitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu sifat yang penuh dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan. Yang kedua disebut sifat raja, yaitu sifat atau aktivitas yang sifatnya menggebu-gebu, juga suatu bentuk sifat yang selalu ingin memiliki atau mengetahui hal-hal yang baru, dan sifat-sifat lain yang pada dasarnya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini identik dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa henti-hentinya, tanpa batas. Sifat yang ketiga disebut Jama, yaitu sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks-maniak, sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya. Ketiga sifat ini hadir dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya. Sang Atman adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.
Sebenarnya di sini Sang Kreshna sedang menganjurkan kita semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma bhakti. Caranya adalah dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Juga membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva Ilahi. Dengan kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa, puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman), yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia semata.
46. Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang terletak ditengah-tengah genangan air banjir (bah).
Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi sekadar simbol saja. Di sloka di atas , diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi seorang Brahmin yang sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah melewati semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.
47. Engkau hanya berhak untuk bekerja, tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir (imbalan dari pekerjaan ini), dan jangan juga sekali-kali engkau tidak bekerja.
Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita, tetapi pasrahkanlah hasil-akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata. Semua hasil atau efek dari perbuatan ini adalah la yang menentukan dan akan terjadi sesuai dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus diambil hikmahnya dengan tulus.
48. Lakukan tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai dan penuh rasa bimbang adalah suatu yoga.
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya. Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang baik dan seterusnya. Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.
49. Pekerjaan demi suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu. Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.
Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala unsur-unsur duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang itulah yang diajarkan oleh Sang Kreshna. Janganlah seseorang bekerja demi nama, rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, sebagai bhakti kita kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang pembersih sampai ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada imbalan atau efek yang akan diterima. Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita bekerja tanpa pamrih.
50. Ia yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta (yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan mengesampingkan semua yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh harapan akan suatu imbalan.
Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup ini suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya. dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang baik atau alat yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua makhluk, semua unsur baik dan buruk pada setiap makhluk. Orang semacam ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha Esa, dan selalu minta dituntun sesuai dengan kehendakNya semata. Orang semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya,
51. Mereka-mereka yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka; lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.
Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari segala nafsu duniawi dan budhi (daya intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan jiwa kita. Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti dan gnana (kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:
1. Karma-yoga : menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatan baik secara mental maupun secara fisik kepadaNya.
2. Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan timbullah kebijaksanaan Ilahi.
3. Lepas dari ikatan lahir dan mati.
4. Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.
52. Sewaktu kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha), maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan apa lagi yang akan kau dengar.
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenarnya akan semua tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di weda-weda.
53. Sewaktu kesadaranmu, yang salah mengerti tentang shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam).
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi adalah dialog atau pertemuan diantara kita dan Sang Atman. Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari segala keterikatannya dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas keagamaannya. Semua tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan menyerahkan hasil dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan efek-efeknya kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya sebagai kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena ia tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan/perbuatannya, maka selalu ia berpikir semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.
Berkatalah Arjuna :
54. Apa saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman, oh Kreshna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia berjalan?
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran Ilahi ini. Sang Kreshna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka 55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini duduk. Di sloka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58 tentang caranya ia bergerak dalam hidupnya.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
55. Sewaktu seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut sthita-prajna, seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.
Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman) dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang dihadapinya.
56. Ia yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari rasa ketakutan dan marah, adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan.
57. Ia yang tak terikat dari sisi mana pun juga, yang tidak pernah benci maupun cinta pada suatu obyek, yang bertindak secara netral terhadap suatu yang adil maupun yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam kebijaksanaannya.
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan di sekitarnya. la berdiri di atas semua faktor baik yang negatif maupun positif. Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan setiap orang. Bukannya lalu berarti ia sudah lemah jalan pikiran atau tindak tanduknya, tetapi ini justru merupakan ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpanya dianggap biasa-biasa saja baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.
58. Ia yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari segala jurusan, ibarat seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya, adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam kebijaksanaan.
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari luar, karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini. Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai “bersemedi di dalam tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya.”
59. Obyek-obyek sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya. Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah melihatNya (Yang Maha Esa).
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga berarti menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang. Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala-galanya dan Yang Terindah.
60. Oh Arjuna! Organ-organ sensual yang terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempurna.
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan oleh Sang Maya.
61. Dengan mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera mencapai kesadaran yang tegar.
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan semua unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun batin, dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi yang tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin ini adalah dengan bermeditasi secara tekun.
62. Seandainya seseorang mengarahkan pikirannya ke arah obyek-obyek sensual, maka ia akan menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek ini. Dari keterikatan ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa amarah.
Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang duniawi akan terikat kepada hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa amarahnya, rasa-kesal, dan memuncak menjadi angkara-murka. Jadi yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai keinginan kita tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah sebenamya terdapat benih atau asal dosa.
63. Dari marah timbullah angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran (buddhi) kita, dan dengan hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa.
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat kita dan rasio kita porak-poranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan buruk, dan pada skala besar kalau kita jadi tersesat karenanya, maka lupalah kita akan tujuan kita lahir ke dunia ini. Itu berarti binasalah kita secara spiritual.
64. Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin, yang bergerak di tengah-tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur.
Bhagavat Gita menganjurkan kita semua untuk mengendalikan (bukan menghentikan) semua organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi) adalah percuma atau sia-sia saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi ini dengan mengendalikan diri kita sendiri, maka akan sampailah rasa perdamaian atau ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang betul-betul luhur dan bersih.
65. Setelah mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam ini akan segera mencapai keseimbangan yang stabil.
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya, maka jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka. Sedangkan bagi yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang abadi dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang stabil dan tidak condong menurun ke satu arah.
66. Untuk yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi. Dan kalau tak ada konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia akan memiliki kebahagiaan?
67. Sewaktu pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna (kebijaksanaan, kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di lautan.
68. Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah terkendali dari obyek-obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai keteguhan.
69. Apa yang merupakan malam bagi semua insan, bagi seorang yang penuh disiplin dirasakan sebagai pagi hari. Dan apa yang merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang yang telah mencapai kesadaran penuh).
Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam tidurnya Sang Maya, tetapi seorang muni akan tegar terbangun dan bernafas dalam kesadarannya. la acuh saja terhadap ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan merupakan kebutuhan yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka tanpa kendali. la terpejam untuk duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah Ilahi dan cinta-kasihNya Yang Agung, yang tak pernah kunjung habis.
70. Seseorang yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan yang selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini. Orang ini akan mencapai kedamaian, bukan ia yang memeluk erat-erat nafsu-nafsunya.
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan yang lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang karenanya dan selalu dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah tercemar ini, bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan oleh alam itu sendiri. Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar jiwa-raganya demi dedikasinya kepada Yang Maha Esa. la akan selalu kuat menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang abadi.
71. Seseorang yang melupakan semua keinginannya dan bertindak lepas dari segala hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun ia pergi ke arah damai.
72. Inilah daerah suci (brahmishiti), oh Arjuna! Setelah mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya. Barangsiapa, bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi) ini, maka ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang Ilahi.
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenamya adalah kondisi atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud ini seseorang pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang telah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi duniawi dan Sang Atman akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia ini ke arah sempurna dan kesucian. Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan langsung berakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan menuju ke Yang Maha Esa, yang menjadi tujuan akhirnya, dan perlu kembali lagi ke dunia yang penuh dengan penderitaan ini.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab kedua
yang disebut Sankya Yoga atau yoga mengenai ilmu pengetahuan.

Bab 03 – Jalan Aksi (atau Tindakan)
Berkatalah Arjuna :
1. Sekiranya Engkau berpikir, oh Kreshna bahwa kesadaran (atau pengetahuan) itu lebih baik daripada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?
Di sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan ajaran Sang Kreshna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Kreshna ini nampak berkontradiksi. Arjuna berpikir bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan. Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Kreshna akan dharma-bhakti setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.
2. Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.
Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Kreshna pun lalu mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:
3. Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi.
Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan atau yang disebut aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna, tetapi sebenarnya intisari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja, tergantung pemakainya saja.
Ilmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada hanyalah masalah disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi. Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin), karena ilmu pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat Gita sebagai berikut: “Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus,” tetapi menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang hidupnya sebagai seorang sanyasi dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya. Raja Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.
Dengan kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga adalah sininimus, atau sama saja artinya. Menurut para guru agama Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku. Seorang gnani bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak buku bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung, bukan dari buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang pertapa, seorang yang dapat melihat kebenaran. la bukan seorang penyair atau pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar atau lihat. la berbicara atau menulis karena ia merasakan dan melihat kebenaran itu secara langsung dan sendiri. la memiliki sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung.
Tidak ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses di dalam hidup kita ini. Gnana berarti menyadari diri kita sendiri. Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau kebijaksanaan biasanya datang pada waktu-waktu yang hening. Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak timbul kesadaran dan kebijaksanaan.
4. Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan dengan hanya berpasrah diri.
Idealnya seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara duniawi. Dan kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita, tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga. Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif. Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan selama tidak bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.
Siddhi adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan siddhi ini adalah:
a. la memiliki disiplin yang kuat sekali dalam mengendalikan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekali pun.
b. la telah belajar dan sadar bahwa “egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu.” Ada dua jalan ke arah siddhi ini:
i. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan
ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Agar pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka perlu sekali untuk mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita. Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya: uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi, hanya Sang Atman yang abadi. Dan pikiran semacam ini harus betul-betul dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.
Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan menghasilkan seseorang yang selalu gembira, bercahaya roman-mukanya, penuh dengan enersi dan dinamik tindak tanduknya. Pikiran-pikiran yang negatif tak akan membantunya sama sekali, tetapi positif dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan tak terpengaruh duniawi akan menghasilkan energi yang positif bagi seorang yang gemar bermeditasi.
Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan, karena dari sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif bagi sang murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa ini adalah selain jiwanya betul-betul telah tenang tak tergoyahkan, juga ia tak akan pernah berpengaruh oleh semua kejadian-kejadian di dunia ini.
5. Tak seoranq pun dapat lepas dari suatu aksi, walaupun hanya sejenak; karena setiap orang tanpa dikuasainya harus bertindak sesuai dengan guna-guna (sifat-sifat alami pembawaannya) yang lahir dari prakriti (alam).
6. Seseoranq yang nampak tenang, tidak bertindak apapun dengan organ-organ sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir justru obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini disebut orang yang munafik.
Aksi perbuatan atau karma adalah suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup dengan baik kalau tidak bertindak atau bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir. Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang hal-hal yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan “aku” dan “punyaku.” Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat bekerja selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain selain mendengar, dan badan kita tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak kita tak dapat bekerja selain berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan, tetapi kembali ke “alam” (prakriti) dan tindakan alami.
Dalam “alam” ini ada tiga chakra atau tiga pusat energi. Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini dengan kata lain disebut sifat sattva, raja dan tama yang merupakan pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Dan sekiranya diluar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi ini, maka orang semacam ini disebut oleh Sang Kreshna sebagai manusia yang munafik. Contoh: seorang yang dianggap suci seperti pendeta, misalnya, yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali melihat gadis cantik langsung terangsang gairah seksualnya. Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan pikirannya, dan inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa. Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu pun pikiran-pikiran kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.
Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku suci dan membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti mantra-mantra suci, atau pada suatu dewa tertentu, atau pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang Atman, Sang Kreshna atau Sang Brahman secara langsung (Yang Maha Esa).
7. Tetapi barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya dengan pikirannya, oh Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya demi karma-yoganya (aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil.
Dalam karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa keterikatan secara duniawi. Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih, tanpa rasa memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang dikerjakan adalah manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.
8. Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu, karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak mungkin stabil tanpa suatu aktifitas.
Aktifitas adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan. kita duduk tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit karenanya.
9. Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia ini, kecuali kalau dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah, oh Arjuna, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan.
Setiap manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk penggantinya, maka dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan ini, yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata. Dengan kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban sebenarnya hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan ini akan timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi, karena semua hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk diolah dan ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya.
Di sloka diatas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan ini, yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna. Menurut Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yagna dapat berarti Vishnu, Sang Maha pengasih. Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian mungkin timbul pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah pekerjaan yang sejati. Pengorbanan selalu berarti “mengorbankan diri sendiri untuk orang atau hal lain,” dan berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah diri ini, atau masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego?
10. Pada masa yang lalu, Prajapati, Dewanya para makhluk-makhluk, menciptakan” manusia dengan suatu itikad yang penuh dengan pengorbanan dan berkatalah dewa ini: “Dengan pengorbanan ini engkau akan sejahtera. Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk (sapi kemakmuran yang beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu).
Dewanya para makhluk yang dalam epik-epik Hindu kuno disebut Prajapati, yang menciptakan para makhluk di dunia ini; sewaktu menciptakan makhluk-makhluk ini ia mendasarkan pekerjaan ini pada suatu sifat pengorbanan yang tulus demi Yang Mata Esa karena Sang Dewa ini sadar bahwa semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah kehendak dan demi Yang Maha Esa semata. la mengibaratkan pengorbanan ini sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi yang dianggap suci dan terkenal sekali karena selalu beranak-pinak tanpa hentinya. Sang Dewa ini selalu menganjurkan manusia agar dalam segala tindak-tanduk manusia apakah itu suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan yang lain, agar selalu mendasarkan setiap tindakan manusia itu dengan rasa pengorbanan yang tulus. Jadi tidak bekerja demi diri semata tetapi demi suatu kehendak yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada di belakang setiap tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan tidak bukan adalah la semata. Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk perkembangan hidup kita, karena akan membersihkan jiwa-raga kita, dan hal ini betul-betul merupakan suatu tindakan spiritual yang tidak disadari oleh pelakunya. Secara lambat laun pelaku yagna ini akan dijauhkan dari segala mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan banyak hal-hal diluar dugaan dan pikirannya akan terjadi pada seseorang yang aktif dan tulus beryagna ini. Tetapi ingat ini bukan untuk digembar-gemborkan, tetapi harus dilakukan dengan tulus dan tanpa banyak cerita!
Yagna sebenarnya bukan untuk mendapatkan harta-benda duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih aktif beryagna secara duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang ke arah Yang Maha Esa. Semakin banyak yagna kita yang spontan dan tulus sehari-hari semakin dekat kita kepadaNya dan menyatu denganNya. Dan pengorbanan ini bukan satu jenis saja, misalnya dalam gnana-yoga yang dikorbankan adalah ketidak-tahuan kita. Dalam karma-yoga yang dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas kita. Dalam bhakti-yoga yang dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat yang saling berlawanan seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta, panas-dingin, dsb.
11. Dengan yagna, atau pengorbanan, berikanlah kepada para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta. Dengan saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang Utama.
12. Dengan mendapatkan pengorbanan, para dewa akan memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah dari para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka adalah betul-betul seorang pencuri.
Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan agama Hindu. Para dewa ini sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa-dewa ini dengan tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini. Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya. Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga dapat dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: “Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya la memasak untuk dirinya sendiri!”
Sekiranya sewaktu kita makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga bagi sesama makhluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita makan untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk anjing dan kucing piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu kehilangan sebagian dari harta-bendanya atau kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas orang yang berlebih-lebihan miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran atau rasa.
13. Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa. Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka makan hanyalah dosa!
Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda kita kepada sesamanya yang membutuhkannya dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka lambat laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnian diri kita pribadi.
14. Dari makanan terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan terbentuklah makanan; hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan pengorbanan lahir dari aksi (karma).
Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini kita seharusnya sadar bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengharapkan pahala atau pamrih.
15. Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi) timbul dari Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan.
Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma) dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendiri. Tangan-tangan dan kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta). Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan, manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau ada yang berbuat jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk menetralisir keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.
16. Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi. Orang semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia.
Seorang yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.
17. Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya sendiri, yang merasa cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya untuk orang semacam ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Seseorang yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati Dirinya sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, tidak perlu menyelesaikan pekerjaannya, ujar Sang Kreshna penuh makna. Maksudnya di sini bukan lain orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa kerja. Tetapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema bukanlah jadi beban lagi tetapi kewajiban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara mental ini berarti sama saja tidak ada pekerjaan untuknya semata. Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi seorang manusia, yaitu Sang Kreshna agar dapat secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah menemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman sesuai dengan kehendakNya.
18. la tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu. la tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai taraf kejiwaan ini benar-benar adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia melakukan sesuatu maupun tidak, ia tidak pernah merasa rugi atau untung karena tindakan itu, benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua tindakan tidak disangkut-pautkan dengan pribadinya. la bebas dari segala beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada suatu keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang Maha Esa semata. Baginya sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah terasa amat cukup. Hidupnya sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun disadarinya lepas sudah kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya, tetapi ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah satu, dan apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia semata.
19. Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu tanpa rasa keterikatan, karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan mencapai Parama Yang Tertinggi.
Bekerjalah selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Kreshna bagi kita semua. Dengan dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh seseorang terhadapNya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja ini akan mencapai kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja secara murni untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang diperolehnya. Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu, tetapi selalu akan bekerja sesuai dengan kehendakNya, dan bekerja tanpa keterikatan akan sukses atau tidaknya pekerjaan itu, bahkan tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa pamrih ini akan melepaskan kita dari ikatan-ikatan duniawi ini, dan bebaslah kita sesungguh-sungguhnya bebas.
20. Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar mencapai kesempurnaan dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan dasar kesejahteraan dunia ini.
Raja Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya. la juga adalah seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. la berhasil menguasai egonya dan pernah berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku yang hilang.” Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata. Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan bekerja terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius seorang filsuf Barat pernah berkata: “Seseorang tak akan pernah pergi ke sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana.”
21.Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang dilaksanakan oleh pimpinan itu.
Masyarakat selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa. Seandainya seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius, bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya, maka masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi seandainya seorang pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah dengan angkara-murka, dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para bawahan-bawahan menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya, akan bertindak sama. Karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh sang pemimpin, yang lambat laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh para pelaku-pelakunya.
22. Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja.
Yang Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini beserta seluruh isinya, tetapi la memberikan contoh yang baik dengan menitis menjadi Sang Kreshna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar jalan lurus ke arahNya.
23. Karena, kalau Aku tidak aktif, maka mereka-mereka yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!
Sekali lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar mereka-mereka yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam diri tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi harus tanpa pamrih.
24. Seandainya Aku berhenti bekerja, maka dunia ini akan runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan binasa.
25. Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi hasilnya, oh Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini.
Kontradiksi antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di sloka atas ini. Yang pertama bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja tanpa pamrih dan untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
26. Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah berdasarkan ilmu pengetahuan ini sesuai dengan kehendakKu dengan begitu memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.
Jangan mengusik atau mengkritik mereka-mereka yang terikat pada kehidupan dan pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha Kuasa yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya, untuk berperi-laku baik atau buruk.
Jangan sekali-kali kita meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau tindakan atau kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu proses atau tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga, tetapi karena “kebodohan” seseorang maka ia berjalan atas konsep atau pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah kekuatan Yang Abadi juga. Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dan membantu mengarahkan orang-orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa atau menertawakan kepercayaan orang lain.
27. Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya.”
28. Tetapi seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya adalah sifat-sifat alam ini.
Seseorang yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang bijaksana ini pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat alam yang disebut guna, dari Sang Prakriti. Sedangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih dan dapat lepas dari segala kegelapan, penderitaan dan kekotoran duniawi ini. Jalan ini menuju ke jalan “tanpa-pamrih.” Karena seseorang yang bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi sifat-sifat prakriti yang menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau tindakan. Sifat berinteraksi dengan sifat, dan benda berinteraksi dengan benda, Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.
29. Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat ini. Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang lain yang hanya mengerti sebagian kecil.
Seseorang yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih kepercayaan atau tindakan positif orang lain yang kurang mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain sesuai pengabdiannya kepada Yang Maha Esa.
30. Serahkan semua tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu bersandar pada Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah dari penyakit (mental) mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!
Dengan menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan-tindakan kita kepada Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya agar Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya. Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya karunia Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta duniawi dan sadarlah bahwa Ia juga yang hadir di setiap benda dan makhluk di alam semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam setiap tindakan selalulah berdoa, “Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa.”
31. Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan dan lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga akan lepas dari keterikatan kerja.
32. Tetapi mereka yang mencari-cari kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak bertindak seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan, sesat dan tak berpikiran sehat.
Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk menjalankan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini dengan konsekuen dan penuh kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan juga dengan menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena selalu merupakan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri kita, dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya. Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sang Kreshna ini.
33. Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan sifat-prakritinya. Setiap makhluk mengikuti sifat-sifatnya masing-masing. Menentang sifat-sifat ini tidak akan berarti apa-apa!
34. Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu hadir di setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya,
Adalah kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai kewajiban-kewajiban tertentu karena terasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan. Semua ini dapat di atasi secara lambat laun kalau mau kita mendisiplinkan dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang spiritual dan dengan penuh dedikasi bertindak dan melihat kedalam diri kita sendiri, Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat penting dan kuat pengaruhnya pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita masih hidup, tetapi sudah tidak terseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali sudah menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang Maha Esa.
Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa dualistik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu. Kita bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti. Prakriti hanya bisa menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita kecuali itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan positifnya. Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya secara perlahan tetapi pasti.
35. Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan (svadbarma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik mati dalam mengerjakan kewajiban seseorang. Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan mara-bahaya.
Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitupun sebaliknya.
Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual berkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana. Jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.
Berkatalah Arjuna:
36. Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat dosa padahal itu bertentangan dengan pikirannya, oh Kreshna, seakan-akan dihela oleh daya yang amat kuat?
Arjuna bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada guru-guru kita, mengapa seseorang berbuat dosa padahal di dalam hatinya mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut? Apa yang ada dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan?
Dalam jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sang Kreshna menunjuk bahwa manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis. Dharma atau kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang, tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa seseorang, kedua hal ini tidak digariskan, jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja. Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan apa yang harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus, lama kelamaan ia harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus, ia tak akan pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya.
Arjuna bertanya, “mengapa seseorang berbuat dosa padahal belum tentu ia mau melakukannya,” Sebenarnya hal tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam hatinya sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu. Seseorang yang dasarnya memang terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu duniawi ini akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang. Dengan kata lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
37. Keinginan (kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan keserakahan dan penuh dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini.
Ada dua musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha). Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap mereka!
Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tersebut dan, menguasainya secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman sang Maya. Dan seandainya sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak terkendali dapat menghancurkan segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini adalah dengan mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh disiplin dan dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kewajiban kita kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.
38. Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti cermin yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus oleh kulit perut— begitu juga ini terbungkus oleh itu.
Asap selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita sehingga tak nampak cahayaNya dari luar.
39. Kebijaksanaan, oh Arjuna, juga terbungkus oleh api nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana.
Nafsu atau kama yang lapar dapat menjadi musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat imannya. Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah: “Nafsu tidak pernah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya. Semakin banyak yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram minyak.”
40. Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhi) adalah tempat-tempat nafsu itu bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang jiwa yang ada di dalam tubuh.
Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama ini meruntuhkan benteng pikiran kita dan kemudian masuk ke daerah buddhi (intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita. Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik-baik gerbang indranya dari segala cobaan. Setiap kenikmatan indra kita baik itu dari mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan menyelip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan menuju ke arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksana yang tercatat dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.
41. Seyogyanyalah, oh Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana,
Gnana dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang lalu dengan berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran kita harus bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan pikiran atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu keinginan akan segera menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana dan vignana) yang telah kita bina sedikit demi sedikit.
42. Indra-indra kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi kadar buddhi. Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang Inti Jiwa kita).
Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama yaitu indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan lambat laun dari buddhi ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa. Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu dengan Yang Maha Pencipta.
43. Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang lebih tinggi). dan bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar untuk dikalahkan.
Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja, tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu anda mengira bahwa anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan. Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa pamrih; tanpa suatu usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus diperhatikan dari sabda-sabda Sang Kreshna ini adalah bahwa sang musuh ini selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita di saat kita lengah atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang benar.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ketiga yang disebut Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang tindakan (atau pekerjaan).

Bab 04 – Doktrin (ajaran) Rahasia
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Ilmu pengetahuan yang tak dapat habis ini Kusabdakan pada Vivasvan; Vivasvan menyabdakannya kepada Manu; dan Manu menyabdakannya kepada Ikshvaku.
2. Begitulah pada masa yang silam para guru (resi) agung mengenal ilmu pengetahuan ini, dari satu ke yang lainnya, tetapi dalam kurun waktu yang lama kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia, oh Arjuna.
Sri Kreshna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah Adiguru yang Pertama yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada mereka-mereka yang pantas menerimanya di masa-masa yang lampau. Yang pantas menerima disebut adhikari, dan adhikari yang pertama adalah Vivasvan (Batara Surya), Dewa Cahaya. Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia yang pertama) yang dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan. Manu kemudian menurunkan ajaran ini kepada Ikshvaku, seorang raja Hindu di India pada masa yang amat silam. Ajaran sejati ini amat kuno sifatnya, tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya diajarkan kepada para adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan spiritual Ilahi. Para guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir atau filsuf dan raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan hidup mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.
3. Dan yoga (ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan kepadamu hari ini, karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu. Inilah rahasia yang amat agung sifatnya.
Berkatalah Arjuna:
4. Kelahiran Dikau berlangsung kemudian, sedangkan Vivasvan terlahir lebih awal. Lalu bagaimana mungkin daku dapat memahami bahwa Dikaulah yang pertama kali menyabdakan yoga ini pada masa awal dunia ini dibentuk?
Tentu saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan duniawinya Sang Kreshna yang sebenarnya adalah pamannya sendiri berasal atau lahir pada kurun waktu yang sama dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara Surya lahir berjuta-juta tahun yang silam. Lalu bagaimana mungkin Sang Kreshna mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai balasan atas pertanyaan ini, Sang Kreshna pun mengajarkan mengenai inkarnasi (avatarvad) dalam ajaranNya yang agung di bawah ini.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
5. Banyak kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu, oh Arjuna! Aku mengetahui semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan kelahiran-kelahiran itu.
Kelahiran Sang Kreshna tidak seperti kelahiran manusia biasa, kelahiranNya bebas dari segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala karma dan selalu dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci, yaitu penyelamatan makhluk-makhluk dan dunia ciptaanNya. Sebaliknya jiwa manusia selalu dibatasi oleh hadirnya ketiga guna (sifat prakriti), dan akibatnya tak pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang lampau. Dilain sisi, raga kita ini harus menjalani karmanya. Tetapi bagi Yang Maha Esa, tak ada masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang. Baginya semua adalah sekarang, karena Ia hadir sepanjang waktu, dan kelahiranNya sebagai manusia atau makhluk di bumi ini selalu karena terdorong faktor KasihNya pada makhluk-makhluk yang harus dilindungiNya.
6. Walaupun Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak terbinasakan, dan walaupun Akulah Pencipta (Penguasa) semua makhluk; menghadirkan DiriKu kedalam SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu.
Ia tak pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. la juga Pencipta semua makhluk dan alam semesta ini, dan la juga yang mengendalikan Sang Maya dan bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan kekuatanNya semata. Yang Maha Pencipta ini sempurna dalam segala hal, tetapi mau juga Ia bereinkarnasi sebagai manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna dan penuh dengan keinginan-keinginan duniawi. Sebenarnya tidak pantas ditinjau dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi Ia melakukannya juga demi makhluk-makhluk dan manusia yang dikasihNya. Inilah kebesaranNya.
Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang disebut Bhagavatta dapat kita baca kelahiran Sang Kreshna sebagai manusia itu ibarat terbitnya bulan purnama di ufuk timur. Jadi seperti sesuatu episode yang sudah direncanakan secara khusus dan indah, dan bukan karena suatu efek karma.
7. Pada saat-saat dharma (kebenaran) turun ke titik yang rendah, dan kezaliman (tindakan adharma) menanjak mencapai puncaknya, maka Kuproyeksikanlah DiriKu.
Dikala adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia mencapai puncak dari kejahatannya, dan dunia penuh dengan kezaliman dan rasa keangkara-murkaan, maka Yang Maha Pengasih pun lalu memanifestasikan DiriNya, dalam bentuk manusia atau makhluk lainnya untuk kemudian meluruskan lagi jalannya Sang Dharma dengan ajaran-ajaran atau tindakan-tindakannya. Contoh-contoh ini banyak terdapat dalam pustaka-pustaka Hindu Kuno, seperti Sang Rama yang menghancurkan keangkara-murkaan sang Rahwana, dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran moral secara total.
Dalam sloka ini Sang Kreshna mengucapkan kata, “Kuproyeksikan DiriKu . . . ,” ini berarti Sang Kreshna atau Yang Maha Esa turun ke bumi ini, yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan tempat la bersemayam. Karena kasihNya kepada kita agar dapat bangkit lagi ke jalan yang benar, jalan dharma yang lurus dan suci. la turun sebagai titisan dari Sang Hyang Vishnu dari masa ke masa. Inilah Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk manusia dan segala makhluk-makhlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. Om Tat Sat.
8. Demi membela kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke masa.
Ia selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa ke masa, tetapi hukumanNya ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan kasih-sayangNya, karena sebenarnya dengan menghukum ini Ia menginginkan agar mereka-mereka yang tersesat ini kembali ke jalan dharma yang lurus dan suci. Hukuman dariNya sebenarnya dapat disiratkan sebagai suatu karunia yang terselubung bagi yang berdosa. Karena seyogyanyalah setelah selesai menjalani masa-hukumannya maka seseorang seharusnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan-kesalahannya, atau dihukum secara abadi tanpa ampun, maka habislah harapan orang tersebut untuk bertobat atau kembali ke jalan yang benar.
Berbeda mungkin dengan ajaran-ajaran yang lain, maka dalam agama Hindu, Yang Maha Esa selalu hadir dari masa ke masa untuk menyelamatkan evolusi manusia ini dan mengarahkan lagi umat manusia ke jalan yang benar, baik itu dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat Gita sebenarnya kalau ditelaah dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan harapan untuk mereka-mereka yang salah jalan; penuh dengan pengampunan dan Kasih-Ilahi yang tak terbatas. Om Tat Sat.
9. Barangsiapa mengetahui hal ini (Maksud Sang Kreshna: Kelahiran dan PekerjaanNya yang Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir kembali setelah meninggalkan raganya, tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna!
10. Bebas dari nafsu, ketakutkan dan kemarahan; penuh dengan DiriKu, berserah total kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh disiplin dan dedikasi… maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat DiriKu.
Setiap menitis (atau reinkarnasi) misiNya sudah jelas, yaitu mengajak kita manusia untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa, agar lepas dari beban lahir dan mati di dunia ini. Seseorang yang sudah lepas dari nafsu dan rasa amarah adalah yang jiwanya sudah penuh dengan Kenikmatan Ilahi. Orang semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas dari perputaran karma, dan langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava magatah).
Sang Kreshna tidak saja lahir sebagai manusia, sering sekali Ia pun datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam hidup setiap individu yang membutuhkanNya, yang memujaNya secara tulus dan tanpa pamrih. Ia datang dan berbisik, menuntun ke arah yang benar, sering sekali jalan dan cara menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan tak masuk akal, tetapi dibalik itu semua selalu tersembunyi hikmah dan akhir yang baik untuk sang pemuja ini. Bagi yang menyayangiNya dan yang disayangiNya maka bersihlah jiwa orang ini lambat laun dan akhirnya bersatu dengan DiriNya. Om Tat Sat.
11. Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!
Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yang diinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakan oleh Sang Kreshna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu ke arahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salah mengartikannya.
Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang Maha Esa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan tidak ada alasan lain untuk merubah atau mempengaruhi orang yang beragama atau berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. Seorang Hindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa.
12. Mereka yang mengingini sukses di muka bumi ini memberikan pengorbanan kepada para dewa (dan merekapun mendapatkan imbalan dari para dewa), karena di dunia ini sesuatu tindakan itu cepat mendapatkan tanggapan (hasil).
Tidak semua orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak yang memuja para dewa agar dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini pun segera memberikan tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka ini dan memenuhi permintaan mereka. Sebenarnya para pemuja ini secara tidak langsung dan tidak sadar memujaNya juga melalui proses yang panjang. Suatu waktu kemudian di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu kesadaran akan perlunya Yang Maha Esa dan mereka pun mencari dan memujaNya secara tulus dan penuh kesadaran. Yang Maha Esa dalam Bhagavat Gita tidak melarang seseorang untuk memuja para dewa, karena para dewa juga datang dan berasal dariNya. Semua ini hanya merupakan suatu proses panjang dalam tahap-tahap evolusi kehidupan manusia itu sendiri, bermula pada pemujaan kepada para dewa untuk maksud-maksud tertentu dan setelah itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus bahwa seharusnya yang dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu melalui jalan yang panjang. Seharusnyalah Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar tidak lagi melalui dedikasi yang tulus, sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini kita bisa langsung menuju ke arahNya.
13. Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuai dengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja). Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapi ketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).
Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan semua ini bukanlah seperti anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku selama ini, yaitu seorang ditentukan kastanya karena status atau garis keturunnya, tetapi kastanya ditentukan kemudian setelah ia menentukan dengan sadar garis dan tujuan hidupnya dan sebagai apa ia akan bekerja sesuai dengan bakat dan kemauannya yang sejati.
Sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang luar. Di satu pihak orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman dan yakin terdapat satu Atman yang sama di dalam semua makhluk, di lain sisi banyak orang Hindu yang memutar-balikkan fakta-fakta tentang kasta ini dan menimbulkan diskriminasi sosial yang rawan. Sistim yang sebenarnya diciptakan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini seharusnya dijalankan secara sejati dengan membiarkan seseorang untuk memilih profesi kesukaannya secara sama derajatnya dengan profesi-profesi lainnya. Konsep Sang Kreshna bukanlah meninggi atau merendahkan derajat seseorang tetapi secara demokratis membiarkan setiap individu berkehendak masing-masing. Karena bisa saja seseorang yang lahir dengan kasta Brahmana secara duniawi ini mempunyai jiwa patriotik dan ingin mengabdi sebagai seorang keshatria dan begitu pun sebaliknya. Semua manusia didasarkan pada karma, sifat-sifat prakriti dan jalan hidupnya, bukan berdasarkan pada sistim kasta yang diskriminatif, atau jenis kelamin yang berbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini menegaskan bahwa la sendiri walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini tidak terlibat pada sistim ini maupun pada sifat-sifat prakriti.
14. Tidak ada tindakan yang dapat mengotoriKu; dan tidak pula Aku mengingini suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa yang mengenalKu seperti itu tak akan terikat oleh karma (aksi).
Sang Kreshna menerangkan sebuah paradox di sloka ini, yaitu tanpa bekerja pun Ia tetap saja mampu menciptakan karma dan guna. Tetapi setiap tindakanNya tidak seperti tindakan manusia yang selalu mengharapkan sesuatu pamrih untuk setiap tindakannya. Bagi Sang Kreshna setiap tindakan adalah cetusan dari rasa Kasih-SayangNya terhadap manusia atau makhluk-makhluk lainnya. Dan tidak ada satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke jalur karma karena Ia memang tidak terikat oleh karma yang diperuntukkan untuk manusia dan makhluk-makhluk di dunia ini. Dan barangsiapa menyadari akan status Sang Kreshna yang unik ini, maka orang yang sadar ini akan lepas juga dari lingkaran karma (hidup dan mati) ini. Sebenarnya Yang Maha Kuasa adalah dasar dari setiap tindakan kita, tetapi di mata manusia Ia tak pernah terlihat bahkan sukar untuk disadari kehadiranNya di dalam diri kita karena kegelapan yang menyelubungi diri dan jiwa kita. Walaupun Ia bertindak melalui diri kita, Ia sendiri sebenarnya tidak terlibat atau terpengaruh oleh tindakan-tindakan ini, yang merupakan tindakanNya Sendiri.
15. Mengetahui akan hal ini maka orang-orang dahulu kala telah bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maka seyogyayalah dikau pun bertindak seperti orang-orang di masa silam ini.
16. Apakah aksi (tindakan) itu? Dan apakan tidak bertindak (akarma)? Kaum yang bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini akan Kuberitahukan kepadamu apakah aksi itu; dengan mengetahuinya engkau dapat terhindar dari dosa (kesalahan).
17. Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu (perbedaan antara satu aksi dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang salah sifatnya (vikarma) dan apakah non-aksi (akarma) yang sebenamya.
Ketiga bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara benar agar tidak terjadi penyalahgunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau yang tidak mau mengerti dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini. Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan seseorang dalam hidupnya, dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan bagaimanakah seseorang harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam non-aksi misalnya?
18. Seseorang yang melihat non-aksi di dalam aksi, dan aksi di dalam non-aksi, maka diantara manusia orang ini disebut bijaksana (buddhiman). Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah), walaupun ia selalu penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan tindakan).
Seseorang yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya, dan aktif dalam ketenangannya adalah seorang yang bijaksana. Dalam setiap tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau tindakannya ia tak pernah mengharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun bekerja ia sebenarnya “tidak bekerja.” Karena setiap tindakan atau perbuatannya sekecil apapun juga selalu menjadi sembahan bagi Yang Maha Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau pekerjaan demi dan untukNya semata (ini disebut yagna atau aksi yang sebenarnya).
Acapkali kalau kita naik kereta-api atau kendaraan lain, maka pepohonan di kiri dan kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang bergerak adalah kendaraan yang kita tumpangi. Jadi yang nampak adalah ilusi. Sebaiknya kita pun dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang kita lakukan itu sebenarnya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak bekerja.
Dalam aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi kita praktekkan aksi. Non-aksi (akarma) sejati tidak berarti tidak bekerja sama-sekali. Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan sesuatu bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak diam-diam saja tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan sesuatu untuknya; berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi tetapi adalah vikarma (aksi yang salah). Akarma atau non-aksi yang sejati itu penuh dengan keharmonisan jiwa sang pelaku, orang semacam ini selalu nampak tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap tindakannya. Akarma yang sejati selalu penuh dengan kepasrahan total yang tulus kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma yang sejati ini selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun secara duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi secara moral tindakan manusia semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang agung sifatnya.
Raja Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia agung di masa yang silam, yang betul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu melihat aksi dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi yang sejati akan melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta duniawinya, juga dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk setiap kewajiban dan pekerjaannya. Inilah yang disebut pasrah total kepadaNya secara spiritual.
19. Seseorang yang bertindak bebas dari segala bentuk nafsu (kama sankalpa), seseorang yang setiap tindakannya terbakar bersih oleh api kebijaksanaan (gnana-agni) — orang semacam inilah oleh orang-orang yang bijaksana, disebut seorang pandita (seorang yang suci, yang sadar akan pengetahuan yang sebenarnya).
Sankalpa adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari kama dan nafsu. Pandit atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan sesamanya (loka-sangraho) di dunia ini, dan hanya merasa cukup dengan apa yang didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk pakai dan makan saja, itu pun sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa.
Gnana-agni adalah api ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan apakah itu ? Ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya dikerjakan tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada penerangan Sang Atman yang ada dalam diri kita sendiri. Api dari ilmu pengetahuan ini akan membersihkan semua tindakan kita dan membunuh nafsu-nafsu duniawi kita yang selalu butuh imbalan atau pamrih. Pandita semacam ini amat bijaksana, karena ia melihat aksi dalam non-aksi. Raga dan pikirannya selalu bekerja demi Yang Maha Esa dan sesamanya, tetapi untuk dirinya sendiri ia tak pernah bekerja.
20. Seseorang yang telah menanggalkan rasa-keterikatannya pada setiap tindakannya, selalu merasa cukup dengan apa adanya, tidak bersandar pada orang lain, orang semacam ini tidak melakukan apa-apa walaupun ia selalu aktif bekerja.
21. Tidak mengharapkan apapun juga, hati dan dirinya terkendali, menanggalkan semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja – orang semacam ini tidak bertindak dosa.
22. Selalu merasa cukup dengan yang didapatkannya, bebas dari rasa dualisme yang bertentangan (dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu, bersikap sama (balans) untuk setiap sukses atau kegagalan – walaupun ia bekerja ia tak terikat.
Orang semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan rasa tentram, tenang, damai dan selalu merasa cukup dengan apa adanya. Suka dan duka, sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati, dianggap sama saja olehnya. Tak pernah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat kesuksesan atau kekayaan atau pun kejayaan orang lain. Baginya apa saja yang diberikan oleh Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan terima-kasih kepadaNya untuk segala-galanya baik suka maupun duka. Semua tindakan orang semacam ini tak akan mengikatnya lagi ke dunia yang fana ini, karena orang semacam ini telah mendapatkan Karunia Ilahi yang tak terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan spiritual.
23. Seorang yang keterikatannya telah mati, yang telah bebas dari duniawi (mukta), pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan, yang mengerjakan pekerjaannya sebagai persembahan — maka mencairlah semua tindakan orang semacam ini.
Sang Kreshna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita bagaimana seseorang dapat lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu dengan melakukan suatu atau setiap tindakannya berdasarkan rasa tanpa pamrih. Atau dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah berbentuk persembahan bagiNya. Rasa ego kita selalu mengatakan ini punyaku dan itu pekerjaan hasil kerjaku, sehingga yang tercipta selalu adalah suatu keterikatan duniawi, dimana kita sendiri terikat dengan ke-aku-an ciptaan kita sendiri. Padahal semua ini bukan milik kita, karena dari mana kita datang dan kemana kita akan pergi pun sebenarnya tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti. Yang hadir hanyalah ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin bisa terjadi. Jadi sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif, tetapi jadikanlah pekerjaan itu sebagai suatu yagna (persembahan atau ibadah pengorbanan) baginya.
24. Seseorang yang terpikir bahwa tindakan pengorbanan itu Tuhan adanya. Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan oleh Tuhan pengorbanan itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang sadar akan Ketuhanan dalam pekerjaannya.
Sloka di atas ini merupakan suatu pesan yang amat dalam artinya. Secara amat sederhana dapat diartikan bahwa apa yang kita kerjakan, yang kita lihat, yang kita korbankan adalah Ia juga. Jadi semuanya di dunia ini berasal dari Ia, untuk Ia, dan oleh Ia. Jadi dalam segala hal sebenarnya hadir Yang Maha Esa, dan tanpa la tak ada apapun di dunia ini. Secara langsung menurut Bhagavat Gita, semua itu Ia juga adanya. Seorang yang secara sejati bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat fakta ini dalam setiap tindakannya. (Biasanya sloka di atas ini dipakai oleh orang-orang Hindu sebelum menyantap makanan mereka).
25. Sementara yogin (para pemuja) mempersembahkan sesajen kepada para dewa, (tetapi) ada juga sementara yogin yang mempersembahkan “diri” mereka ke Api nan Agung.
Ada pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api, menaikkan puja-puji bagi para dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan tertentu. Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman). Para pemuja ini mempersembahkan semua tindakan mereka kepada Yang Maha Esa dengan tulus dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan. Mereka berkata terjadilah kehendakNya sesuai dengan kehendakNya.
26. Ada pemuja yang mempersembahkan pendengaran dan indra-indra lainnya ke api pengorbanan (menjauhi kontak-kontak sensual indra-indra mereka dari obyek-obyek indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan suara dan obyek-obyek sensual mereka ke api indra-indra mereka.
Banyak pemuja yang mengorbankan pendengaran mereka dan juga indra-indra lainnya dari kontak-kontak sensual indra-indra ini dengan obyek-obyek kontaknya. Usaha ini sebagai disiplin pribadi mereka dalam mengekang atau mengendalikan kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti mulut, hidung, kuping, dan organ-organ seksual mereka. Disiplin ini dimaksud untuk pemujaan kepada Sang Atman yang bersemayam di dalam diri mereka masing-masing.
27. Ada juga pemuja yang mempersembahkan semua tindakan-tindakan indra-indra mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana) mereka ke api yoga pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana).
28. Tetapi ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka atau, dengan menyakiti diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga; sedangkan mereka yang mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan pengetahuan dan ajaran mereka sebagai pengorbanan mereka.
29. Ada lagi mereka yang penuh dedikasi dalam pengendalian nafas (pranayama), yang mengendalikan jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan jalan apana (nafas yang dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana ke prana, sebagai persembahan mereka.
30. Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka dan mengalirkan nafas kehidupan (prana) mereka ke dalam prana mereka sebagai persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan, dan dengan pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka.
31. Mereka-mereka yang memakan sisa-sisa makanan suci yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Sang Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan, apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.
32. Begitulah banyak ragam cara pengorbanan yang dipersembahkan dihadapan Yang Maha Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa). Dan ketahuilah dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau perbuatan). Dengan mengetahui hal ini dikau akan bebas.
33. Lebih baik dari pengorbanan materi adalah gnana-yagna, yaitu pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan, oh Arjuna! Karena semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan (pengetahuan).
Sang Kreshna menyebut berbagai cara persembahan atau pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua yagna ini timbul berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu sendiri berdasarkan evolusi manusia itu sendiri dalam hidup ini. Setiap manusia berdasarkan sifat-sifat prakritinya membentuk varna (tujuan hidupnya sendiri) secara pribadi masing-masing dan kemudian mempersembahkan pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan kondisi-kondisi yang disandangnya ini.
Ada yang mengendalikan pendengaran mereka dengan tapasya (displin diri berupa tapa atau meditasi) yang ketat. Ada yang melepaskan semua selera-selera indra mereka dan menjauhi obyek-obyek duniawi ini. Ada yang mempersembahkan harta-benda mereka, ada juga yang mempersembahkan berbagai tindakan atau kegiatan spiritual seperti meditasi, swadhaya (membaca secara hening), ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada yang mengendalikan cara makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu seperti daging atau benda hidup, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan ini kalau dilaksanakan secara tulus akan mengantar seseorang ke arah jalan yang benar, dan semua pengorbanan ini merupakan tangga-tangga ke arah kebebasan karma-karma kita. Semua tindakan pengorbanan ini lahir dari karma (aksi) dan oleh orang-orang sadar banyak dilakukan untuk upaya pembersihan diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan barangsiapa dengan jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Esa maka lambat laun seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata. Seluruh tindak-tanduk maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya secara otomatis dan tanpa sadar demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara sadar.
Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan (gnana-yoga) adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa, dan pengorbanan ini nilainya lebih tinggi dan luhur dibandingkan dengan pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi jangan menganggap remeh atau rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya, karena semua itu hanya merupakan tangga-tangga dalam evolusi seorang pemuja ke arah spiritual yang lebih tinggi sifatnya. Secara otomatis, bagi seorang pemuja yang tulus semuanya akan diatur olehNya.
Lalu pasti ada yang bertanya mengapa gnana lebih tinggi dari karma? Karena karma selalu menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan gnana (pengetahuan atau kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha Esa, karena gnana yang lulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam kebijaksanaan terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita semuanya. Orang-orang bijaksana tak akan mcnyimpan ilmu pengetahuannya untuk dirinya saja, tetapi akan membagi-bagikannya kepada yang lain-lain agar tercapai kesentosaan untuk semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih. Karena sudah merupakan kewajiban orang-orang bijaksana ini untuk membantu sesamanya untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung pantainya Yang Maha Esa. Inilah gnana-yagna, yaitu pengorbanan agung dan suci ilmu pengetahuan sejati mereka demi Yang Maha Esa.
34. Pelajarilah kebijaksanaan dengan merendahkan-diri, dengan bertanya (studi) dan dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana). Orang-orang yang bijaksana yang telah melihat Kebenaran – akan mengajarimu dengan penuh kebijaksanaan.
Kebijaksanaan akan diajarkan oleh mereka-mereka yang telah mencapai kebijaksanaan ini, yang penting bagi seorang yang ingin mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga faktor berikut ini: pertama, harus memiliki rasa rendah-diri (pranipaia) dalam segala hal, dan ia akan dapat banyak belajar dari seorang guru yang bijaksana. Kedua disebut pariprashna, yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama. la harus mencari sendiri kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin mempelajari ajaran-ajaran para gurunya. Untuk mengerti sendiri arti dari kebijaksanaan ini haruslah menghayatinya secara pribadi. Ketiga, Seva, yaitu bekerja demi sang guru spiritual ini, yaitu sifatnya melayani segala kebutuhan hidup sang guru dengan bekerja untuknya tanpa pamrih, dan menganggap sang guru ini sebagai orang-tuanya sendiri yang harus diperhatikan segala bentuk kehidupannya. Seorang guru yang baik dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari muridnya secara halus, tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya, karena inilah salah satu tangga dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia ini.
Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada dan bersemayam di dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita lebih condong kepada bentuk duniawi daripada mendengar suara hati nurani kita sendiri, sehingga selalu diperlukan seorang guru spiritual pada awalnya untuk kita semua agar kita dapat lebih memahami apa yang sedang kita pelajari. Pada tahap lanjut nanti seorang guru spiritual hanya berfungsi sebagai jembatan, dan mengantarkan kita ke Sang Adhi Guru yang sebenarnya tidak jauh berada dari kita semua.
Sebenarnya dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang tulus dan ingin menuju ke jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara mati-matian untuk mencari seorang guru spiritual baginya. Yang penting adalah menyiapkan diri dan batinnya secara tulus dan memohon kepada Yang Maha Esa agar dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan membimbingnya kearah Yang Maha Esa. Percaya atau tidak, tetapi seorang guru spiritual pasti akan datang atau bertemu sendiri dengan murid pilihannya sendiri pada suatu waktu yang tepat. Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan berarti lalu diam-diam saja; tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk menemukan guru ini, tetapi semuanya akan terjadi pada saatnya yang tepat. Kemudian kalau ini terjadi belajarlah sang murid dengan tulus dan penuh dengan kerendahan hatinya, dan pada suatu waktu yang tepat sang guru ini akan menurunkan kebijaksanaannya kepada sang murid ini. Ada guru-guru yang begitu luar biasa kharismanya sehingga dalam sekejap dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual saja. Semua ini tentunya berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang murid dan atas berkah Yang Maha Esa semata. Sebenarnya semuanya sudah diatur olehNya juga, tidak lebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.
35. Dan setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana) dikau, oh Arjuna, tak akan jatuh lagi kedalam kekalutan. Karena dalam kebijaksanaan ini, dikau akan melihat semua makhluk, tanpa kecuali, berintikan pada Sang Atman, dan lalu dalam DiriKu.
Kebijaksanaan ini sebenarnya adalah ilmu pengetahuan spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati yang membuka kenyataan tentang kesatuan antara kita dengan Yang Maha Esa. Kesatuan antara semua makhluk dengan Sang Atman, dengan jiwa kita, dengan Yang Maha Esa. Dan kalau suatu waktu kita betul-betul sadar sendiri akan kesatuan ini, maka tercapailah kesadaran-diri atau kesadaran akan hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan diri kita.
Kebijaksanaan ini adalah melihat atau mengerti dalam arti yang sebenarnya, bahwa semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu kesatuan, yaitu Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau mengerti, tetapi setelah mencapai kebijaksanaan ini seseorang akan melihat bahwa semua makhluk, benda, susunan kosmos atau alam semesta ini beserta seluruh isinya berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang Atman. Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di alam semesta ini. Seseorang yang sadar melihat bahwa setiap benda ada dan bergerak dalam suatu kesatuan Ilahi.
36. Walaupun dikau ini adalah seorang yang paling berdosa di antara mereka-mereka yang berdosa, tetapi dikau dapat menyeberangi semua dosa-dosa ini hanya dengan berperahu kebijaksanaan saja.
Kata-kata atau sabda Sang Kreshna ini penuh dengan pesan-pesan harapan bagi kita, manusia, coba bayangkan bahkan seorang yang paling berdosapun dapat langsung mencapai Yang Maha Kuasa dengan dedikasi yang tinggi. Kalau dipikir-pikir siapa di dunia ini yang tak pernah berdosa atau pernah sesat dalam hidupnya, dan tak seorangpun ini harus kehilangan harapannya, selama ia mau mengoreksi kehidupannya dan berjalan penuh dedikasi dan kesadaran kepadaNya. Ia akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan menuntun tangan kita kearahNya selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah dosa, dan bukan saja keterikatan pada hal-hal yang tidak baik, tetapi keterikatan pada hal-hal yang dianggap baik seperti dharma itu sendiri, atau pada rasa egoisme yang dianggap positif. Seseorang yang merasa dirinya adalah orang berdosa. Jadi sebelum meneliti seseorang lain, sebaiknya hilangkan dulu rasa egoisme pribadi kita.
37. Ibarat api yang membara membakar kayu-kayu menjadi abu, oh Arjuna, begitu pun api kebijaksanaan membakar semua aksi (tindakan) menjadi abu.
Gnana (kebijaksanaan) membakar semua karma kita yang telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi abu, maksudnya gnana itu begitu tinggi nilainya sehingga semua karma kita termasuk yang akan datang dapat tumpas karenanya. Dan hanya karma yang telah membuahkan hasil saja yang harus dilewati.
38. Sebenarnya tidak ada yang lebih menyucikan diri selain kebijaksanaan. Seseorang yang telah sempurna dalam yoga (ilmu pengetahuan)nya, akan menemukan kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri — Sang Atmannya, sesuai dengan waktunya.
39. Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu dalam kebijaksanaan dan telah menguasai indra-indranya – ia akan mendapatkan kebijaksanaan ini. Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini maka segera ia menuju ke Kedamaian Yang Abadi (Ketenangan Ilahi, dimana tidak ada kematian lagi.)
40. Tetapi barangsiapa yang tidak tahu, tidak memiliki kepercayaan, yang selalu ragu-ragu sifatnya, akan pergi ke kehancuran. Untuk seseorang yang ragu-ragu tak akan ada dunia ini atau dunia yang lebih tinggi iagi, bahkan baginya tidak ada kebahagiaan.
Kepercayaan yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan pada yang akan menyesalkan seseorang dalam perjalanannya mencari kebenaran. Rasa ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan, dan terhambatlah sinar yang menerangi orang ini.
41. Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau tindakan-tindakannya dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah menebas keragu-raguannya dengan kebijaksanaannya, dan selalu memiliki Sang Atman (yang selalu dibawah raungan atau perintah Sang Atman) – maka untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang mengikatnya, o Arjuna!
Seseorang yang sesuai dengan karma-yoga bekerja tanpa pamrih walau apapun statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya ke arah Yang Maha Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang semacam ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman; untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang mengikatnya. Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya kepada Yang Maha Esa sebagai persembahan kasih-sayangnya pada Ilahi. Dan ia pun akan memiliki Sang Atman dalam dirinya secara sadar. Ia akan dituntun dalam segala aksinya, dijauhkan dari kegelapan duniawi. Secara benar dan sadar ia akan merasakan semua bisikan dan tuntunan Sang Atman di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu tahap yang sangat tinggi dalam kehidupan spiritual seseorang. Dan tidak ada lagi tahap yang lebih tinggi dalam kehidupannya sebagai manusia, karena ia telah mencapai status yang terpilih olehNya.
42. Dengan demikian, tebas dan buanglah jauh-jauh keragu-raguan dalam hatimu, yang timbul dari kekurang-pengetahuanmu, teguhkan dirimu dalam yoga (ilmu pengetahuan sejati) dan berdirilah, oh Arjuna!
Seseorang yang penuh dengan kebijaksanaan adalah seorang manusia yang bebas dan tak ada aksi atau tindakan yang dapat mengikatnya lagi, karena setiap ia bertindak ia selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara sadar dan tulus; orang semacam ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan imannya yang tebal terhadap Yang Maha Esa.
Pesan Sang Kreshna untuk Arjuna di atas ini sebenarnya berlaku untuk kita semua dan bermakna bangkitlah dan maju berperang, dikau prajurit-prajurit Yang Maha Esa, bangkitlah dan bekerja demi kewajibanmu sebagai seorang karma-yogi, bekerjalah tanpa pamrih. Adalah kewajibanmu (dharma) untuk berperang melawan angkara-murka, nafsu dan keinginan duniawi yang sebenarnya adalah kegelapan yang melilitmu dari jalan kembali ke Yang Maha Pencipta.
Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keempat yang disebut Gnana Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Kebijaksanaan.

Bab 05 – Jalan Penyerahan
Berkatalah Arjuna:
1. Dikau memuji karma-sanyasa (penyerahan total sesuatu aksi kepada Yang Maha Esa) oh Kreshna, dan juga Dikau menganjurkan bekerja secara benar (karma-yoga). Di antara keduanya ini yang manakah yang lebih baik? Beritahukanlah daku akan kepastiannya.
Arjuna mulai ragu-ragu lagi akan ucapan-ucapan Sang Kreshna dan dengan jujur ia mengemukakan keragu-raguannya ini kepada Sang Kreshna. Di bab-bab yang telah lalu, Sang Kreshna berbicara tentang gnana dan karma, yaitu tentang ilmu pengetahuan sejati dan tentang cara bekerja yang baik dan benar. Bagi Arjuna kedua hal ini nampak saling bertentangan sifatnya, karena baginya doktrin atau ajaran tentang ilmu pengetahuan yang sejati dianggapnya menganjurkan pekerjaan atau dharma yang benar. Bagi Arjuna ini nampaknya dua jalan yang berbeda, bagi Sang Kreshna kedua-duanya adalah sama. Tetapi bagi Arjuna rupanya semua keterangan Sang Kreshna terasa masih belum memuaskan batinnya, dan ia masih memerlukan pengarahan yang lebih pasti.
Kembali ke Sang Kreshna, maka kedua ajaran ini kalau dilakukan dengan benar dan tulus maka akan mengangkat si pemuja ke strata spiritual yang lebih tinggi, tetapi bagi Arjuna yang masih kurang pengetahuannya ini malahan merupakan tanda-tanya. Dan ini wajar sekali! Arjuna menanyakan apakah ia harus melepaskan karmanya sebagai seorang kshatria dan mengabdi seterusnya ke jalan sanyasa (ajaran Sankhya) atau ia harus bekerja sesuai dengan karmanya sebagai seorang kshatria dan berperang sampai tuntas (seperti ajaran yoga!). Yang mana yang harus dipilihnya? la menjadi ragu-ragu sendiri. Banyak orang-orang Hindu beranggapan bahwa kehidupan sanyasa (lepas dari segala aksi) dapat menghasilkan kebebasan. Dan dalam hal ini Arjuna berpikir kalau ia tetap jadi seorang kshatria maka ia akan terhambat dalam perjalanan spiritualnya, dan ia bersiap-siap untuk berubah haluan menjadi seorang sanyasin (pertapa), tetapi sebelumnya ia ingin minta kepastian dulu dari Sang Kreshna, Sang Adhi Guru.
Berkatalah Sang Maha Pengasih:
2. Sanyasa (lepas dari segala aksi) dan karma-yoga (bekerja tanpa pamrih), kedua-duanya menuju ke Yang Maha Esa. Tetapi diantara keduanya, karma-yogalah yang lebih baik daripada sanyasa.
Sebenarnya inti kedua ajaran ini tidak berbeda, dan menurut Sang Kreshna karma-yoga lebih baik. Seorang karma-yogi sebenarnya di dalam batinnya adalah seorang sanyasi, karena secara mental ia telah dan selalu memasrahkan (mempersembahkan) setiap aksi atau pekerjaan dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa semata, walaupun ia sibuk bekerja seaktif apapun juga. Dan dengan jalan ini ia lepas dari segala ikatan mati dan hidup, dan lebih cepat mencapai yang Maha Esa. Sedangkan jalan sanyasa atau gnana-marga (jalan ilmu pengetahuan) itu sifatnya sulit dan berbelit-belit, jadi menurut Sang Kreshna lebih baik untuk berjalan menganut ajaran karma-yoga yang lebih mudah.
3. Seseorang yang tidak membenci atau bernafsu (menginginkan segala sesuatu) adalah seorang sanyasi yang konstan. Karena seorang yang telah lepas dari dvandas (dua rasa yang saling berlawanan), akan cepat lepas dari keterikatan duniawi, oh Arjuna!
Dvandas seperti yang sudah disebut dan diterangkan pada bab-bab yang lalu, adalah dua sifat atau rasa yang berlawanan yang mengikat setiap manusia. Kedua rasa atau sifat ini adalah musuh-musuh besar seorang manusia. Seorang karma-yogi tidak akan mengacuhkan kedua-duanya lagi dan memasrahkan semua yang dialaminya kepada KehendakNya semata, dan sekiranya ini dilakukan penuh kesadaran dan dengan jiwa yang tulus maka ia pun terlepaslah dari keterikatan karma-karmanya. Seorang sanyasi yang konstan, adalah seorang yang tidak pernah menginginkan sesuatu ataupun tidak bernafsu akan sesuatu, dan sifatnya ini konstan, jadi terus-menerus ia akan berpikir dan bertindak demikian karena sudah menjadi itikadnya yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi. Hidupnya adalah suatu hal yang netral, semua suka dan duka, untung dan rugi sama saja harkat atau artinya, dan baginya semua ini selalu datang dan pergi tidak pernah abadi, jadi ia selalu tidak acuh lagi kepada dua sifat yang berlawanan ini. Dengan begitu lepaslah ia dari semua ilusi duniawi ini karena memang ia secara sadar tidak mau terikat olehnya, walaupun sebenarnya ia tinggal dan bekerja di dunia ini yang penuh dengan segala aktivitas yang tak kunjung habis-habisnya.
4. Hanya anak-anak, dan bukan orang-orang bijaksana, yang mengatakan bahwa ajaran Sankhya dan ajaran yoga sebagai dua hal yang berbeda. Seseorang yang telah mapan dalam salah satu ajaran ini mendapatkan imbalan dari kedua-duanya.
5. Tingkat tertinggi yang dicapai oleh para penganut Sankhya juga dicapai oleh penganut ajaran Yoga. Barangsiapa melihat (menyadari) bahwa ajaran Sankhya dan Yoga adalah satu benar-benar melihat dengan mata yang terang.
Ilmu pengetahuan yang sejati dan aksi atau tindakan tanpa pamrih sebenarnya bagi Sang Kreshna adalah dua hal yang sama saja arti dan maknanya, dan lebih dari itu satu saja tujuannya, yaitu Yang Maha Esa. Ambillah salah satu jalan yang berkenan di hati dan sesuai dengan keinginan pribadi kita yang tulus, dan berjalanlah di jalan tersebut dengan tulus dan pada suatu saat nanti kita akan mendapati bahwa ujung jalan ternyata berakhir pada titik yang sama. Kedua penganut masing-masing jalan yang nampak berbeda ini pada hakikatnya sama-sama bebas dari nafsu-nafsu duniawi ini dengan segala ikatan-ikatan dan ilusi-ilusinya.
6. Tetapi tanpa Yoga, oh Arjuna, penyerahan diri (secara total) itu sukar dicapai
Seorang yang suci yang telah terbiasa dengan Yoga (jalan aksi), segera
mencapai Sang Brahman, Yang Maha Esa.
Penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai seseorang. Tetapi harus dengan kerja keras, dan proses ini berlangsung secara progresif (maju terus) bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan berdedikasi kepada Yang Maha Esa. Ego pribadi adalah salah satu elemen yang paling sukar dikendalikan dalam diri kita dan selalu hadir pada setiap orang dalam bentuk yang berganti-ganti dan beraneka-ragam, seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Dan semua itu butuh kesabaran dan dedikasi dan proses yang lama, baru dapat dikurangi tahap demi tahap dan kemudian sama sekali dihilangkan. Dan tanpa karma-yoga, sabda Sang Kreshna, jalan kearah Sanyasa atau gnana-marga ini akan jadi lebih sulit karena bisa-bisa seseorang jatuh sebelum mencapainya. Jalan karma-yoga menyucikan dan melicinkan langkah kita ke arah Yang maha Esa, semuanya kemudian menjadi lebih cepat untuk mencapaiNya.
Seseorang boleh saja berpikir bahwa ia sudah sadar, bahwa semua di dunia ini hanya ilusi Sang Maya, dan ia sendiri sudah mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Tetapi kalau ia tidak mempraktekkan dan menghayati karma-yoga dengan baik dan benar, maka ia akan jatuh karena egonya, atau karena nafsu-nafsu dan kemarahannya. Dan Sang Maya kemudian menjadi lebih kuat lagi baginya. Tetapi sekali ia tersucikan oleh karma-yoga, maka cepat ia akan lepas-landas ke arah Yang Maha Esa. Jadi seyogyanyalah seseorang selalu berjalan dijalannya karma-yoga dengan teguh.
7. la yang penuh dedikasi dalam tindakannya dan suci jiwanya, yang merupakan tuan bagi dirinya sendiri dan telah menguasai indra-indranya, yang sadar bahwa Dirinya adalah Diri yang sama dalam setiap makhluk – walaupun ia bekerja (bertindak), ia tak akan tersentuh sedikit pun oleh pekerjaan atau tindakan itu.
Mengapa ia tak tersentuh sedikitpun oleh tindakan-tindakannya? Karena ia tidak kerja untuk diri pribadinya sendiri. Sang Atman, Sang Jati Diri — Sang Kreshna yang ada di dalam jiwalah yang melakukannya. Ia melihat, mendengar, menyentuh, mencium., makan, bergerak, tidur, bernafas, berbicara, tetapi Ia sadar semua itu hanya tindakan-tindakan alamiah ke obyeknya masing-masing. Ia sadar sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa, ia hanya alatNya saja, dan dipakai olehNya sesuai dengan KehendakNya.
8. Seseorang yang telah bersatu dengan Yang Maha Suci, yang sadar akan Kebenaran akan selalu berpikir, “aku tak melakukan apa-apa.” Karena dikala melihat, mendengar, menyentuh, mencium, memakan, bergerak, tidur, bernafas.
9. Dikala berbicara, memberi, mengambil, membuka dan manutup-mata, ia sadar bahwa yang bergerak hanyalah indra-indranya dan diantara obyek-obyek indra-indra itu sendiri.
10. Seseorang yang bertindak (bekerja), sambil melepaskan keterikatannya, menyerahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa, tidak akan tersentuh oleh dosa, ibarat bunga teratai yang tak tersentuhkan oleh air.
Di sloka delapan dan sembilan di atas diterangkan dengan baik mengenai disiplin pribadi seseorang yang melakukan gnana-yoga. Orang semacam ini tidak pernah merasa bahwa ialah “pelaku semua tindakan.” Di sloka sepuluh di atas, diterangkan sekali lagi bahwa seorang karma-yogi sejati akan selalu bekerja tanpa pamrih, karena semua tindakannya adalah demi Yang Maha Esa.
11. Para yogi, sambil melepaskan keterikatannya, bekerja mempergunakan tubuh, pikiran, intelektual (buddhi), atau dengan indra-indra mereka demi penyucian jiwa mereka.
Seorang karma-yogi yang sejati merasa bahwa tindakan-tindakan raganya, pikirannya, intelektualnya dan indra-indranya bukanlah tindakan atau perbuatan dirinya, melainkan hanyalah ekspresi dari dirinya, yang sebenarnya adalah alat saja dari yang Maha Esa. Kemudian ia sadar bahwa ia sebenarnya bukan raga, bukan pikiran, bukan intelektual, bukan indra-indra tetapi dirinya sendiri sebenarnya adalah Sang Atman, Sang Jati DiriNya Yang Sejati. Dengan menyadari hal tersebut dan bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih, maka ia selalu gembira dan dapat bekerja demi Yang Maha Esa tanpa merasa bosan atau tanpa habis-habisnya.
12. Seseorang yang telah bersatu denganNya, yang telah mengesampingkan semua imbalan dari tindakan-tindakannya, mencapai ketenangan yang abadi. Tetapi seseorang yang jiwanya tidak bersatu denganNya, didorong oleh nafsu-nafsunya dan terikat pada pamrih-pamrihnya, maka terbelenggulah ia.
Sekali mencapai persatuan dengan Yang Maha Esa, maka seseorang langsung mendapatkan ketenangan yang abadi, karena lepas sudah ia dari beban-beban imbalan kerjanya. Tetapi seseorang yang tidak dapat bersatu denganNya, akan selalu terkurung atau terpenjara oleh aksi dan hasil dari aksi ini, yang dilakukannya berdasarkan dorongan nafsu dan keinginannya yang beraneka-ragawi. Hasilnya pun tentu beraneka-ragam.
13. Melepaskan semua tindakan secara mental, jiwa yang memiliki raga ini bersemayam secara tenang di kota yang memiliki sembilan pintu gerbang, tidak bekerja maupun memerintahkan suatu pekerjaan.
Untuk mencapai status “yang bersemayam di dalam tubuh kita tanpa kerja atau memerintahkan suatu pekerjaan,” adalah seseorang yang jiwanya telah mencapai suatu tahap tertinggi dalam kebijaksanaannya. Ia tidak terlibat akan suatu pekerjaan dan ia pun tak mau melibatkan orang lain — ia hidup dan bekerja tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi, dengan kata lain semuanya dilakukannya tanpa pamrih – ia adalah seorang karma-yogi yang sejati.
Kota yang berpintu gerbang sembilan adalah raga kita sendiri, yaitu dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, satu lubang anus dan satu lubang kemaluan, semuanya berjumlah sembilan lubang atau pintu gerbang raga kita.
14. Sang Maha Kuasa Pemilik Seluruh Alam Semesta ini (Sang Prabhu) tidak menciptakan manusia sebagai agen-agen DiriNya, tidak juga Ia bertindak. Tidak juga Ia mengaitkan pekerjaan dengan imbalannya. Semua ini dilakukan oleh Svabhaba (alam).
Sang Prabhu adalah Diri Yang Sejati dari setiap hal di dunia ini. Diri Yang Sejati ini adalah Sinar yang bersemayam di raga setiap makhluk. Ia tidak bekerja maupun mengakibatkan sesuatu pekerjaan manusia atau makhluk, juga tidak tersentuh kebaikan maupun keburukan. Dan di dalam Sinar inilah para pencari Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hidup ini mencari perlindungan demi melawan segala cobaan Sang Maya yang selalu hadir menghadang. Di dalam sinar ini kemudian timbullah kesadaran seseorang yang mencari kebenaran yang sejati bahwa hidup ini sebenarnya adalah persembahan demi Yang Maha Kuasa oleh sekalian makhluk-makhluk ciptaanNya.
15. Yang Maha Pengasih tidak mengambil baik maupun buruk untuk DiriNya sendiri. kebijaksanaan itu terbungkus oleh kekurangan-pengetahuan, dan para makhluk pun jadi kalut karenanya.
Yang Maha Esa itu hadir dimana saja dan selalu sempurna adaNya. Ia tak pernah tersentuh oleh dosa-dosa dan perbuatan baik manusia, karena Ia bersemayam jauh dari dosa dan kebaikan ini. Ia lah Sang Atman, Sinar Ilahi. Ini terbungkus oleh kegelapan yang ditimbulkan oleh ilusi, dan kalut atau bingunglah manusia karenanya. Dibawah pengaruh ilusi (bahwa kita ini terpisah dari Yang Maha Esa), maka jiwa kita senantiasa berpikir bahwa jiwa kita atau tubuh kitalah yang bertindak dalam segala sesuatu hal. Dan kalau pengaruh ilusi ini dapat disingkapkan, maka para pencari kebenaran hidup ini, akan masuk ke dalam ruang-dalam nurani kita di mana bersinarlah kebijaksanaan ~ Kebijaksanaan Sang Atman. Disinilah seorangjignasu (pencari kebenaran hidup ini) sadar bahwa ia sebenarnya satu dengan semuanya, dan kepadanyalah akan terlihat Yang Maha Esa, Yang Tanpa Nama dan Abadi (Tat), yang tidak pernah tersentuh oleh kebaikan maupun keburukan yang diakibatkan oleh pekerjaan manusia.
16. Seseorang yang kekurang-pengetahuannya (kegelapannya) telah dihancurkan oleh kebijaksanaan Sang Atman, maka di dalam diri mereka, kebijaksanaan ini bersinar laksana Sang Surya, mamancarkan keagungan Yang Maha Esa.
Berbahagialah mereka yang telah mencapai tahap kebijaksanaan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai Sang Atman, Sang Jati Diri, Sang Kreshna sendiri yang bersemayam di dalam diri mereka sendiri, karena kebijaksanaan ini memancarkan cahaya Ilahi di dalam diri mereka laksana terangnya Sang Surya, menyibak semua kegelapan duniawi, dan menerangi jiwa mereka.
17. Mereka yang intelektual (buddhi) dan pikirannya sudah bersatu utuh denganNya, yang selalu berada dalam naungan Yang Maha Esa, dan akhirnya menyatu denganNya — orang-orang semacam ini pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi, karena dosa-dosa mereka hapus oleh kebijaksanaan.
Para yogi yang sejati ini selalu hidup dalam naungan Yang Maha Esa dan mendasarkan setiap tindakan mereka sesuai dengan kehendak Ilahi — hidup mereka selalu dalam Ilahi, begitupun jalan pikiran dan tujuan mereka tak pernah lepas dariNya. Sewaktu orang-orang semacam ini meninggalkan raga mereka (meninggal-dunia) maka mereka pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi kedunia ini, lepas dari kehidupan dan kematian selanjutya.
18. Orang-orang suci ini memandang secara sama pada seorang Brahmin yang terpelajar dan yang penuh rasa rendah-diri, atau pada seekor sapi, atau pada seekor gajah, bahkan pada seekor anjing dan pada seorang pariah (kasta yang dianggap terendah diantara semua kasta).
Para yogi yang sejati yang telah suci ini tidak mempunyai diskriminasi sedikitpun; bagi mereka semua makhluk ciptaan Tuhan itu sama saja derajatnya, karena dalam setiap makhluk sebenarnya bersemayam Sang Atman yang Tunggal. Bagi mereka diskriminasi kasta adalah tidak wajar, bahkan seekor anjing pun bagi mereka derajatnya sejajar.
19. Bahkan di sini (di bumi ini) semua hal-hal duniawi dapat teratasi bagi mereka-mereka yang jiwanya telah bersatu dalam suatu kesamaan. Yang Maha Esa adalah nirdosha, yaitu tak tersentuh oleh dosa, dan Ia sama bagi semua makhluk. Mereka yang sadar hal ini telah bersatu denganNya.
20. Dengan inteleknya yang teguh dan tidak terombang-ombing, bersatu dengan Yang Maha Esa, maka seseorang yang telah mengenal Sang Brahman tidak akan gembira dikala senang dan tidak akan bersedih dikala dilanda kesusahan.
21. Tidak terikat pada kontak-kontak eksternal (luar) dan mendapatkan kebahagiaan di dalam DiriNya (Sang Atman), seorang yoga-yukta yang tak bersatu dengan Yang Maha Esa, merasakan keberkahan tanpa habis-habisnya.
22. Kesenangan yang lahir dari kontak-kontak (dengan obyek-obyeknya) sebenarnya permulaan (asal) dari penderitaan. Kesenangan-kesenangan ini ada awalnya dan juga ada akhirnya, oh Arjuna! Seorang yang bijaksana tak akan bergembira dengan kesenangan-kesenangan ini.
Para yogi yang bijaksana tak akan bergembira dengan hal-hal duniawi yang menyenangkan (priyam) ataupun bersedih dengan hal-hal keduniawian yang penuh dengan penderitaan atau kesedihan. Karena semua kebahagiaan mereka sudah terpusat sepenuhnya pada Sang Atman, pada Sang Kreshna yang bersemayam di dalam diri mereka. Mereka sadar kesenangan dan kesedihan duniawi bersifat sementara saja semua itu datang dan pergi, sedangkan Yang Maha Esa sifatnya abadi dan tak ada habis berkahNya.
Dan mereka ini pun sadar bahwa semua kesenangan duniawi itu sebenarnya adalah awal atau asal dari berbagai penderitaan yang beraneka-ragam sifatnya, seperti kehilangan seseorang yang amat disayangi, sakit atau penderitaan ragawi, masa tua, dan banyak hal lainnya, yang kalau ditelaah merupakan kesenangan pada awalnya tetapi selalu berakhir dengan kesedihan atau penderitaan. Dan semua penderitaan ini kemudian akan menimbulkan kama (nafsu) dan krodha (kemarahan), dan masuklah seseorang kemudian ke dalam lingkaran setan dari penderitaan ini, yang nampaknya tak ada habis-habisnya.
23. Seseorang yang di dunia ini (di bumi ini), sebelum meninggalkan raganya berhasil menahan gejolak nafsu dan kemarahannya, maka ia telah bersatu dengan Yang Maha Esa. Orang ini adalah orang yang bahagia.
Seorang yogi yang bahagia secara murni, adalah orang yang penuh dengan kendali diri. Dan pengendalian diri ini dipelajari di bumi ini, karena memang bumi-loka ini tempatnya setiap manusia belajar berbagai aspek Ketuhanan dan mengenal dirinya sendiri secara spiritual, bukan di tempat lain. Dan sekali pengendalian diri ini tercapai secara utuh dan tulus, maka akan didapatkan berkahNya yang tak kunjung habis-habisnya. Maka seyogyanyalah setiap manusia belajar untuk mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya, pertahankanlah tekad ke arah ini dan bangkitlah lagi setiap tersandung jatuh, kemudian tegak maju lagi secara lebih tegar. Di mana ada tekad di situ pasti ada jalan. Perangilah nafsu dan kemarahan dan pada suatu saat yang tepat, dengan tekad yang kuat, dikau pasti akan berhasil mandapatkan kebijaksanaan ini.
24. Barangsiapa memiliki kebahagiaan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki kegembiraan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki sinar di dalam dirinya, maka yogi semacam ini berubah sifatnya menjadi suci dan mencapai keindahan Yang Maha Esa (Brahmanirvana).
Seseorang yogi yang sejati selalu mencari kebahagiaan di dalam diriNya (Sang Atman) dan merasa bahagia dengan apa saja yang didapatkannya dari Sang Atman. Yogi semacam ini sudah berdiri di atas ketiga guna (sifat-sifat alami atau prakriti) dan telah mencapai suatu sifat yang suci yang merupakan karunia Ilahi yang tak ternilai sifatnya. Ia langsung berasimilasi dengan Yang Maha Esa. Brahma nirvana adalah suatu status dimana meleburlah semua nafsu-nafsu pribadi seseorang dalam sinarNya Yang Maha Esa, dan seorang yogi yang telah mencapai tahap ini menjadi seorang resi (seorang yang dianggap suci), yang jiwanya sudah dipasrahkan secara total kepadaNya, Yang Maha Abadi.
25. Para Resi (orang-orang suci) yang dosa-dosanya telah hapus, yang keragu-raguannya (rasa dualismenya yang bertentangan) telah tertebas habis, yang pikirannya penuh dengan disiplin, dan yang bahagia dalam kesejahteraan semua makhluk, mencapai Brahma nirvana.
Para orang-orang suci yang dosa-dosanya telah tertebas habis, begitupun dengan keragu- raguannya mereka akan hal-hal yang menyenangkan maupun yang sebaliknya, yang indra-indranya telah terkendali dengan baik; maka setiap tindakan mereka adalah demi kesejahteraan semua makhluk di dunia ini. Mereka ini bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Brahman) dan mereka ini mengenal yang disebut nirvana, yaitu Kedamaian Yang Abadi (Keindahan Ilahi).
26. Keindahan Ilahi terletak dekat dengan mereka yang suci, yang telah lepas dari nafsu dan kemarahan, yang telah mengendalikan pikiran mereka dan telah sadar akan DiriNya.
27. Menutup diri dari kontak-kontak eksternal (luar), memusatkan pandangan pada sela kedua alis-mata, dan menyelaraskan nafas yang masuk dan keluar dari lubang-lubang hidung.
28. Dengan mengendalikan indra-indranya, pikirannya dan intelektualnya, seseorang yang yang suci yang berkeinginan bebas dan telah berhasil menyingkirkan nafsu, ketakutan dan kemarahan, akan benar-benar terbebas.
29. Dan mengetahui Aku sebagai Yang Menikmati semua persembahan dan pengorbanan, sebagai Yang Maha Memerintah seluruh isi alam, Yang Mencintai semua yang hidup, maka orang suci semacam ini akan menuju ke kedamaian.
Setiap insan yang mengenal Sang Jati Diri (Sang Atman), akan menemui Kedamaian Yang Abadi (Brahma-nirvana). Pengetahuan tentang hal ini disebut kebijaksanaan, yang mengusir semua nafsu dan keinginan-keinginan kita dan membuat seorang berubah sifatnya menjadi sederhana dan stabil jalan pikirannya (terkendali, atau dalam kendali). Proses ini menjadi lebih mudah lagi kalau ditambah dengan latihan pranayama (yaitu pernafasan yang terkendali atau meditasi). Dan yang ingin mencoba pranayama atau meditasi ini harus:
1. Membebaskan atau mengeluarkan atau menjauhkan semua bentuk pikiran-pikiran yang datang mengganggu. Jadi tidak memikirkan apapun juga selain Sang Atman yang ada di dalam dirinya. Dapat dimulai dengan membayangkan wajah seorang Dewa atau sang guru yang dihormatinya. Ini yang dinamakan menjauhi kontak-kontak eksternal.
2. Memusatkan pandangannya pada titik yang terletak di tengah-tengah kedua alis mata, dan
3. Menyelaraskan masuk dan keluaraya nafas dari dan ke lubang hidung kita. Baik irama, panjang dan lama nafas yang masuk dan keluar ini harus seimbang mungkin, Sebaiknya perlahan-lahan saja, setelah lama berlatih, maka masuk-keluar nafas ini membebaskan indra-indra, pikiran dan intelektual kita dari kekuasaan nafsu dan berbagai keinginan, dari rasa takut dan berbagai pikiran yang selalu silih-berganti. Lebih dari itu seorang yang melakukan meditasi ini harus sadar bahwa Yang Maha Esa adalah sebagai Asimilator atau Sang Penerima semua bentuk yagna dan tapa, dan juga orang atau pemuja ini harus mengenal Yang Maha Esa sebagai Yang Maha Memiliki alam semesta ini beserta seluruh isinya, mengenalnya sebagai Yang Maha Pengasih semua makhluk-makhluk ciptaanNya, mengenal Yang Maha Esa dalam bentuk manusiaNya sebagai Sang Kreshna.
Dan barang siapa yang mengenal Dirinya yang tinggi (Sang Atman) dan melalui Sang Atman mi dapat menguasai dirinya yang rendah yaitu indra-indra, pikiran dan intelektualnya, maka orang semacam ini akan mendapatkan suatu bentuk kedamaian yang abadi.
Dari ajaran-ajaran di atas terulang lagi, bahwa yang paling penting bagi kita ini adalah mengendalikan semua indra kita, pikiran kita dan juga buddhi kita. Seseorang tanpa kendali tidak mungkin dapat menghayati ajaran Bhagavat Gita atau pun mencapai Yang Maha Esa. Ia boleh saja bermeditasi dengan aktif, boleh saja ia menguasai berbagai ajaran atau teori-teori dan teknik-teknik spiritual, tetapi kalau belum berhasil mengendalikan indra, keinginan, nafsu, pikiran dan buddhinya dengan baik maka sia-sia saja upayanya, bahkan dapat merusak atau menyesatkan dirinya. Tanpa penghayatan dan perbuatan nyata, maka sia-sia atau rusaklah orang semacam ini. Teori saja tidak perlu dalam peningkatan spiritual, yang paling penting adalah praktek atau usaha-usaha pengendalian hawa-nafsu kita secara sejati dan total, karena semua pengetahuan spiritual ini akan menjadi mentah sifatnya tanpa penghayatan yang tulus dan sejati, tanpa dedikasi dan disiplin yang penuh dengan tekad yang kuat. Semua ini butuh waktu dan tak dapat dicapai dalam sekejap mata, maka dari itu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dan apakah yang akan terjadi seandainya seseorang memaksakan dirinya ke jalan yoga, padahal dirinya masih mentah atau belum siap untuk itu? Meditasinya yang prematur akan membawanya ke jalan atau arah yang berbahaya. Membawanya ke situasi yang neurotik, membawanya ke pemecahan jiwanya (personalitasnya) dan bahkan kekacauan jiwanya yang dapat menghasilkan gangguan jiwa (menjadi gila misalnya). Seyogyanyalah meditasi diajarkan dan dibimbing dan ditentukan oleh seorang guru yang bijaksana, yang dapat menilai sudah sejauh manakah kadar dari sang murid ini. Tanpa pembersihan ego pribadi, pengendalian indra-indra dan pikirannya, maka jalan meditasi akan berbahaya sekali.
Meditasi yang matang sifatnya, kemudian akan menghasilkan suatu pertemuan antara sang pemuja dengan Sang Atman, Sang Kreshna Yang Abadi Yang bersemayam di dalam jiwa sang pemuja ini, Yang juga adalah Kuasa dari alam semesta ini, Yang juga adalah Pengasih semua makhluk. Ia bukan saja jauh dari jangkauan kita tetapi juga merupakan Teman kita yang benar-benar sejati dan dekat dengan kita dan bersifat Maha Penolong kapan dan dimana saja. Teman yang membantu kita mengatasi segala situasi yang kita hadapi. Seseorang yang pintu imannya telah berbuka lebar, maka pintu kebijaksanaannya pun akan terbuka lebar-lebar dan ia pun akan mencapai kedamaian yang abadi yang menjadi dambaan setiap pencari kebenaran. Kedamaian Nan Abadi ini, yang penuh dengan Sinar llahi, disebut Brahmanirvana.
Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahltan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke lima, yang disebut Karma Sanyasa Yoga atau Yoga Tentang Penyerahan Tindakan (Aksi).

Bab 06 – Jalan Meditasi
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Seseorang yang mengerjakan kewajiban yang harus dilakukannya, tetapi tanpa menuntut keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu adalah seorang sanyasi dan seorang yogi; bukan ia yang tak mau menyalakan api pengorbanan dan tak mau melakukan upacara apapun.
Sang Kreshna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa seorang sanyasi yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah mempersembahkan (mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari pekerjaannya kepada Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat atau tidak berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap tidak pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak menyalakan api pengorbanan) atau berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.
2. Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau belum mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang bermotifkan sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi di masa depan).
Segi-segi penting dari sanyasa juga terdapat di dalam karma-yoga. Seorang sanyasi yang sejati sama halnya dengan seorang yogi yang sejati tidak akan terganggu oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan terusik oleh imbalan apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.
Sankalpa harus dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan keserakahan pribadi, rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus dikesampingkan, karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya (kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa “akulah” pelakunya. Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa “akunya” (egoisme dan ahankara) dari dirinya Yang dimaksudkan Sang Kreshna di atas bukannya mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya bekerja dengan mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang punya motif atau tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau egonya; biasanya setiap pekerjaan kita selalu disertai dengan pengharapan akan suatu hasil dan imbalan, bukan saja dari Yang Maha Esa, dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain, maupun dari pekerjaan itu sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan dengan tekad untuk Yang Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman dalam segala tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang yogi yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpa-sankalpanya tetapi selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau dhyana) baginya adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.
3. Untuk seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka jalannya adalah dengan bertindak, untuk orang suci yang sama ini sekali ia telah mencapai yoga, maka ketenangan adalah jalannya.
Untuk mencapai yoga, maka seseorang yogi yang sejati harus bekerja selalu tanpa pamrih, dan setelah ia berhasil menyatu denganNya, maka tindakan sudah tidak penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah kehendak Ilahi, dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja dengan dan dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua makhluk. la tak akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya. Semua pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan dhyana (meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan ini bukan suatu hal yang fiktif atau penuh dengan imajinasi, tetapi betul-betul akan terjadi pada seorang yogi semacam ini dalam kehidupan ini sebenarnya. Om Tat Sat.
4. Seseorang yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya atau dari tindakan-tindakan dan telah mengesampingkan semua sankalpa-sankalpanya, maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga (yogarudha).
Sankalpa adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh dengan rencana-rencana egoistik, dalam bab IV/10 Sang Kreshna bersabda: “Seseorang yang pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang suci.” Maka seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua sankalpanya dan tetap bekerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa rasa egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh pekerjaan itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego pribadi dengan memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam Mahabarata tertulis sebagai berikut: “Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu. Engkau lahir dari Sankalpa atau pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan memikirkan engkau, dan kau akan mati karenanya.”
5. Sebaiknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan Dirinya (Sang Atman), dan jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena sebenarnya, Dirinya adalah temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya sendiri.
Angkatlah dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman), bagaimana caranya? Dengan mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual seperti karma-yoga atau gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu ke dalam nafsu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang Atman yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun teman dari ego kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin hubungan denganNya dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita. Sang Atman yang universal sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun, penunjuk jalan dan guru kita (Adhi Guru). Tetapi kalau kita jauh dariNya, maka Sang Atman pun jadi “musuh” dan jauh dari kita. Tanpa tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang Atman ini, maka apalah arti kehidupan ini.
6. Diri (Sang Atman), adalah teman bagi seseorang yang dirinya (yang rendah) telah dikalahkan oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi diri yang belum terkendali, maka Sang Diri (Sang Atman) akan bertindak tidak ramah, ibarat seorang musuh.
Yang disebut diri yang rendah adalah indra-indra dan pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua ini telah mencapai tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah terkendali dengan baik dan menyatu dan bekerja sebagai alatnya Sang Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat baik kita, menjadi sumber ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara spiritual (guru spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja bersifat egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka Sang Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati nurani akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk yang tidak baik dan tidak mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.
7. Seseorang yang telah menguasai dirinya (yang rendah) dan telah mencapai ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Dia Yang Agung yang bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh keseimbangan. la (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun dingin, dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak dihormati.
Orang yang telah dapat mengendalikan dirinya adalah orang yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. la adalah orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat bagiNya dan sebuah alat fungsinya adalah sama saja baik sewaktu dipakai maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi suatu atau sebuah alat, panas dan dingin, dihormati atau tidak adalah sama saja, tidak lebih dan tidak kurang karena ia hanya sebuah alat.
8. Seorang yogi, yang jiwanya telah puas dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan (gnana dan vignana) dan tidak terombang-ambing, yang indra-indranya telah dikalahkan (terkendali), yang merasa bahwa segumpalan tanah-liat, sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama saja nilainya, maka orang ini disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian yoganya).
Gnana adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak Terlihat, sedangkan vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang Terlihat. Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan ini (gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau terombang-ambing oleh pengalaman-pengalaman duniawi yang nampak dan terasa sehari-hari. Baginya tanah-liat, batu ataupun emas itu sama saja nilainya. la sudah mencapai keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam ini disebut yukta.
9. Seseorang yang memandang sama terhadap teman-temannya, sahabat-sahabatnya dan terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak dikenalnya dan terhadap pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang yang berdosa – orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).
Orang yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu Pencipta (Tuhan) di dalam setiap benda, makhluk dan manusia. Ia bebas secara total dari rasa diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.
10. Sebaiknya seorang yogi duduk di suatu tempat yang tenang dan tersendiri, dan secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada (Jati Dirinya Yang Agung), dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala nafsu dan rasa memiliki.
Sang Kreshna menerangkan sebagian teknik meditasi kepada Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik meditasi tak dapat diterangkan dalam bentuk tulisan. Prosesnya berbeda dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya dipelajari dari seorang guru yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak dapat dipelajari begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku meditasi saja. Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran kita dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak atau tekad kita. Sangat baik kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat melakukannya di tempat yang tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan suara dan sebagainya. la harus lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa memiliki harta-benda, keluarga dan hal-hal duniawi lainnya, juga ia harus lepas dari keinginan-keinginan indra-indranya. la harus secara konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah waktu tertentu dan berusaha dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan diri dan pikirannya kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan untuk meditasi ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar meditasi berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga tempat bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk dan gangguan nyamuk dan sebagainya.
11. Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara tetap, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang lainnya.
12. Di situ, duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan pikirannya pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indra-indranya, sebaiknya ia berlatih yoga demi pembersihan jiwanya.
Sang Kreshna secara langsung mengajarkan teknik-teknik bermeditasi:
1) Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih dari segala kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat sungai, di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena memberikan suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
2) Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau terdiri dari batu yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa saja yang cukup nyaman sebagai alas duduk. Tetapi harus diusahakan letaknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi bisa saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur sewaktu melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai dirinya secara serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak diganggu oleh serangga yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu saja berlaku untuk tempat di alam bebas atau di tempat-tempat yang banyak serangganya. Di dalam kamar pribadi yang tenang, sebenamya semuanya dapat diatur dengan baik.
3) Kusha adalah sejenis rumput. Kusha, kulit menjangan dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha diletakkan terbawah, kemudian di atas dilapisi dengan kulit menjangan, dan kemudian kain diletakkan teratas. Kalau menggunakan kulit harus diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor binatang yang meninggal dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh manusia. Semua ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu. Sekarang ini dapat disesuaikan dengan keadaan; yang penting sederhana dan jauh dari keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman dan baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenarnya sudah cukup.)
4) Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan diri kita sendiri.
13. Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.
14. Tenang dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari perasaan seksual (brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara harmonis, pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.
Seseorang yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk tegak, tanpa bergerak dan sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara tegak dengan badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan hati yang tenang dan stabil; lepas dari segala macam pikiran harus memusatkan pikiran dan dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa henti-hentinya.la harus lepas dari pikiran seksual pada waktu bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi bramacharya ada kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya, dan kriteria-kriteria ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi) seperti berikut ini:
Seorang bramachari (yang menganut ajaran tidak melakukan hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan hura-hura. Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak memandang ke arah wanita. la harus sederhana cara makannya dan tidak mengenakan baju-baju yang mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut dan halus yang berkesan mahal, dan selalu harus memuja Yang Maha Esa dan hormat kepada para resi dan berdedikasi kepada guru-gurunya. la harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja atau mencampuri urusan orang-orang lain. la juga harus selalu berbicara yang jujur dan tidak menghina siapapun. la harus menganut ajaran ahimsa (tidak merusak atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga). la harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, amarah dan egonya. la harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan sebisa mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam badan seseorang akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam tubuhnya dan cahaya dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang tersebut itu menjadi stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis menjadi terarah dengan baik dan stabil ke arah Yang Maha Esa.
Obyek dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi kepadaNya (Yang Maha Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam melakukan meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi yang aneh-aneh dan menyesatkan. Yang penting adalah menyatukan atau memfokuskan diri pada Sang Atman, “melihat Sang Atman melalui Sang Atman.” Pikiran harus terang, tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga harus selalu dipusatkan kepadaNya. Dan pemusatan pikiran ini harus tulus dan bersih.
15. Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai – ke Nirvana atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.
Yang disebut Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah (Kebebasan) ini adalah pemberian atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang yogi yang penuh dedikasi kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai dengan Yang Maha Esa tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan Yang Maha Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka ke arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang terus menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan penuh disiplin dan dedikasi ke arahNya. Dan berkahNya akan turun dan menyatukan diri kita dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah yang disebut moksha (pembebasan).
16. Yoga ini sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan terlalu banyak, dan juga bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari makanan. Yoga ini pun bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang tidak terlalu banyak tidur, oh Arjuna!
17. Yoga ini menghapuskan semua penderitaan seseorang yang berimbang (temperamen) dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali tindakan-tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.
Seseorang yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus ingat bahwa ia harus hidup secara teratur dan seimbang dalam segala tindak-tanduknya sehari-hari. Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak, karena bukannya ia akan makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi pernafasannya dalam meditasi akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya kelebihan gizi malahan akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat seksualnya. Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita lakukan sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, cukup-cukup sajalah, yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun menguranginya secara drastis. Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.
Makanan yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita dan cocok dengan pencernaan setiap individu secara masing-masing, tidak ada yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang sebenarnya tidak perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari perbuatan tidak baik atau negatif, seperti hasil dari korupsi atau uang haram lainnya, tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan suci.
Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu perlu tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita. Begitupun dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat dan teratur, untuk pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh dengan dinamika yang sehat. Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan ke alam bebas seperti ke hutan, gunung, ke sungai dan lain sebagainya ini amat menyehatkan dan sangat menyegarkan tubuh dan pikiran kita, tetapi semua ini harus dilakukan secara teratur dan konstan, sehingga tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita dalam arti yang seluas-luasnya.
Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang, bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus ditolong, menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain sebagainya harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Bangun-tidur pun harus diatur yang seimbang, tidur sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun bermeditasi harus selalu jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan seimbang dalam segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya tidak berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi juga tidak lambat. la selalu stabil dan berimbang baik dalam bertutur-kata maupun dalam setiap pekerjaannya. la dengan demikian secara lambat laun akan bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri yang terlalu banyak atau yang terlalu sedikit, dan juga oleh akibat-akibat dari perbuatan itu sendiri seperti rasa kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan, keresahan dan banyak lainnya.
18. Sewaktu pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada Jati DiriNya (Sang Atman) sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas dari semua nafsu, maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.
Inilah intisari dari meditasi, seseorang yang menyerahkan dirinya secara total atau penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang Atman secara lebih jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap tindakan kita, bahkan dari pikiran dan pancaindera kita sendiri. la mengetahui semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada yang terhindar dari penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari segala nafsu-nafsu kita, rnaka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan terasa semua instruksi dan nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut, seseorang yang disiplin dengan meditasinya, dan puas dengan dirinya sendiri, dan pikirannya tidak menerawang pada obyek-obyek indranya yang terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia mencapai kestabilan harmonislah meditasi atau yoganya.
19. Seperti pelita yang terletak di suatu tempat yang tak berangin, tidak berkedip, begitulah juga seorang yogi yang telah mengendalikan pikirannya, bersatu dengan Sang Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.
Lampu pelita tidak mungkin dapat bertahan dari terjangan angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup banyak angin (atau tempat yang terbuka), begitupun pikiran dan hati kita tak akan mungkin stabil kalau setiap saat selalu diterjang oleh angin-angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya pelita ini diletakkan jauh dari nafsu-nafsu ini agar tidak terganggu pancaran cahayanya. Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan keburuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang; jangan mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh gelombang-gelombang nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan menyesatkan, dan menggelapkan pikiran dan jiwa kita. Bangkitlah ke tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan tingkat yang rendah di mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan sekali kita bekeija dengan intelektual kita yang penuh dengan ‘rasio,’ maka meditasi kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.
20. Sewaktu pikiran yang terkendali oleh upaya-upaya konsentrasi menjadi stabil, sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh dirinya dan merasa bahagia dengan Dirinya;
21. Sewaktu ia menemukan kebahagiaan Nan Agung (tak ada taranya)—-kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini, maka seseorang tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.
22. Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.
23. Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).
Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah mencapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau berada di luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jernih, dan sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.
Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja untuk dipertahankan atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali. Dalam keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya boleh hancur tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenamya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.
Keadaan semacam ini — yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus dilalui dengan praktek-praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya. Seorang pemula biasanya selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: “Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan sesuatu?” Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Untuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau cepat ia pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.
24. Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;
25. Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikiran hal-hal yang lainnya.
Dalam dua sloka di atas terlihat intisari ajaran Sang Kreshna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:
a. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan nafsu-nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
b. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
c. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra mereka akan diserang oleh rasa takut seperti “pikiranku terkendali, dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?”; “indra-indraku terkendali, dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?”; dan lain sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita ini.
d. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat. Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa, inilah seninya meditasi.
e. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata lain abhyasa berarti, “giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman.”
Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari dalam segala tindak-tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita, sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia-sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan. Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah kesabaran yang penuh dengan iman dan dedikasi!
26. Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).
Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan febih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.
27. Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang pada seorang yogi yang pikirannya damai, yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.
28. Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan llahi (Yang Maha Abadi).
Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada suatu hari; dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama brahma-samsparsham, yaitu kontak dengan llahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar llahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan llahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: “Allah SWT Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya.”
29. Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua makhluk dan semua makhluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri yang ada dan hadir semenjak masa silam).
Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:
a. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai menyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
b. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam secara sama rata pada makhluk-makhluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang Kreshna) hadir di mana saja dan kapan saja.
c. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha Esa.
Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. la tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.
Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai dengan penderitaan pada orang lain.
Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa “semua ini milikku,” dan tak mau menganut prinsip bahwa “semua ini bukan milikku” dan bahwa “Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu.” Dengan membeda-bedakan antara “milikku” dan “milik orang lain,” maka Arjuna pun masuk dan terhunjam ke . depresi yang maha dahsyat, begitupun kita manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih terombang-arnbing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan “kekanglah pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap makhluk!” Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).
30. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.
Bagi seorang yang telah sadar, setiap makhluk baginya adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah la dan kebesaranNya semata. Sang yogi ini tak sekejappun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejapun dari pandangan, perasaan, pikiran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. Om Tat Sat.
31. Seorang yogi yang telah tercipta kesatuannya, memujaKu sebagai yang berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu, betapapun aktifnya ia (bekerja).
Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala tindak-tanduknya. Apapun yang nampak dari luar tentang diri dan pekerjaan maupun kesibukannya tidaklah penting, yang terutama adalah kesatuan yang telah terjalin antara orang ini dengan Sang Penciptanya. Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang Ilahi yang tanpa batas. Musuh boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat boleh menyanjung dan tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak lain dan tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. la melihatNya di mana-mana tanpa kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada Yang Maha Esa bukan dalam bentuk upacara-upacara atau mantra-mantra suci, tetapi pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha Esa semata-mata adalah dengan bekerja tanpa pamrih.
32. Seorang yogi yang sempurna adalah seseorang yang melihat dengan pandangan yang sama semua benda dan makhluk, seperti terhadap dirinya sendiri, baik dalam suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya makhluk lain juga terasa olehnya sebagai suka dan dukanya).
Seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi selalu akan sedih dan senang setiap ia menjumpai kesedihan atau kesenangan orang lain, bahkan makhluk lain sekalipun, karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan alam semesta ini beserta segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini melukai atau membunuh tubuh makhluk lain, toh ia merasakan semua suka dan duka makhluk lainnya; ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama makhluk ciptaan Yang Maha Esa.
Berkatalah Arjuna:
33. Yoga untuk menenangkan pikiran yang telah Dikau terangkan ini, oh Kreshna, di dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena pikiran itu penuh dengan keresahan (dan tak menentu).
34. Karena pikiran itu sangat mudah berubah-ubah, oh Kreshna! Pikiran itu liar, kuat dan keras-kepala. Kukira pikiran itu sukar dikendalikan ibarat mengendalikan angin.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
35. Tentu saja, oh Arjuna, pikiran itu sukar untuk dikendalikan dan memang pikiran itu resah sifatnya. Tetapi dengan usaha yang terus-menerus (abhyasa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka pikiran itu dapat dikendalikan.
Abhyasa, yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha mengendalikan pikiran ke arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan pikiran-pikiran negatif yang selalu berusaha secara licik menjerumuskan kita ke arah yang lain. Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri dengan membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan sebagainya. Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal yang bersifat rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya dengan hati yang bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun tanpa terasa.
Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu, indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman sang prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun, maka secara tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang akan sadar bahwa hal-hal duniawi ini hanya sementara saja sifatnya dan merupakan pentas penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.
36. Yoga ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.
Yang Maha Pengasih, Sang Kreshna menegaskan di sini bahwa walaupun yoga ini sukar untuk dicapai oleh mereka yang dirinya kurang disiplin, tetapi bagi yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini tidaklah sukar, dan itu sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Ada beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi yang harus diikuti oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka, seperti berikut ini:
a. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
b. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
c. Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda dan makhluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi yang nyata.
d. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan Diri kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat alami), Diri kita sendiri bertindak sebagai saksi.
e. Tanamkanlah pada diri kita bahwa semua tindakan pikiran dan obyek sifatnya hanya sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi hanya Yang Maha Esa dan la bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah berkata, “Kerajaan Sorga itu ada di dalam dirimu.”
f. Pilihlah salah satu manifestasi Yang Maha Kuasa dan berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara mental. Bagi seorang Hindu misalnya pada Sang Kreshna atau Sang Rama atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan sebagainya. Bagi yang beragama Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut agama lain masing-masing pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh agama-agama tersebut, Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam manifestasi yang dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah la dan pujalah la dengan cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus kasih-sayang kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau sehelai daun, atau apa saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan Yang Maha Esa dalam tindak-tanduk setiap hari.
g. Adalah perlu dihayati bahwa semua tindakan ini selalu harus bersifat tulus dan murni, dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan dafam kehidupan kita sehari-hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali melakukannya demi kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam setiap sukses maupun kegagalan selalulah bersifat tenang tanpa terusik jiwanya, dan selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanganNya dan setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya sesuai dengan yang la kehendaki!
Berkatalah Arjuna:
37. Seseorang yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi memiliki shraddha (kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak dapat mencapai kesempurnaan yoganya, ke arah manakah ia akan pergi, oh Kreshna?
Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna. Bukankah itu sebenarnya masalah kita semua juga, yang sering penuh dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk kita tak sehat dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita mati suatu saat. Sering pikiran kita menerawang ke soal-soal duniawi tanpa kendali padahal pada waktu yang bersamaan kita yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan pergi, kalau ia mati dalam perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang Maha Esa belum sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual? Bagaimana nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk dipelajari!
38. Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah, oh Kreshna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan kacau jalannya dari Yang Maha Esa.
39. Oh Kreshna, hilangkanlah secara tuntas keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat kucari selain Dikau, yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.
“Kehilangan kedua-duanya” — yang dimaksud Arjuna, bukankah orang semacam itu akan kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu kehidupan ini dan kemudian juga kehidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa. Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita semua. Bagaimana nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau karena musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya dari orang ini? Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja tanpa pamrih demi Yang Maha Esa, tetapi pada saat-saat kematiannya karena sesuatu dan lain hal maka ia menjadi lemah mentalnya dan terikat pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang akan terjadi padanya?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
40. Oh Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang yang bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.
Sang Kreshna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista (yang mengamalkan yoga atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke arah yang salah (jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran demi Yang Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah seorang tiran, sebaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan la selalu tahu akan kelemahan-kelemahan manusia yang la ciptakan ini; selamanya la akan selalu mengarahkan kita ke arah benar. Inilah salah satu inti ajaran Bhagavat Gita yang amat penting bahwa Yang Maha Esa tidak pernah membiarkan pemujaNya atau ciptaan-ciptaanNya terjerumus ke lembah dosa secara terus-menerus dan selalu mendorong kita semua dan para makhluk-makhluk lainnya ke arahNya Sendiri. Pesan-pesan Bhagavat Gita adalah pesan-pesan yang penuh dengan harapan dan cinta-kasih antara Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah, tetapi pasti seseorang aka diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi selalu berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap saat dalam kehidupan kita.
Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi, kegagalan-kegagalan yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami, jangan sekali-kali kita lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan dengan Yang Maha Esa. Sering sekali terjadi dalam segala kebenaran dan kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah memujaNya dengan sepenuh hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci, toh ada saja dosa-dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah lalu ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tapi bangkitlah lagi dan mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita ke arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih sesuai dengan kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk membersihkan diri, maka suatu saat kita pasti akan bersih dan kita akan meningkat ke tahap evolusi spiritual yang berikutnya, yang lebih tinggi sifatnya, sampai kita akan belajar untuk menjadi sadar dan pasrah secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai dengan bisikan-bisikan Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap ini kita akan menyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada jalan yang makin menanjak ke atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik yang disebut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya, semuanya sesuai kehendakNya semata yang mungkin bagi setiap individu terasa lain pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja sifatnya.
41. Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang yang suci dan setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya, maka sang yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci dan makmur.
Seorang yoga-bhrista (yang meniti jalan ke Yang Maha Esa) tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke punyakritamlokan, yaitu loka-loka di mana hidup orang-orang yang selama ini hidupnya bekerja demi kebenaran. la pergi ke tempat yang lebih tinggi “status” nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah menjalani kehidupan selama bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia kembali lagi ke bumi ini sebagai manusia yang lahir di suatu tempat yang suci dan makmur, di mana sang yogi ini mendapatkan kesempatan lagi untuk meniti lebih mantap lagi ke arah Yang Maha Esa. (Orang-orang Hindu percaya bahwa bumi ini sebenarnya tempat yang paling tepat untuk mengenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup yang paling sempurna, bahkan para dewa-dewa sangat menginginkannya). Bumi ini menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapai moksha, seyogyanyalah manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan menyesatkan dirinya ke dalam ilusi sang Maya.
42. Atau ia akan lahir di sebuah keluarga yang telah menerima kebijaksanaan. Tetapi kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk didapatkan di dunia ini.
Seorang yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana mempunyai kesempatan yang amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang Maha Kuasa, karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di loka-loka lainnya. Seorang yang lahir di tengah-tengah keluarga yogi akan belajar mengenai Yang Maha Esa secara langsung semenjak amat dini.
43. Di situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan batin tentang kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada kelahiran yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk mencapai kesempurnaan.
Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang manusia itu bisa saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus berjuang selama berkali-kali (lahir berulang-ulang) sebelum mencapai kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha yang akan sia-sia sekali kita berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang dicapai seseorang ini selama hidupnya tak akan hilang sewaktu raganya binasa, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada kelahiran yang berikutnya, ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha Esa. Seseorang yang misalnya lahir diantara keluarga yogi ini, secara otomatis akan terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak karena suasana rumah-tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan unsur-unsur kesucian dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga tanpa disadarinya terdorong oleh karmanya yang lampau ia akan tambah bersemangat melaju ke arah Yang Maha Esa-otomatis perjuangan dan kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan ke Yang Maha Esa akan dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.
44. Karena usaha-usahanya pada kehidupannya yang lalu, maka tanpa dikuasainya lagi ia terus melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan yoga bahkan (melaju) melampaui Shabda-Brahman (tata-cara dan peraturan-peraturan Veda).
Shabda-Brahman adalah tata-cara dan peraturan-peraturan keagamaan Hindu yang tertulis di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya amat penting pada permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang yogi mencapai penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini ibarat sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai penerangan maka perahu tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha Esa, telah tercapai.
45. Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun, bersih dari dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui berbagai kehidupan akan mencapai tujuannya yang suci.
Seseorang yang berusaha dan berjuang keras, sambil menyucikan dirinya, secara perlahan tapi pasti akan mencapai kesempurnaan setelah melalui berbagai kehidupan dan pengalaman selama perjuangannya dalam hidup ini. Tujuan yang suci adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, pencapaian akan Kedamaian yang Abadi. Kalau dipelajari dan dimengerti dengan baik, maka bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita, karena setiap makhluk dan manusia betapapun besar dosanya, la secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali kepada Yang Maha Esa tanpa kecuali. Inilah sebenarnya evolusi dalam kehidupan spiritual kita, dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik kembali kepadaNya.
Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa walaupun seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan lagi ke arah yang sudah tujuannya. Kegagalan-kegagalan adalah sementara sifatnya. la akan jalan terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan hidup ini sebenarnya amat komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan dan kematian yang berulang-ulang sifatnya, sampai suatu saat ia ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang sejati, yaitu Yang Maha Esa. Raga atau sthula-sarira setiap makhluk dan insan lahir dan binasa, begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata, yaitu sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap makhluk atau insan sampai akhirnya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di dalam karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan perbuatan (sansakarci) manusia dan makhluk-makhluk ini. Karana-sarira sifatnya tak akan pernah mati, tetapi ia selalu mengumpulkan dan mengevaluasi semua yang baik dan buruk yang dilakukan oleh sthula-sarira kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada karana-sarira ini; setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita seharusnya bersih dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan-kehidupan yang mendatang.
Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah secara total kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan penuh kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan bekerja demi dan untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau alatNya semata dan jauhkanlah kekotoran-kekotoran dari karana-sarira kita, yang akan selalu melaju lebih cepat ke Tujuan yang Abadi, kalau saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan ini.
46. Seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi ini secara total; seorang yogi itu lebih agung daripada seorang ahli Veda, dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang bekerja sesuai dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi seorang yogi, oh Arjuna!
47. Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh dengan keyakinan, dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu — ialah yang kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.
Seorang tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk bertapa di hutan-hutan atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan melepaskan semua nafsu-nafsu duniawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli Veda; dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja dan bertindak sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan langsung oleh Sang Kreshna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang yogi yang tetap hidup di dalam masyarakat, bekerja sesuai dengan kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang Maha Esa semata. Seorang yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap berfungsi sebagai seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk lingkungannya, untuk negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang Maha Esa.
Inilah ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil berjalan mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai manusia terhadap keluarga, masyarakat lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. Dan diantara semua yogi, yang terbaik menurut Sang Kreshna adalah yang menyerahkan dirinya secara total kepadaNya, yang memujaNya penuh kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi yang tanpa henti-hentinya, tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keenam, yang disebut:
Dhyana Yoga atau Yoga mengenai Meditasi.

Bab 07 – Lingkaran Manifestasi
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, bagaimana mempelajari yoga dengan pikiran yang selalu terpusat kepadaKu, dan Aku sebagai tempat dikau berlindung, dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi engkau mengenalKu secara utuh.
1. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, bagaimana mempelajari yoga dengan pikiran yang selalu terpusat kepadaKu, dan Aku sebagai tempat dikau berlindung, dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi engkau mengenalKu secara utuh.
2. Seutuhnya akan Kuajarkan (Kubukakan) kepadamu apakah itu kebijaksanaan (gnana) dan apakah itu pengetahuan (vignana), yang setelah dipelajari, tak ada lagi hal-hal lainnya perlu untuk dipelajari lagi.
Bab ketujuh ini disebut yoga gnana dan vignana. Lalu apakah perbedaan antara gnana dan vignana ini? Mempelajari intisari dari Yang Maha Esa (Nirguna Nivakara Paramatman) adalah gnana; untuk mempelajari atau mengetahui “keajaiban” atau “permainan”-Nya adalah vignana, Di dalam bab ketujuh ini akan kita pelajari tentang Yang Maha Esa (Para Brahman) dan tentang aspek-aspek manifestasiNya dalam bentuk manusia (Bhagavan), contoh: Sang Kreshna dan Sang Rama. Pengetahuan tentang Brahman adalah gnana, dan pengetahuan tentang manifestasiNya, kekuatanNya, dan keajaibanNya disebut vignana. Dalam Bhagavat Gita Yang Maha Esa memanifestasikan DiriNya sebagai Sang Kreshna dan langsung mengajarkan manusia ilmu pengetahuan (yoga) ini yang setelah dipelajari seseorang tak perlu lagi ia mempelajari ajaran-ajaran Bhagavat Gita dan meresapinya dengan benar akan lepas dari lingkaran dan alur-alur karmanya. Sayang sekali kalau kita mengabaikan ajaran ini dan tetap terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi.
3. Diantara beribu-ribu manusia, belum tentu seorangpun berjuang untuk kesempurnaan, dan di antara yang berjuang dan sukses belum tentu seorangpun mengenalKu secara benar.
Seseorang yang benar-benar berdedikasi kepadaNya secara lahir dan batin atau secara total itu dapat dihitung jumlahnya dengan jari. Karena biasanya manusia itu lupa mengapa ia dilahirkan di dunia ini, yang menjadi ajangnya untuk mencapai Yang Maha Kuasa. Manusia kemudian tenggelam dalam ilusi Sang Maya, dan begitu ia sadar maka terasa perjuangannya ke arah Yang Maha Kuasa menjadi sulit, tetapi secara perlahan dan pasti kalau ia penuh iman, maka betapapun terjalnya perjalanan ia akan dituntunNya dengan baik dan suatu saat pasti sampai ke Tujuan yang abadi ini.
Bahkan para dewa-dewa pun ingin menjadi manusia, karena hanya dengan mengalahkan raga beserta seluruh indra-indranya sajalah seseorang dapat mencapaiNya. Sedangkan dewa-dewa itu tidak memiliki raga. Manusia yang memiliki raga malahan menyalah-gunakan raga ini dan melupakan nilai-nilai luhur yang sesungguhnya dari kehidupan yang dikaruniakan olehNya kepada kita semua. Seyogyanyalah kita memuja dan berdedikasi kepadaNya dan menjauhi nafsu-nafsu duniawi ini yang makin lama makin menjerumuskan seseorang ke dalam lembah tak ada ujungnya.
4. Bumi, air, api, udara, ether, pikiran, pengertian dan rasa “aku” — adalah delapan bagian dari sifatKu.
Sang Kreshna sekarang sedang menerangkan tentang DiriNya seperti apa adaNya. Sifat-sifat (atau prakriti) Sang Kreshna sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu sifat luar dan sifat dalam, di ajaran ini dikatakan terdiri dari dua sifat, yaitu sifat bagian bawah (rendah) dan sifat bagian atas (tinggi). Sifat atau prakriti yang rendah terdiri dari benda (apara-prakriti) yang terbagi dalam delapan unsur; yaitu tanah, air, api, ether dan udara, dan tiga lagi, yaitu pikiran (mana), pengertian (buddhi) dan ego (ahankara). Kedelapan unsur ini semuanya dapat binasa, dan semua unsur-unsur ini terdapat juga sebagai unsur-unsur inti dalam diri manusia, yang dengan kata lain dapat binasa juga.
5. Inilah sifatKu yang di bawah (rendah). Dan ketahuilah sifatKu yang lain, yang bersifat lebih tinggi – kehidupan atau jiwa, dengan apa dunia ini ditunjang, oh Arjuna!
SifatNya yang tinggi atau yang superior adalah yang disebut para-prakriti, yaitu Jiwa, yang jadi inti atau kekuatan atau penunjang hidup ini, yang terdapat dalam semua makhluk-makhluk ciptaanNya, yang menyatukan dunia ini; tanpa Sang Jiwa ini dunia ini tak akan ada. Sang Jiwa inilah sebenarnya nafas dari kehidupan atau inti atau asal-mula dari semua makhluk di alam semesta ini (yonini bhutani).
6. Ketahuilah bahwa ini (Sang Jiwa) adalah asal-mula semua makhluk Aku adalah asal-mula seluruh alam semesta dan juga pemusnahnya.
Semua benda dan makhluk dalam alam semesta ini datang dari Yang Maha Esa, tanpa Yang Maha pencipta ini tak akan ada apapun di dunia ini; Sang Maya adalah “Ibu” dan Sang Kreshna adalah sebagai “Ayah” dari semua manifestasiNya ini. (“Akulah Sang Ayah yang meletakkan benih!”). Ibarat cahaya Sang Surya yang datang dari Sang Surya tetap merupakan bagian dari Sang Surya, begitupun semua makhluk dan benda-benda di dunia ini adalah berasal dari Yang Maha Esa dan tetap merupakan bagian dariNya, merupakan sebagian dari cahayaNya. Setiap jiwa adalah sebagian cahaya dari Yang Maha Esa dan Yang Maha Esa adalah sumber atau inti dari setiap jiwa ini. Alam semesta ini bergerak terus dalam gerakan melingkar atau memutar. Ada lingkaran manifestasi dan ada juga lingkaran kemusnahan kehidupan, dan semua itu terserah kepadaNya untuk mengaturnya sesuai dengan kehendakNya, ibarat awan yang lahir atau tercipta di angkasa, bergerak atau tinggal di angkasa, maka begitupun semua makhluk dan benda di alam semesta ini datang, tinggal dan kembali kepadaNya lagi. Dengan kata lain Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir di dalam semuanya.
Sesuatu manifestasi bermula kalau Yang Satu ini menjadi dua, yaitu benda dan kehidupan (raga dan jiwa yang menyatu). Raga atau benda adalah bentuk fisik, sedangkan kehidupan adalah jiwa, dan semua makhluk yang ada dalam manifestasi akan bergerak dan hidup karena ada motornya, yaitu Sang Jiwa. Di mana ada permulaan kehidupan di situ kemusnahan akan kehidupan ini pun pasti akan datang, itu sudah hukumnya. Dan tahap-tahapnya adalah melalui tahap kanak-kanak, kemudian meningkat ke masa muda, masa tua dan masa di mana seseorang atau sesuatu harus binasa. Selama menjalani kehidupan maka hidup ini ibarat terisi oleh musim semi, musim kemarau, musim rontok dan musim dingin. Di musim dingin bekulah semua nilai-nilai moral dan keyakinan dan lain sebagainya terhadap yang Maha Esa, dan di musim dingin inilah Yang Maha Esa kembali meluruskan dan mencairkan yang beku ini ke asalnya lagi dan mulailah lagi nilai-nilai luhur yang baru di musim semi yang kemudian datang menyusul.
Maka disebutlah bahwa alam semesta ini memiliki “pagi” dan “malam.” Di kala pagi bangkitlah kehidupan dengan segala aspek-aspeknya seperti peradaban, kebudayaan, seni, ilmu pengetahuan, kerajaan, sejarah, dan lain-lainnya. Dan setelah pagi maka akan timbul malam yang berarti kehancuran dan kemusnahan dari segala sesuatu ini, di mana semua benda dan makhluk musnah kecuali mereka-mereka yang telah mengabdi kepadaNya tanpa pamrih. Mereka-mereka ini dibebaskan dari hidup dan mati, dan tak akan menyatu dengan manifestasi lagi atau bahkan dengan kebinasaan, mereka menyatu denganNya, Yang Maha Abadi. Dan begitulah cara permainanNya (lila).
7. Tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dariKu, oh Arjuna! Semua yang ada di sini tertali padaKu, ibarat permata-permata yang teruntai disehelai benang.
8. Aku adalah rasa segar di dalam air, oh Arjuna, dan cahaya dalam sang Chandra dan sang surya. Aku adalah Satu Kata Pemuja (OM) di dalam semua Veda. Aku adalah suara di dalam ether dan benih kekuatan dalam diri manusia.
9. Aku adalah wewangian yang sejati di dalam bumi dan warna merah di dalam bara api. Akulah kehidupan di dalam segala yang hidup dan disiplin yang amat keras di dalam kehidupan para pertapa.
10. Kenalilah Aku, oh Arjuna sebagai inti yang abadi dari semua makhluk. Aku adalah kebijaksanaan mereka yang bijaksana. Aku adalah kemegahan dalam setiap hal yang bersifat megah.
11. Aku adalah kekuatan dari yang kuat, bebas dari nafsu dan keinginan. Tetapi Aku adalah keinginan yang benar yang tak bertentangan dengan dharma, oh Arjuna.
12. Dan ketahuilah bahwa ketiga guna (sifat-sifat prakriti), ketiga tahap (sifat) setiap makhluk – kesucian (sattvika), nafsu (rajasa) dan kemalasan (tamasa)—adalah dariKu semata. Kupegang mereka semua, bukan mereka yang memegangKu.
Yang Maha Kuasa adalah motor dari sifat-sifat alami ini (gund), tetapi la berada di atas sifat-sifat ini dan tak terpengaruh oleh mereka (sifat-sifat ini).
13. Seisi dunia ini terpengaruh oleh ketiga guna ini, dan tak mengenalKu yang berada di atas semuanya itu dan yang tak dapat berganti-ganti sifat.
14. Sukar benar, untuk menembus ilusi MayaKu yang agung ini, yang tercipta akibat sifat-sifat prakriti. Tetapi mereka-mereka yang mempunyai iman kepadaKu semata, akan berhasil menembus ilusi ini.
Manusia kebanyakan tertipu oleh ilusi Sang maya yang juga adalah ciptaan Yang Maha Esa, sehingga manusia lebih mementingkan obyek-obyek duniawi dan dunia ini sendiri. Bagi kebanyakan manusia maka harta-benda, kekasih, keluarga dan milik maupun kehormatan dianggap nyata dan seakan-akan sudah menjadi milik mereka secara abadi yang tidak dapat diganggu-gugat atau dipisahkan lagi dari sisi mereka. Lupalah kita bahwa dengan berpendapat seperti itu maka makin lama kita makin jauh dariNya, Yang Maha Nyata dan Maha Abadi. Terikatlah kita makin lama dengan isi dunia ini, tetapi Yang Maha Kuasa selalu memberikan berkahNya, karena di dunia ini masih saja ada manusia-manusia yang beriman kepadaNya, dan manusia-manusia semacam ini dapat berhasil menembus tirai ilusi dan bersatu denganNya.
15. Mereka yang (gemar) berbuat dosa, yang telah tersesat, tenggelam ke bawah dalam evolusi manusia ini, mereka yang pikiran-pikirannya telah terbawa jauh oleh kegelapan, dan telah memeluk sifat-sifat iblis — mereka tidak datang kepadaKu.
Mereka yang telah bertekuk-lutut dihadapan ilusi Sang Maya, akan makin jauh diseret dari Yang Maha Kuasa, dan makin lama makin rengganglah jarak antara mereka ini dengan Yang Maha Esa. Sedangkan mereka yang ingin ke jalanNya harus secara total menyerahkan semua milik mereka dalam ilusi ini secara tulus kepadaNya. Dan ini berarti menyerahkan dengan mental yang tulus semua milik duniawi seperti anak-anak, istri, kekasih yang tercinta, harta-benda, raga, pikiran, ketenaran, kemashyuran, dan lain sebagainya, dan menjadikan semua itu ibarat sesajen atau pengorbanan untukNya, tanpa pamrih. Pemuja seperti inilah yang akan dibimbing untuk keluar dari ilusi dan kegelapan Sang Maya, Ilusi yang diciptakanNya sendiri untuk menyeleksi “bibit-bibit unggul ciptaanNya juga.”
16. Ada empat golongan manusia beriman yang memuja Ku: manusia yang menderita, manusia yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan, manusia yang menginginkan harta-benda dan manusia yang bijaksana, oh Arjuna!
Yang Maha Kuasa (Sang Kreshna) membagi pemuja-pemujaNya dalam empat kategori atau golongan, dan mereka semua ini dianggap bersifat baik atau beriman. Mereka-mereka ini terdiri dari para bhakti (pemuja) sepert berikut ini:
a. Para artha-bhakta — mereka yang hidupnya menderita dan memohon perlindungan kepadaNya.
b. Parajignasu-bhakta — mereka-mereka yang memujaNya agar mendapatkan kesadaran dan penerangan Ilahi. Para jignasu ini tidak memerlukan harta-benda atau kenikmatan duniawi, bagi mereka yang penting adalah penerangan Ilahi.
Hidup mereka ini amat sederhana dan selalu mencari guru yang dapat mengajarkan mereka ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Esa. Hidup mereka adalah pemujaan tanpa henti-hentinya kepada Yang Maha Esa.
c. Para arthaarthi-bhakta — yaitu mereka-mereka yang memujaNya demi suatu sukses dalam hidup mereka seperti sukses dalam pekerjaan, atau untuk mendapatkan harta-benda, kedudukan dan kebahagiaan duniawi yang beraneka-ragam sifatnya, bahkan demi untuk mendapat kebahagiaan sorga-loka setelah kematian mereka. Tetapi mereka-mereka ini bukan tipe manusia perusak makhluk sesamanya. Mereka memujaNya tanpa henti demi kesuksesan duniawi belaka, tetapi juga memujaNya dengan penuh kepercayaan.
d. Para gnani-bhakta — mereka yang bijaksana dalam segala-galanya. Dalam setiap makhluk, bangsa, negara, suku dan agama, dalam diri nabi-nabi dan orang suci, maka terdapatlah kaum bijaksana yang sudah melupakan ego duniawinya, dan yang mereka miliki hanyalah la dan la semata, dan la hadir dalam segala-galanya tanpa kecuali. Bhakta semacam ini telah meresap ke dalam Yang Maha Esa dan bertindak sesuai dengan kehendakNya semata. Bagi seorang yang bijaksana dunia ini adalah manifestasi dari Yang Maha Esa dalam bentuk alam semesta beserta segala isinya. Orang-orang yang bijaksana ini merasakanNya dalam rasa air yang mereka minum. MelihatNya sebagai cahaya abadi dalam rembulan dan matahari, melihatnya sebagai ajaran agung dan suci di dalam Veda-Veda. MelihatNya sebagai kata inti “OM” dalam setiap pustaka suci. lalah inti dari ether, kejantanan dalam diri laki-laki yang perkasa. Di juga yang menjadi inti dari wewangian yang sejati atau asli di dalam bumi (bumi ini dianggap keramat dan suci oleh orang Hindu). la juga menjadi inti dari api, dan segala-galanya yang hidup dan bergerak. la juga sifat disiplin yang ketat dan keras para pertapa dan para resi. la juga akal sehat dan buddhi dari orang-orang yang bijaksana. Pokoknya tidak ada sesuatupun yang lepas dari Yang Maha Esa, la lah sumber dan segala-galanya di alam semesta ini, la juga Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Pecinta semua makhluk ciptaanNya ini. (Orang-orang Hindu mempunyai seribu nama untuk Tuhan Yang Maha Esa).
17. Di antara mereka ini, ia yang bijaksana (gnani), yang hidup dalam suatu kesatuan yang konstan dengan Yang Maha Suci, yang dedikasinya terpusat ke satu arah, adalah yang terbaik. Aku paling dikasihinya dan Aku pun paling mengasihiNya.
Di antara keempat tipe pemuja, Sang Kreshna hanya mengutamakan salah satu saja sebagai yang terbaik, karena ketiga lainnya lagi memujaNya dengan motif-motif dan keinginan-keinginan tertentu. Mereka ini sebenarnya terbius oleh obyek-obyek duniawi dan terlelap dalam ilusi Sang Maya. Sebaliknya seorang gnani (yang bijaksana) mengasihi dan bekerja untukNya tanpa pamrih.
Kebijaksanaan atau gnana ini adalah pencetusan atau emansipasi yang amat khusus sifatnya. Bagi seseorang yang telah mencapai gnana atau kebijaksanaan ini, maka akan terlihat beberapa sifat-sifat khususnya seperti:
a. Lepasnya orang ini dari berbagai rasa sensasi.
b. Orang bijaksana ini tindak-tanduknya dan pikirannya berada jauh di atas hal-hal duniawi pada umumnya seperti logika, mekanisme yang berlaku secara umum, bentuk, intelek, dan,
c. Orang ini langsung memasuki cara hidup yang tinggi, yaitu suatu situasi yang penuh dengan kesatuan dengan Yang Maha Esa, tenang dan damai. Baginya tak nampak sesuatu apapun selain Yang Maha Esa, Inti dari segala-galanya di alam semesta ini beserta seluruh aspek-aspekNya.
Ia pun sadar bahwa semua makhluk dan benda bergerak dan bertindak sesuai dengan ketiga sifat alam (Prakriti), dan Yang Maha Esa adalah Inti dari semua itu, tetapi la tetap di atas semua itu. Semuanya datang dan pergi tetapi Yang Maha Esa abadi dan tetap ada selama-lamanya.
18. Semua (pemuja) ini agung, tetapi Kutegaskan bahwa pemuja yang bijaksana adalah sebenarnya DiriKu Sendiri. Karena setelah harmonis secara sempurna, ia memandangKu sebagai Tujuan Nan Agung.
19. Pada akhir berbagai kelahiran, seseorang tumbuh menjadi bijaksana dan datang kepadaKu, mengetahui bahwa Tuhan (Vasudeva) adalah semuanya ini. Mahatma (jiwa yang besar) semacam ini sukar didapatkan (di dunia ini).
Sang Kreshna dengan rendah hati tetap memandang pemuja-pemujaNya yang lain sebagai agung, tetapi sekaligus menegaskan bahwa pemuja yang bijaksana adalah ibarat DiriNya Sendiri. Kedua-duanya, yaitu sang pemuja yang bijaksana dan Yang Maha Esa adalah yuktaatma (yaitu, kembar tetapi satu). Yang Maha Esa mencintainya dan ia pun mencintai Yang Maha Esa. Orang bijaksana (gnani) semacam ini disebut seorang tatva-gnani atau mahatma, yaitu seorang yang berjiwa sangat agung (besar), dan adalah amat sukar untuk mendapatkan seorang mahatma di dunia ini. Seorang mahatma adalah produk dari evolusi yang panjang. la adalah ibarat buah matang akibat kelahiran yang berulang-ulang, jatuh-bangun dalam berjalan (yatra) sucinya ke arah Yang Maha Esa. Dan Sambil membersihkan antah-karannya ia melanjutkan dedikasinya kepada Yang Maha Esa. Pada suatu saat ia dengan karuniaNya akan berubah menjadi seorang mahatma.
20. Tetapi mereka yang kebijaksanaannya telah terbawa oleh keinginan-keinginan (nafsu-nafsu) berpaling pada dewa-dewa yang lain, mengikuti berbagai upacara (dan peraturan), yang terpusat pada sifat-sifat mereka sendiri.
21. Apapun bentuk yang ingin dipuja oleh seseorang pemuja dengan kepercayaannya — maka kepercayaan tersebut akan Kuteguhkan tanpa ragu-ragu.
22. Dengan dasar kepercayaan itu, ia kemudiaan mencari dan memuja bentuk tersebut, dan darinya ia mendapatkan apa yang diingininya, tetapi manfaatnya hanya Aku yang menentukan.
23. Tetapi orang-orang yang berpikiran pendek ini hanya mendapatkan hasil yang bersifat sementara saja. Mereka ini, pemuja para dewa akan pergi ke dewa-dewa. Tetapi yang memujaKu — pemuja-pemujaKu — akan datang kepadaKu.
Sang Kreshna sendiri mengakui bahwa ketiga tipe pemuja yang memujaNya dalam bentuk dewa-dewa dan dengan tujuan pribadi tertentu bukan berarti orang yang tidak baik. BagiNya itu hanyalah suatu proses saja, setelah beberapa kelahiran maka pemuja-pemuja ini pada suatu saat akan langsung memujaNya juga pada waktunya nanti. Memuja para dewa sebenarnya adalah pemujaan terhadapNya juga tetapi secara tidak langsung dan salah, karena berdasarkan pada motif-motif pribadi. Seharusnya diketahui bahwa dunia para dewa ini terbatas masanya, dan para dewa-dewa itu juga terbatas mandatnya dari Yang Maha Esa.
Maka para pemuja dewa-dewa hanya mendapatkan hasil yang sementara saja sifatnya, tetapi para pemuja ini karena sering memuja dewa-dewa, maka setelah beberapa kehidupan mereka pun langsung meningkatkan pemujaannya ke arah Yang Maha Esa, dan pemujaan semacam ini hasilnya abadi dan tidak sementara. Inilah pesan yang harus dihayati. Yang memujaNya tanpa pamrih langsung menuju kepadaNya, Yang memujaNya dengan pamrih secara tidak langsung akan dituntunNya juga, tetapi melalui jalan yang berliku-liku dan lebih panjang, penuh dengan berbagai kelahiran dan kematian.
24. Mereka yang kurang pengertiannya (buddhi) mengenalKu — yang tak berbentuk ini — sebagai berbentuk. Mereka tak kenal SifatKu Yang Maha Suci Yang Tak Dapat Binasa dan Teramat Agung.
Sang Kreshna manifestasi dari Yang Maha Kuasa tak dapat dikenal oleh orang-orang yang berpikiran cupat dan sempit, yang memandangNya sebagai seorang dewa atau manusia super yang dapat menghasilkan harta-benda duniawi dan keajaiban-keajaiban. Mereka tidak melihatNya sebagai manifestasi Yang Maha Esa Yang Sebenarnya, Tanpa Bentuk Dan Tak Terbinasakan. Memang bagi yang memiliki nafsu dan keinginan duniawi Sang Kreshna tak akan terlihat dalam wujud asliNya, karena mereka ini telah terbius oleh ilusi Sang Maya.
25. Terselimut oleh yoga-maya, Aku tak terlihat oleh semuanya. Dunia yang kacau ini tak mengenalKu, Yang Tak Pernah Dilahirkan, Yang Tak Terbinasakan.
26. Aku mengetahui, oh Arjuna, akan makhluk-makhluk yang telah lalu, yang terdapat sekarang ini, dan yang masih akan datang. Tetapi tak seorangpun mengetahui tentang Aku.
27. Setiap manusia dilahirkan dalam ilusi, oh Arjuna, terpengaruh oleh sifat dualisme yang bertentangan yang lahir dari keterpikatan (pada obyek-obyek) dan ketidak-terpikatan (pada obyek-obyek).
Dunia tidak mengenal Sang Kreshna secara sejati, tetapi Sang Kreshna, Yang Maha Esa, sesungguhnya mengetahui akan setiap hal, setiap makhluk yang ada pada masa silam, sekarang, dan yang akan datang. Bukankah semuanya datang dariNya juga? Bukankah la juga yang tak nampak tetapi bersemayam di dalam diri kita semuanya ini, dalam setiap makhluk ciptaanNya. Tetapi banyak yang tak sadar akan hal ini, karena telah terpengaruh sehari-hari oleh rasa dualisme, yaitu suka dan tak suka, punyaku dan bukan punyaku, panas dan dingin, untung dan rugi, dan lain segainya yang semuanya ini di atas disebut sebagai keterpikatan dan tak-keterpikatan akan obyek-obyek duniawi, yang semuanya sebenarnya adalah ilusi Sang Maya.
28. Tetapi mereka yang bertindak secara murni, di mana di dalam diri mereka dosa-dosa telah berakhir, lepas dari kegelapan sifat dualisme, memujaKu teguh dengan tekad mereka.
29. Mereka yang memintaKu jadi tempat-tempat mereka berlindunq, berjuang demi kebebasan dari usia tua dan kematian – mereka mengenal Sang Brahman (Yang Abadi), mereka mengenal Sang Adhyatman (Sang Atman, Sang Jati Diri), dan mereka juga semua tentang karma (tindakan atau aksi).
30. Mereka yang mengenalKu sebagai Yang Esa dalam setiap elemen (Adhibhuta), dalam setiap dewa (Adhidaiva) dan dalam semua pengorbanan atau persembahan (Adhiyagna) – mereka ini yang telah harmonis pikirannya mengenalKu bahkan pada saat-saat kematian (mereka).
Yang mengenalNya, yang mengenal Sang Kreshna secara murni itu di dunia ini jumlahnya hanya sedikit. Mereka ini adalah orang-orang yang murni tindak-tanduknya, bersih dari segala dosa dan telah lepas dari pengaruh dvandvas yaitu rasa dualisme yang bertentangan. Mereka-mereka ini kenal dan tahu (1) Sang Brahman yang Maha Abadi (2) Sang Atman (Adhyatman) dan (3) semua karma (tindakan dan akibatnya) Mereka pun mengenalNya sebagai Yang Hadir dalam setiap benda atau elemen (Adhibhuta), Yang Hadir dalam setiap dewa (Adhidaiva) dan Yang Hadir dalarn setiap upacara atau tindakan pengorbanan, sesajen, atau persembahan (Adhiyagna). Orang-orang yang betul-betul telah sadar akan ke-EsaanNya Kemaha TunggalanNya ini dalam setiap elemen atau unsur di alam semesta ini, betul-betul secara sejati memujaNya, tanpa pamrih!
Dalam Upanisad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke tujuh yang disebut : Gnana Vignana Yoga atau Yoga tentang ilmu pengetahuan mengenai Nirguna Brahman dan Saguna Brahman.

Bab 08 – Jalan Penerangan
Berkatalah Arjuna:
1. Apakah Brahman itu (Yang Abadi)? Apakah itu Adhyatman’? Dan apakah itu karma (aksi), oh Kreshna? Apakah itu yang disebut Adhibhuta yang dikatakan sebagai inti semua elemen? Dan apakah Adhidaiva yang disebut sebagai inti dari para dewa?
2. Siapakah yang mendasari pengorbanan (adhiyagna) di dalam raga ini dan bagaimanakah caranya, oh Kreshna? Dan dengan cara apa Dikau dapat dikenali oleh seseorang yang penuh kendali di saat kematian?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
3. Yang Tak Dapat Dihancurkan, Yang Maha Agung disebut Sang Brahman. Svabhava (Sang Jati Diri atau Sang Atman yang bersemayam dalam jiwa kita) disebut Adhyatman. Tenaga (atau kekuatan) kreatif yang menciptakan semua makhluk dan benda disebut Kama.
4. Yang menjadi inti dari semua benda dan makhluk (yaitu Adhibhuta) sifatnya dapat binasa. Yang menjadi inti para dewa adalah Jiwa Kosmos. Dan Arjuna, di dalam raga ini, Aku Sendiri (sebagai Saksi di dalam) adalah Adhiyagna.
Pada bab tujuh yang baru lalu, diterangkan tentang para kaum bijaksana (gnani) yang mengenal Sang Kreshna sebagai Yang Maha Utuh. Mereka ini telah berhasil mengalahkan kematian dan mendapatkan kebijaksanaan (gnana) atau ilmu pengetahuan sejati. Mereka-mereka ini tahu dan kenal apa itu: (1) Sang Brahman, (2) Adhyatman, (3) Adhiyagna, (4) Karma, (5) Adhibhuta, (6) Adhidaiva dan (7) Abhyasa Yoga. Dan sekarang ketujuh istilah ini diterangkan Sang Maha Pengasih, Sang Kreshna. Berikut adalah penerangan dari istilah-istilah ini:
Brahman Adalah Yang Maha Agung dan Suci, Yang Tak Terbinasakan, atau Tuhan Yang Maha Esa dan Abadi. Yang Maha Esa berada di atas semua veda-veda suci dan sifat-sifat alami (Prakriti). la berada di atas semua benda, makhluk dan obyek-obyek duniawi (alam semesta).
Adhyatman Di manakah seseorang dapat menemui Brahman? Temuilah Sang Brahman di dalam dirimu sendiri, di dalam relung jiwamu yang disebut Atman atau Adhiyatman, Sang Inti Jiwa yang berada di dalam jiwa kita sendiri, dengan kata lain, dapat disebut Sang Jati Diri. (Perhatikanlah bahwa Sang Atman sebenarnya adalah Jiwa di dalam jiwa kita sendiri Sang Inti Jiwa),
Karma Bagaimanakah Sang Adhyatman dapat masuk dan bersemayam di dalam diri kita ini? Prosesnya disebut Visarga, yaitu energi murni yang dipancarkan oleh Yang Maha Esa. Inilah yang disebut karma yang murni dan sejati, pancaran yang penuh dengan pengorbanan, kasih-sayang dan pemberian dariNya (tyaga) untuk kita semuanya. Yang Maha Esa memberikan (mengorbankan) DiriNya melalui Sankalpa, yaitu dengan berkehendak – “Aku menjadi banyak!” Dan terjadilah proses, dan dariNya bermulalah semua bentuk benda dan kehidupan-kehidupan ini. Yang Maha Esa lah sumber dari semua ini, dan inilah yang dimaksud dengan karma yang sejati, yaitu asal-mula sesuatu benda atau makhluk, sebuah proses kehidupan dengan segala pola-pola yang beraneka-ragam tanpa ada habis-habisnya dan juga reinkarnasi. Dan karma ini menjadi suatu peraturan atau tata-cara dalam kehidupan di alam semesta ini. Karma adalah suatu peraturan alami yang tegas: “Apa yang kita tabur itu juga yang akan kita tuai,” dan peraturan ini berlaku untuk semua tindak-tanduk dan proses kehidupan kita di mana saja dan kapan saja.
Karma adalah energi dari evolusi, dan karma inilah yang melahirkan makhluk-makhluk (bhuta) dan evolusi kehidupan mereka selanjutnya lagi. Karma menciptakan suatu proses kemajuan yang berkesinambungan melalui penderitaan. Kemajuan ini adalah salah satu anak tangga manifestasi untuk menemukan Jati Diri kita sendiri. Begitulah seseorang dituntun langkah demi langkah ke arah kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu dicapai melalui penderitaan dulu, dengan kata lain melalui suatu pengorbanan dalam arti yang amat luas (yagna).
Salah satu rahasia dalam sejarah atau evolusi kehidupan ini adalah pengorbanan, dan Sang Pemberi Inspirasi atau PemulaNya adalah Yang Maha Esa yang disebut dengan nama
Adhiyagna Korbankanlah jiwamu demi mendapatkan jiwa yang baru, begitulah inti dari ajaran-ajaran para nabi (orang suci) di zaman dahulu. Adhiyagna berarti Pemula atau Asal-Usul dari semua tindakan pengorbanan di dunia ini. RagaNya adalah Pengorbanan Kosmos dan dari pengorbanan ini bermula dan hiduplah semua makhluk di alam semesta ini, dan la hadir dalam semuanya dalam bentuk yang tak terlihat oleh mala, sebagai saksi dan penuntun kita semuanya, la Abadi. Suci, Agung dan selalu penuh dengan pengorbanan yang didasari oleh cinta-kasih, dan kalau dipikirkan dengan baik maka sebenarnya semua raga ini adalah “kuil-kuil yang suci” yang di dalamnya terdapat pelita yang hidup oleh apiNya, api Yang Maha Kuasa.
Adhibhuta adalah Adhipati, yaitu Yang Maha Esa, yaitu inti dan dasar dari segala makhluk, unsur, benda yang dapat binasa, Ishavasyam idam sarvam sebut kitab suci Ishopanishad yang berarti semua ini adalah baju atau pakaian Yang Maha Esa. Alam semesta beserta seluruh isinya sebenarnya adalah suci dan adalah kuil kita untuk mencapai Yang Maha Esa, Sang Maha Pencipta. Dunia ini adalah ajang kita untuk kembali lagi kepadaNya.
Adhidaiva adalah Adhipati, yaitu kekuatan Ilahi yang bersinar dalam dewa-dewa dan merupakan inti dari dewa-dewa ini. la jugalah Purushanya para dewa. la juga Prathama Purusha yang bercahaya di dalam diri mereka. la Tuhannya para dewa, la disebut juga Hiranyagarbha Puntsha (yaitu, Purusha Emas nya) para dewa. la juga Prajapati yang Suci, la juga Sutra-Atma, yaitu Nafas AgungNya para dewa (Prana-Purushd). Para dewa adalah “organ” tubuhNya, Ialah Kekuatan Kreatif, Ialah Jiwa Yang Maha Suci — Ialah semuanya yang bercahaya di alam semesta ini dari ujung ke ujung tanpa ada habis-habisnya.
Keenam pertanyaan Arjuna di atas telah terjawab oleh Sang Kreshna, dan sekarang Sang Kreshna masuk ke pertanyaan yang ke tujuh, yaitu apakah Yoga itu yang dilakukan oleh seseorang pada saat anlakala (saat kematian menjelang tiba), dan bagaimana mencapai Yang Maha Esa?
5. Seseorang pada saat meninggalkan raganya, maju terus, bermeditasi terpusat kepadaKu semata; pada saat kematian, ia akan mencapai TempatKu Bersemayam (Madbhavam). Jangan kau ragukan itu.
6. Barangsiapa, oh Arjuna, sewaktu meninggalkan raganya, memikirkan sesuatu benda (bhavam) tertentu, maka ia akan pergi ke benda itu, terserap selalu dalam pikiran itu.
Inilah hukum atau peraturan kosmos (atau Yang Maha Esa) yang berlaku di dalam agama Hindu, yang sekali lagi ditegaskan oleh Sang Kreshna. Yaitu, barangsiapa pada saat-saat akhir ajalnya memikirkan Yang Maha Esa semata maka kepadaNya ia akan pergi dan bersatu denganNya. Barangsiapa memikirkan benda-benda atau unsur-unsur lainnya yang bersifat duniawi atau sorgawi maka ke sanalah ia akan pergi. Apapun yang terpikirkan pada saat-saat kematian itulah yang akan dicapainya pada kelahiran yang berikutnya. Misalnya seseorang pada saat-saat kematiannya, pikirannya terikat pada bentuk duniawi seperti ayah, ibu, saudara, teman, istri, harta-benda, kemashuran, laba dan lain sebagainya, maka ia akan kembali lagi ke dunia ini untuk menyelesaikan karma-karmanya yang berhubungan dengan yang dipikirkannya itu. Misalnya ia berpikir akan sorga dan segala kenikmatan-kenikmatan yang ada di sana, pada saat menjelang ajalnya, maka ia akan ke sorga untuk menjalani karmanya di sana. Misalnya pada saat akhir kematiannya, ia berpikir dan terpusat seluruh pikirannya dengan tulus ke pada Yang Maha Esa, maka ke sana juga ia akan pergi selama-lamanya.
Inilah hukumnya: bhava (atau pikirannya) yang mendominasi pada saat akhir akan menjadi tujuan terakhir orang yang meninggal dunia ini. Seandainya setiap hari atau setiap saat dalam hidup, kita selalu memusatkan tindak-tanduk dan pikiran kita ke arahNya dan demi Ia semata, maka pada saat akhir pun semua pikiran secara otomatis akan terpusat kepadaNya, dan denganNya kita pasti akan bersatu.
7. Maka seyogyanyalah, setiap saat, berpikirlah tentang Aku dan berperanglah! Kalau pikiran dan pengertianmu terpusat kepadaKu, dikau pasti akan datang kepadaKu.
Karena sudah hukumnya begitu; bahwa seorang yang pada akhir hayatnya berpikir akan suatu obyek duniawi maka akan pergi ke situ juga setelah habis kehidupannya, maka di sloka di atas ini Sang Kreshna bersabda pada Arjuna sebagai berikut: (1) “Setiap saat (senantiasa) berpikirlah tentang Aku” dan (2) “Berpikirlah tentang Aku dan berperanglah!” Diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap saat berpikirlah tentang Aku — berarti dunia ini atau kehidupan ini bagi manusia sifatnya sebenarnya tidak langgeng, dan kita tak pernah tahu bila kita akan mati dan kalau saat-saat kematian tiba-tiba datang, dan seandainya kita sudah bersiap-siap dengan selalu memikirkan Yang Maha Esa, maka kita pun akan segera pergi ke arahNya dengan lurus. Dan sebaliknya kalau sehari-hari yang menjadi pikiran hanya obyek-obyek duniawi dengan segala kesenangan dan penderitaan saja, maka kita pun akan pergi ke obyek-obyek duniawi ini, saat sang kala tiba-tiba datang meyergap tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
2. Berpikirlah tentang aku dan berperanglah! — pada Sang Arjuna, Sang Kreshna menganjurkan untuk berperang! Mengapa? Karena Arjuna adalah seorang Kshatrya yang berkewajiban untuk berperang demi nusa-bangsanya, dan demi tegaknya kebenaran. Dan cara berperang itu harus berdasarkan dedikasinya kepada Yang Maha Esa (“Berpikirlah tentang Aku”)- Itulah tugas atau dharma atau svadharma kita semua, berjuang sesuai dengan tugas dan status kita di dunia agar tercapai pembersihan batin kita. Seorang guru bekerja semestinya sebagai guru dan seorang pedagang sebagai pedagang dan tidak mencampur-adukkan status dan kewajibannya, sesuai panggilan nuraninya.
Yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa kita harus dan selalu berpikir akan Ia dan bekerja sesuai dengan kewajiban kita; mengingkari kewajiban atau lari dari kewajiban seberapa kecilpun berarti dosa. Sedangkan tidak berpikir akan Yang Maha Esa akibatnya adalah kerugian yang maha besar bagi kita juga, karena lingkaran karma akan membelit kita terus-menerus.
8. Seseorang yang pikirannya tidak mengembara (kesana-kemari), yang selalu bermeditasi, jalan pikirannya selaras dengan usahanya yang terus-menerus, ia, oh Arjuna, pergi ke Paraman Pususham Divyam, yaitu la Yang Maha Agung dan Maha Suci.
9. Ia memujaNya sebagai Yang Maha Mengetahui, sebagai Yang Selalu Hadir Semenjak Masa Yang Amat Silam, sebagai Yang Maha Penguasa, sebagai Yang Maha Tercepat, sebagai Yang Maha Memelihara kita semua, sebagai Yang BentukNya Tak Dapat Dimengerti oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tetapi la Terang Benderang bagaikan Sang Surya dan jauh dari semua kegelapan.
10. Pada saat kematiannya dengan tekad dan pengabdian yang kuat, dengan tenaga yoganya, ia menahan nafas kehidupan pada spasi diantara kedua alis matanya, dan ia mencapai Yang Maha Agung dan Yang Maha Suci.
Cara mencapai Yang Maha Esa (Saguna Avyakta Divyarupa) diterangkan sebagai berikut: Sang Yogi harus selalu mengendalikan jalan pikirannya, dan memusatkannya kepada Yang Maha Esa, dengan senantiasa berbuat ini, maka secara konstan ia akan mengenal yang Maha Esa dan merasakan kehadiranNya senantiasa dalam suka dan duka, dan akibatnya tidak akan pergi ke dewa-dewa atau obyek-obyek lainnya. Disebutkan bahwa seseorang yang senantiasa terpusat kepada Yang Maha Esa, rnaka pada waktu ajalnya dapat dilihat dari wajahnya yang diibaratkan seperti cermin dari Yang Maha Esa. Dikatakan bahwa orang semacam ini telah terserap jiwa-raganya ke dalam Yang Maha Esa. Yang Maha Kuasa (Paramam Puntsham Divyam) disebut juga Svampa, yaitu Yang memiliki berbagai nama (ada 1.000 nama untuk Yang Maha Esa di dalam agama Hindu). Misalnya la disebut Kavi (Yang Maha Bijaksana), Sarvagna (Yang Maha Mengetahui), Yang Maha Hadir, Tuhan dari para resi dan penyanyi lagu-lagu suci. la disebut juga Pranam (Yang Mula), la disebut juga Sarva Shaktivan (Yang Maha Pengatur Segala-galanya). la lah Yang Terlembut diantara yang terlembut, la lah Yang Terkecil diantara yang terkecil. la lah Maha Penunjang, Pemelihara, Yang Menjadi Tempat kita tinggal, Yang Menjaga kita semua. la lah Bentuk Yang Tak Dapat Digambarkan (Achintatyarupam), Yang tak dapat dibayangkan oleh seorang pun, sebuah Bentuk diluar pikiran dan daya intelektual manusia, tetapi la juga yang bersinar seperti mentari yang paling terang diantara jajaran mentari-mentari lainnya. la bersemayam jauh dari segala kegelapan baik kegelapan dalam bentuk duniawi maupun dalam bentuk spiritual.
Pada saat kematian sang yogi ini, maka ia dengan penuh ketulusan dan iman yang tanpa dibuat-buat memusatkan nafas kehidupannya diantara kedua alis matanya. Yogi semacam ini akan meninggal dunia dengan amat tenang dan dalam ketenangan ini ia menuju ke Yang Maha Suci. la tak akan kembali ke dalam lingkaran hidup dan mati !agi, kecuali memang ia sendiri yang menghendakinya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan tertentu yang diingininya.
11. AkanKu beritahukan kepadamu sesuatu dengan jelas – yaitu sesuatu yang oleh para pengenal Veda disebut Aksharam (Tak Terbinasakan), sesuatu yang dituju oleh para pengendali nafsu (atau yang telah bebas dari nafsu), sesuatu yang diperjuangkan dan dituju oleh para bramacharin (yang tidak menikah).
12. Menutup semua pintu-pintu raga (lubang-lubang indra), memusatkan pikiran di dalam hati, nafas dipusatkan di kepala, bertindak teguh dalam konsentrasi yoga.
13. Menyebut satu kata OM–Sang Brahman Yang Abadi – hidup di dalamKu (dalam aspekKu yang sempurna, yaitu aspek Sang Brahman), maka ia yang pergi meninggalkan raganya, pergi ke Tujuan Yang Tertinggi.
Diterangkan di sini cara-cara mencapai Yang Maha Esa (Nirguna Para Brahman) pada saat-saat kematian seseorang. Para ahli Veda menyebut Yang Maha Esa sebagai Yang Tak Terbinasakan, dan ke dalamNya menujulah para resi dan orang-orang suci dan orang-orang yang mengendalikan nafsunya. Semuanya menuju arah yang sama untuk mencapaiNya. Para yogi ini pada saat-saat kematian mereka menutup pintu-pintu indra mereka (yaitu lima gnana-indra dan lima karma-indra), dan jalan pikiran dipusatkan ke dalamNya, dan inilah yang disebut pratyahara. Mereka mengunci pikiran dan nafsu mereka di dalam hati mereka yang disebut hridaya kamala (di antara nabhi dan kantha). Para yogi ini juga memusatkan nafas kehidupan di kepala dan ini disebut dharana. Dengan konsentrasi yoga yang penuh mereka ini menyebut dan memuja secara mental satu patah kata OM yang menjadi simbol dari Yang Maha Esa (Para Brahman). Mereka ini memuja Sang Kreshna sebagai manifestasi dari Sang Brahman, dan melepaskan raga mereka dengan tenang. Para yogi yang meninggal dunia ini menuju ke Brahma-Nirvana, dan bersatu denganNya.
14. Arjuna, seseorang yang senantiasa berpikir tentang Aku dengan pikiran yang tak tertuju kepada yang lain – ia, sang yogi ini yang disebut nitya-yuktah (selalu harmonis dan terserap di dalam Ku) – akan mudah mencapaiKu.
15. Orang-orang yang sempurna ini — jiwa-jiwa yang agung, para mahatma ini — sekali mencapaiKu, tak akan lahir kembali, ke tempat duka, yang tak abadi. Mereka ini telah mencapai Karunia Yang Tertinggi (Kesempurnaan Yang Tertinggi).
16. Arjuna, semua loka ini, sampai ke Brahmaloka — muncul dan hilang; loka-loka ini datang dan pergi. Tetapi seseorang yang datang kepadaKu, ia tak akan mengenal kelahiran lagi.
Apakah yoga-yoga di atas oleh para pembaca dianggap sukar? Apakah yoga atau cara mencapai Yang Maha Esa (Nirguna Para Brahman atau Saguna Parameshvaram, banyak nama untukNya, tetapi la Maha Tunggal) ini sukar untuk dicernakan? Maka ambillah jalan yang paling mudah seperti yang diajarkanNya, yaitu, “Berpikir tentang Aku tanpa memikirkan dewa-dewa atau tuhan lainnya. Lihatlah Aku penuh dengan iman dan kasih. Terseraplah selalu di dalam DiriKu.”
Dan barangsiapa sekali mencapaiNya maka tak akan ia lahir kembali ke dunia ini, yang penuh penderitaan dan tak abadi ini. la yang pergi kepadaNya akan mencapai kesempurnaan yang abadi dan penuh dengan karuniaNya. Barangsiapa memuja para dewa mereka akan pergi ke loka-loka para dewa ini, tetapi loka yang tertinggi seperti Brahmaloka saja tak lepas dari karma, dapat timbul dan dapat tenggelam (hilang) karena ada masa-masanya. Tetapi Yang Maha Esa tak terpengaruh oleh waktu dan karma, maka barangsiapa mencapaiNya maka akan bersatulah ia denganNya dan tak lahir dan hidup kembali ke dunia yang penuh dengan derita ini.
17. Mereka-mereka yang tahu (dari kesadaran) bahwa satu hari Brahma sama dengan seribu yuga, dan satu malam Brahma sama dengan seribu yuga lainnya — hanya mereka saja yang tahu akan hari dan malam (maksudnya, hanya mereka yang tahu akan kebenaran waktu).
18. Pada harinya Brahma, semua yang nyata ini mengalir keluar dari tubuh halus Sang Brahma yang tidak nyata. Dan menjelang malamnya Sang Brahma semua ini kembali menyerap ke tubuh halus Sang Brahma yang tidak nyata (tubuh Sang Brahma yang sama juga).
19. Arjuna, makhluk-makhluk yang melimpah-ruah ini pergi secara terus-menerus (lahir dan lahir lagi), dan tanpa daya terserap lagi menjelang tibanya malam (Sang Brahma). Dan lagi pada pagi harinya makhluk-makhluk yang melimpah-ruah ini mengalir keluar lagi.
Semua loka-loka termasuk loka-loka para dewa, dan bahkan loka yang tertinggi Sang Brahma terbatas pada hukum ‘ada’ dan ‘tidak ada,’ yaitu hukum karma. Semua loka ini terikat pada tahap-tahap tertentu yang berkaitan dengan hukum kosmos (alam semesta). diantaranya adalah tahap atau waktu tertinggi, yaitu waktunya Sang Brahma yang dikatakan dalam agama Hindu sebagai berikut: satu hari atau satu malam waktu di Brahmaloka sama dengan seribu yuga, dan satu yuga sendiri adalah suatu kurun waktu yang amat luas jika dibandingkan dengan waktu di bumi ini; suatu kurun waktu yang seakan-akan tidak ada batasnya, mungkin bermilyar-milyar tahun atau berjuta-juta tahun. Toh kurun waktu ini (Brahmaloka) masih saja berada dalam lingkupan karma, jadi masih dapat datang dan pergi atau dengan kata lain masih dapat mati dan hidup lagi. Barang siapa menyadari fakta ini, betul-betul akan menghayati kehadiran Yang Maha Esa secara sejati. Yang dimaksud dengan datang dan pergi dari tubuh Sang Brahma ini adalah: dunia ini beserta isi dan makhluknya yang terbentuk pada pagi harinya Sang Brahma, yang adalah dewa pencipta dunia ini beserta segala isinya, dan kemudian kembalinya para makhluk ke dalam diri dewa ini disebut pralaya, yaitu hari kiamat. Jadi dengan kata lain dari penciptaan dunia sampai ke akhirnya dunia ini memakan waktu satu hari dan satu malamnya Sang Brahma. Untuk ukuran bumi, hanya Yang Maha Esa yang tahu sebenarnya betapa luasnya kurun waktu tersebut. Dan begitulah seterusnya, setelah pralaya maka diciptakan lagi dunia yang baru beserta segala isinya pada hari berikut Sang Brahma, dan ini berulang-ulang sesuai dengan kehendak Yang Maha Esa. Dikatakan juga bahwa di dunia ini semua makhluk hidup dan mati lagi secara berulang-ulang (reinkarnasi), dan dengan begitu sebenarnya tak ada kreasi kehidupan yang baru, yang ada hanyalah daur-ulang saja dari elemen yang sama, yang itu-itu juga, sesuai dengan karma makhluk-makhluk ini, sampai suatu saat mereka lepas dari lingkaran karma dan mencapai Yang Maha Esa, di mana tak akan ada kehidupan dan kematian lagi. Dan selama belum mencapai Yang Maha Esa, maka semua makhluk ini akan selalu berada dalam lingkaran Sang Prakriti dan akan selalu mengalami suka dan duka yang diakibatkan oleh guna (sifat-sifat alami), dan masa karma ini bisa berlangsung amat lama.
20. Sebenarnya lebih tinggi dari yang tidak nyata (Sang Brahma) ini ada lagi Yang TIDAK NYATA, yaitu Yang Maha Suci dan Abadi, Yang tak dapat hancur sewaktu yang lain-lainnya dihancurkan.
21. Yang TIDAK NYATA ini disebut Yang Tak Terbinasakan, la lah yang disebut sebagai Tujuan Yang Tertinggi. Mereka yang mencapaiNya tak akan pernah kembali. Itulah tempatKu bersemayam nan agung.
22. Ia, Purusha Yang Tertinggi (Jiwa), oh Arjuna, hanya dapat dicapai dengan dedikasi yang tak tergoyahkan. Di dalamNya semua makhluk-makhluk ini berdiam dan olehNya semua ini (alam semesta beserta isinya) terpelihara.
Sang Brahma Disebut sebagai yang tidak nyata, tetapi ia pun masih berada dibawah pengaruh prakriti. Di atas Sang Brahma ini hadir Yang TIDAK NYATA, yaitu yang sifatNya lebih tinggi dari Sang Brahma dan tidak terpengaruh oleh prakriti. la lah Yang Maha Esa, Sang Pencipta dari prakriti itu sendiri, Yang mencipta seluruh alam semesta ini beserta segala isinya, Yang Maha Abadi, yang Maha Kuasa. Ia lah tujuan terakhir kita semuanya, yang mempunyai bermacam-macam nama tetapi Tunggal dalam penghayatan. Yang Maha Esa ini mudah dicapai hanya dengan cinta-kasih dan dedikasi yang tulus yang terpancar dari sanubari kita senantiasa tanpa henti hentinya.
23. Sekarang akan Kusabdakan kepadamu, oh Arjuna, waktu-waktu di mana para yogi yang meninggal dunia dan tak kembali lagi, dan waktu-waktu para yogi yang meninggal dunia hanya untuk kembali lagi.
24. Api, cahaya, siang-hari, dua minggu yang terang, enam bulan di kala mentari bergerak ke Utara — meninggalkan (raga) pada saat-saat ini, mereka yang kenal pada Yang Maha Abadi (Brahman) pergi ke Yang Maha Abadi.
25. Asap, malam-hari, begitu juga dua minggu yang gelap, enam bulan sewaktu mentari bergerak ke arah Selatan – meninggalkan (raga) pada saat-saat ini para yogi ini akan mencapai cahaya sang rembulan dan kembali lagi.
26. Terang dan kegelapan – kedua ini adalah jalan-jalan dunia ini yang abadi. Melalui jalur yang satu seseorang pergi untuk tidak kembali, dan melalui jalur yang lain seseorang pergi untuk kembali.
27. Seorang yogi kenal akan kedua jalan ini, dan ia tak akan kebingungan. Seyogyanyalah, oh Arjuna, teguhlah selalu dalam yoga.
28. Seorang yogi yang mengetahui semua hal ini, maka jasanya dianggap melampaui semua jasa yang didapatkannya dari mempelajari Veda-Veda, dari pengorbanan (yagna), dari bertapa, dari dana (pemberian atau amal), dan ia akan pergi ke Yang Maha Agung Dan Abadi (pergi ke alam yang penuh dengan karunia dan kedamaian).
Ada dua jalan yang diterangkan di sini: (1) jalan yang pertama ini adalah jalan yang terang dan sekaligus merupakan jalan kebebasan dari dunia ini, dan (2) jalan keterikatan dan ini berarti kembali lagi ke kehidupan duniawi ini. Jalan yang pertama disebut patama-dharma (yaitu tempat kediaman yang utama, tempat bersemayam Sang Brahman, atau Sang Kreshna. Sekali mencapai ini seseorang tak kembali lagi ke dunia. Banyak sekali sebenarnya nama untuk loka yang satu ini, tetapi yang terpenting di loka Sang Brahman ini, seorang yogi yang mencapainya akan bersatu denganNya dan akan abadi bersamaNya. Jalan yang lainnya adalah jalan kegelapan, di mana sesorang yang masih terikat pada karmanya akan menjalani jalan ini dan setelah menyeberangi Chandra loka (loka para leluhur) maka ia akan sampai ke chandra-loka dan setelah mendapatkan inti kesucian Sang Chandra (disebut sari soma), orang ini akan memasuki sorga. Di sorga-loka ini ja menikmati buah dari perbuatannya yang baik dan lalu kembali lagi ia ke dunia ini setelah masanya selesai.
Seorang yogi yang sadar akan arti kedua jalan ini, tak akan kebingungan memilih jalan kehidupannya. la tak akan terikat pada moha (kasih-duniawi). Maka seyogyanyalah kita semua tidak terikat pada moha dan tidak terikat pada hasil atau buah dari semua perbuatan baik kita juga. Lakukanlah semuanya demi Yang Maha Esa semata dan tanpa pamrih, sebagai kewajiban kita kepadaNya. Semua tindakan baik atau positif seperti pengorbanan, sesajen, doa, yagna, dana, dan tapa, dan lain sebagainya akan menghasilkan buah, tetapi persembahkan kembali buah ini kepadaNya tanpa pamrih dan selalulah bertindak tanpa keinginan agar jalan yang kita tuju kelak tidak menyimpang dari tujuan kita, yaitu Brahman-loka (ingat, bukan Brahma-loka). Semua Veda memang mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi kebijaksanaan akan Yang Maha Esa adalah lebih tinggi nilainya dari semua yang tertulis dan yang diajarkan Veda-Veda. Kebijaksanaan ini lebih tinggi sifatnya dari semua dana, yagna, tapa dan lain sebagainya. Karena kebijaksanaan yang benar akan membawa kita kepada Sang Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan kebijaksanaan yang salah (perbuatan baik demi tujuan-tujuan tertentu, demi pamrih) akan mengantar kita kembalik ke dunia ini. Bertindaklah senantiasa secara benar dan tanpa pamrih, tanpa henti-hentinya.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke delapan yang disebut : Aksharabrahman Yoga atau Yoga Sang Maha Nyata Yang Tak Terbinasakan.

Bab 09 – Misteri Nan Agung
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Kepadamu, yang tak memiliki berbagai keinginan, akanKu sabdakan rahasia yang paling dalam ini, gnana dengan vignana yang tergabung (pengetahuan tentang Nirguna Brahman — Yang Maha Gaib, digabung dengan pengetahuan tentang Cinta-Kasih nan Suci dari Sakara Brahman – manifestasiNya Yang Abadi). Mengetahui ini, engkau akan lepas dari dosa-dosa (keterikatan sansara).
Di bab ini Sang Kreshna menyabdakan tentang rahasia sejati, rahasia yang paling misterius dan suci dari Yang Maha Gaib. Arjuna dipercayai untuk mendapatkan ajaran ini karena Arjuna tidak mempunyai keinginan atau nafsu-nafsu yang negatif dalam dedikasinya terhadap Sang Kreshna. la tak membantah ajaran-ajaran Sang Kreshna selama ini, tetapi selalu ingin lebih tahu lagi dariNya. Hati Arjuna ibarat hati seorang murid yang tulus dan penuh pengabdian. Dalam bab kedelapan-belas Bhagavat Gita yang menyusul nanti, akan kita pelajari bahwa ajaran Sang Kreshna ini tidak boleh diajarkan kepada orang-orang yang hanya ingin membantah ajaran-ajaranNya. Kebenaran Bhagavat Gita hanya untuk mereka-mereka yang berdedikasi tanpa pamrih kepadaNya semata.
Memang Arjuna banyak sekali bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaannya malahan mencerminkan keinginannya untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran Sang Kreshna lebih dalam lagi. Sang Kreshna pun dengan senang hati dan penuh kasih mengajarkan ajaranNya lebih lanjut, karena Arjuna dianggapNya penuh dengan bhakti yang tulus terhadap Yang Maha Esa. Seharusnya seorang murid yang baik selalu bertanya kepada guru spiritualnya dan seorang guru yang baik seharusnya bertindak seperti Sang Kreshna dengan tidak segan-segan menuntun seseorang ke jalan yang benar dan sejati. Ajaran apakah yang maha sejati dan rahasia ini, yang disebut sebagai gabungan dari kehadiran Sang Maha Gaib dan Cinta-Kasih SuciNya, yang juga menurut Sang Kreshna adalah gabungan antara gnana dan vignana. Apakah itu gnana, dan apakah itu vignana? Dan apakah perbedaan antara keduanya?
Gnana adalah ilmu pengetahuan tentang Nirguna-Brahman, yaitu tentang Yang Maha Gaib, tetapi dalam kegaibanNya la adalah realitas yang absolut. Suatu realitas yang tak dapat ditentang kehadiranNya, walau tak diketahui bentukNya yang nyata, karena tak mungkin kita mengungkapkanNya secara harafia apa Ia itu sebenamya, dan tak mungkin pikiran kita mampu menjangkau atau menafsirkanNya, atau bahkan menerangkan secara pasti dan konkrit apakah Ia sesungguhnya. Suatu hal yang pasti adalah Ia itu yang Ada dan Hadir dan ini benar-benar realistis. la adalah realita yang abadi dan absolut tanpa bisa ditawar-tawar lagi KehadiranNya. Mayoritas manusia berpikir bahkan mengangan-angankan Seorang Tuhan yang berbentuk (Sakara Brahman). Vignana adalah ilmu pengetahuan atau pemujaan akan Sakara Brahman. Menurut Dattatrya, seorang resi agung di masa yang silam, pemujaan terhadap Nirguna Brahman hanya dapat dilakukan oleh mereka-mereka yang asarira (tak berbadan). Yang dimaksud di sini bukan makhluk-makhluk halus tetapi adalah kiasan dari seseorang yang sudah tak terikat pada dvandvas, yaitu nafsu atau sifat dualisme yang bertentangan. Seseorang yang telah mengatasi semua keinginan dan nafsu-nafsunya, yang telah berada di atas rasa suka dan duka, walaupun dibakar hidup-hidup tak akan merasakan apa-apa lagi. Mayoritas manusia tidak bisa mencapai kesadaran Ilahi seperti ini, dan memujaNya dalam bentuk Sakara Brahman, yaitu Tuhan Yang Berbentuk, seperti pemujaan pada Sang Kreshna, Vishnu, Shiva, dan sebagainya.
Sang Kreshna sendiri disebut juga sebagai Purusha Uttama dan DiriNya adalah manifestasi dari Yang Maha Esa (Nirguna Brahman). Jadi gnana adalah pemujaan kepada Yang Maha Esa Yang Tidak Berbentuk sedangkan vignana adalah pemujaan kepadaNya dalam bentuk-bentuk manifestasiNya, seperti Sang Kreshna, Sang Rama, dan lain sebagainya. Yang pertama ini lebih sukar untuk rata-rata manusia sepert kita ini, Yang kedua karena berbentuk manusia maka lebih mudah bagi kita untuk memujaNya. Dalam manifestasiNya yang berbentuk maka bisa saja Yang Maha Esa dipuja dalam bentuk dewa-dewi, aspek-aspek alam seperti sang surya, rembulan, sungai, sapi atau bentuk-bentuk kosmos lainnya. Bisa juga la dipuja sebagai seorang guru, pahlawan, pendeta-suci, resi, dan simbol-simbol yang dianggap suci. Atau la dipuja dan dihayati dalam bentuk orang-orang yang menderita dan bentuk fakir-miskin yang hina-papa. Contoh: ibu Theresia yang melihatNya dalam bentuk manusia-manusia yang sangat menderita di Calcutta dan di seluruh dunia. Pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian in berbakti kepada Yang Maha Esa dalarn dedikasinya, tanpa pamrih untuk la semata. Kata-kata ibu Theresia yang pantas dicatat adalah: Berpikirlah akan apa yang sedang kau lakukan kepadaNya, Berpikirlah akan apa yang sedang kau lakukan untukNya, Berpikirlah akan apa yang sedang kau lakukan denganNya,
2. Raja-vidya (ilmu pengetahuan yang paling agung) ini, raja-guhyam (rahasia yang paling agung) menyucikan dan amat tinggi nilainya. Dan ilmu ini bercahaya gemerlapan, harmonis dengan dharma (kewajiban); sangat mudah untuk dipergunakan dan tak dapat dibinasakan.
Ilmu ini disebut raja-vidya, karena tak dapat dipelajari di sekolah, tapi hanya dipelajari dan dihayati oleh mereka-mereka yang benar-benar terpilih untuk itu, yang ingin menguasai pikiran dan indra-indranya. Raja-vidya ini, kalau bukan diterangkan olehNya, tak mungkin kita ketahui sendiri dengan benar. Karena apakah Tuhan itu sebenarnya, hanya Ia Yang Maha Tahu. Yang kita ketahui hanyalah seperti yang diuraikan di sini sesuai dengan KasihNya pada Arjuna dan kita semuanya. Pada sloka di atas disebutkan bahwa raja-vidya ini menyucikan rasa dan pikiran kita (pavitram) dan juga amat berharga (uttaman = tinggi nilainya), karena dengan menghayati dan sadar akan arti ilmu ini, seseorang lalu tahu akan nilainya yang amat tinggi dan sebenarnya tak ternilai untuk ukuran duniawi ini yang serba materialistis.
Dikatakan juga di atas bahwa ilmu pengetahuan ini gemerlapan cahayanya (pratyakshavagamam) dengan kata lain, seseorang yang memujaNya dengan tulus akan diberkahi cahaya ilmu pengetahuan ini yang bersinar amat gemerlapan, dan juga ilmu ini harmonis atau sejalan dengan semua dharma-bhakti dan kewajiban kita kepadaNya dan masyarakat di sekitar dan di sekeliling kita, bahkan dikatakan harmonis dengan hukum kosmos yang berlaku. Ilmu pengetahuan ini juga mudah untuk diusahakan, dijalankan dan dilaksanakan. Ilmu ini mudah dipelajari karena bentuk ajarannya sebenarnya tidak memakan biaya mahal, dan mudah difahami. Juga menurut Sang Kreshna, ilmu ini tidak dapat binasa, habis atau surut, tetapi kebijaksanaan ini akan langgeng dan abadi. (Setelah beribu-ribu tahun Bhagavat Gita diturunkan di Kurukshetra maka sampai saat ini ajaran Bhagavat Gita masih relevan dan dianggap sebagai inti dari semua ajaran spiritual di dunia. Inilah salah satu bukti dari kata-kata Sang Kreshna di atas.)
3. Orang-orang yang tak beriman pada ilmu pengetahuan ini, oh Arjuna, tidak akan mencapai Aku, kembali ke jalan dunia yang binasa ini.
Ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan ini membebaskan mereka-mereka yang beriman dari semua sifat-sifat prakriti dan kegelapan yang ditimbulkan oleh Sang Maya. Para yogi yang beriman ini tidak kembali lagi ke dunia yang penuh dengan ketidak-abadian ini, tetapi bersatu bersemayam di dalam Diri Yang Maha Esa untuk selama-lamanya. Yang jadi titik penting di sini adalah iman atau kepercayaan yang teguh dan tak tergoyahkan kepada Yang Maha Esa, dan ini harus tanpa pamrih sedikitpun. Tanpa iman semacam ini tak mungkin kita mencapaiNya.
4. OlehKu dalam bentukKu Yang Tak Nyata seluruh alam semesta ini tertunjang. Setiap makhluk berakar padaKu, tetapi Aku tak berakar pada mereka.
5. Dan (tetapi) sebenarnya semua makhluk tak berakar padaKu. Saksikanlah misteriKu Yang Suci. DiriKu menciptakan semuanya, menunjang semuanya, tetapi tidak berakar pada semuanya.
Sang Kreshna dalam bentuk aslinya, yaitu Sang Brahman adalah asal-mula dari semua makhluk dan seisi alam semesta ini, dengan kata lain semua ini berakar padaNya, tinggal di dalamNya, ditunjang olehNya dan terpelihara olehNya, tetapi la sendiri tak terpengaruh oleh semua ciptaanNya ini, karena Yang Maha Esa berada di atas semua ciptaan-ciptaanNya, di ataspralaya (kiamat), di atas alam semesta. Semua sebaliknya bersandar atau bertumpu padaNya, inilah yang dimaksud sebagai Misteri Yang Agung (Yogam-aishvaram) dari Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi adalah juga Sang Atman (Jati Diri Yang Sejati) yang secara universal menunjang seluruh alam semesta ini. Kita harus menyadari bahwa semua obyek dan unsur di alam semesta seperti dewa, manusia, makhluk, jin, tata-surya, tumbuh-tumbuhan, fauna, mineral, atom, elektron, ether, dan lain sebagainya adalah sebagian dari Yang Maha Suci ini. Semua yang kita dengar, lihat, rasa, adalah dariNya semata, dari Yang Maha Suci ini. Semua yang kita dengar, lihat atau rasa adalah dariNya semata, dari ide-ideNya dan gagasan-gagasanNya (sankalpa), dari yoga-mayaNya, dari ShaktiNya Yang Maha Suci. Seyogyanyalah alam semesta ini berharga dan tinggi nilainya karena berasal dariNya juga, maka seharusnya kita melestarikan semua ciptaan Yang Maha Esa ini. Semua berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.
6. Ibarat angin yang dahsyat, bergerak ke setiap arah, tetapi selalu berada di angkasa (akasha), begitupun ketahuilah olehmu, semua makhluk bersandar padaKu.
Angin selalu bergerak dan bertiup di angkasa, di langit dan di setiap spasi di bumi ini, tetapi selalu berada di situ-situ juga dan tidak pernah berupa angkasa atau langit atau spasi itu sendiri. Begitu juga halnya dengan semua ciptaanNya selalu di situ-situ juga, yaitu bersemayam di dalamNya tetapi tidak pernah mengikatNya. la yang menjadi sumber ciptaan dan kehidupan alam semesta ini dan bukan sebaliknya.
7. Pada penutupan setiap kalpa (umur dunia), oh Arjuna, semua makhluk kembali ke Sifat (Prakriti) Ku. Dan pada permulaan kalpa yang berikutnya, Ku kirim mereka kembali keluar.
8. Melalui PrakritiKu, Ku ciptakan berulang-ulang semua makhluk yang (amat besar jumlahnya ini), yang tak berdaya, karena berada di bawah kendali Sang Alam (Prakriti).
Semua makhluk datang dari Sang Maya, dari Sang Prakriti, pada saat diproyeksikan (evolusi) dan kembali ke Sang Prakriti lagi pada saat akhir setiap kalpa, dan keluar atau tercipta lagi selanjutnya pada penciptaan baru berikutnya, dan kembali lagi dan begitulah seterusnya. Semua ini adalah pekerjaan Sang MayaNya Sang Kreshna, Sang Brahman dalam bentuk asliNya. Semua terikat pada hukum alam yang diciptakanNya tetapi la sendiri tak pernah terikat pada semua itu.
9. Semua tindakan ini, oh Arjuna, tidak mengikatKu, karena Aku bersemayam jauh dari mereka (perbuatan ciptaan-ciptaan ini dan karma-karma mereka), tak terikat pada perbuatan-perbuatan ini.
10. Begitulah, diperintahkan olehKu, maka alam menciptakan semuanya, yang bergerak maupun yang tak bergerak, dan begitulah, oh Arjuna, dunia ini pun berputar.
Begitulah Yang Maha Esa menjadi sumber, pimpinan akan alam semesta ini, dan dengan perintahNya alam ini pun berputar sesuai dengan kehendakNya, tanpa Ia sendiri terlibat lagi dengan alam semesta ini dengan seluruh gerakan-gerakannya. Seluruh jajaran dewa-dewa agung seperti Vishnu, Shiva, Brahma dan lain sebagainya akan masuk kepralaya suatu saat nanti, tetapi Sang Kreshna (Sang Brahman) tak akan tersentuh oleh kejadian ini, karena Ia lah Yang Maha Mencipta dan Yang Maha Menghancurkan.
11. (Melihat Ku) dalam bentuk manusia, orang-orang yang bodoh tidak memperdulikanKu, (mereka) tak sadar akan SifatKu yang lebih tinggi, Yang memerintah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala makhluk-makhlukNya.
Inilah salah satu rahasia abadi dari Yang Maha Esa. Dalam bentuk manifestasiNya sebagai manusia dari zaman ke zaman. la selalu tidak diacuhkan atau tidak diperdulikan oleh mereka-mereka yang tak beriman kepadaNya. Orang-orang bodoh atau yang tak sadar ini tidak mengetahui bahwa Yang Maha Pencipta ini sebenarnya adalah Yang Maha Kuasa dan memerintah atas segala makhluk-makhluk ciptaanNya, dan atas alam semesta beserta segala isinya. la adalah sesuatu Yang gaib, Yang tak nyata dan tak berbentuk, sesuatu kekuatan Yang amat dahsyat dan tak dapat dilukiskan atau diterangkan oleh manusia. Lalu timbul pertanyaan, mengapa manusia ini tersesat dan bodoh sehingga tidak sadar akan Yang Maha Esa dalam berbagai bentuk manifestasiNya? Karena nafsu, ego, dan kegelapan (boleh juga dikatakan “iblis”) yang bersarang di dalam hati mereka, karena ulah Sang Maya dan “permainannya,” sehingga mata-hati mereka tertutup untukNya.
12. Harapan-harapan mereka sia-sia saja, tindakan mereka pun sia-sia saja, ilmu pengetahuan mereka pun sia-sia saja. Jauh dari kesadaran, mereka mengambil sebagian dari sifat-sifat buruk iblis dan syaitan.
13. Tetapi jiwa-jiwa yang agung (paramahatma), oh Arjuna, yang mengambil sebagian dari sifat-sifatKu Yang Suci, memujaKu dengan iman yang teguh. Mereka sadar bahwa Aku adalah Yang Tak Terbinasakan, Asal dari segala makhluk.
Ada dua sifat atau prakriti di dunia ini, yaitu mohini-prakriti (sifat iblis) dan daivi-prakriti (sifat suci). Mereka-mereka yang memiliki sifat yang pertama akan menjalani hidup mereka penuh dengan nafsu, dosa, polusi, sesuai dengan sifat-sifat syaitan dan iblis. Sedangkan mereka-mereka yang mengambil sifat prakriti yang kedua akan berjalan sesuai dengan sifat-sifat Yang diturunkan oleh Yang Maha Esa. Dan mereka yang terakhir ini akan memujaNya secara tulus dan sadar, dan akhirnya terserap kedalamNya.
14. Mereka selalu mengagungkan Aku, sangat tegar dan tak kenal lelah dalam tekad mereka; mereka mendatangiKu, diri mereka selalu terkendali, mereka memujaKu dengan cinta-kasih yang penuh hormat.
15. Yang lain-lainnya pun, mengorbankan pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan, memujaKu, sebagai Yang Esa, sebagai Yang Jauh, dan Yang Banyak JumlahNya (karena mereka melihat Ku) hadir di mana-mana.
Mereka-mereka yang bijaksana dalam pemujaan mereka kepada Sang Kreshna Yang Maha Esa, mengorbankan pengorbanan dalam bentuk gnana (ilmu pengetahuan), mereka ini melakukan gnana-yagna. Mereka sadar dan memusatkan perhatian mereka pada Yang Maha Esa sebagai Yang Tunggal dan juga sebagai Yang Banyak karena Yang Maha Esa ini hadir dalam segala-galanya tetapi la bersifat Esa.
16. Akulah pemujaan, Akulah pengorbanan, Akulah yang dikorbankan untuk para leluhur, Akulah tumbuh-tumbuhan yang menyembuhkan (penyakit), Akulah mantra, Akulah minyak (untuk pelita di kuil), Akulah Api, dan Akulah sesajen yang diapikan.
Sang Kreshna meneruskan keterangan-keterangan tentang DiriNya Yang Sejati, yang pada hakikatnya adalah Inti dari segala yang ada dan yang dilakukan oleh manusia atau alam dan isinya. Ia hadir misalnya dalam suatu yagna dan setiap aspek-aspeknya. Dan mereka yang memuja dewa-dewa, Veda-Veda dan lain sebagainya dengan ini diberi kesadaran bahwa sebenarnya mereka ini memujaNya juga secara tidak langsung.
17. Akulah Bapak dunia ini, Ibunya, Penunjangnya dan juga Kakek (Leiuhurnya). Aku lah Yang suci dan tunggal Yang harus diketahui (oleh manusia). Akulah OM, dan juga Veda-Veda, Rig, Sama dan Yajur.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adalah Inti-Murni dari segala ilmu-ilmu pengetahuan suci, dan hal ini seharusnya disadari oleh manusia. la juga kata inti OM yang terdapat di Veda-Veda dan kitab-kitab suci Hindu lainnya.
18. Akulah Jalan, Penunjang, Penguasa (Tuhan), Saksi, Tujuan, Tempat Berlindung, dan Sahabat. Akulah Asal-Mula dan Akhir (Pralaya), Fondasi, Tempat Penyimpan Harta-Benda, dan Inti (Sari) Yang Tak Pernah Binasa.
Sang Kreshna adalah semua aspek dan penunjang kehidupan ini. la juga segala-galanya. la juga harta-benda sesungguhnya dan kehidupan yang tak dapat binasa. la sekaligus sahabat dan saksi kita di dalam diri kita sendiri. Ia lah permulaan kita dan akhir kita dalam arti yang sebenar-benarnya.
19. Aku memberi panas. Aku menahan dan mengirimkan hujan. Akulah Keabadian dan juga Kematian. Aku lah yang telah berlalu (tidak abadi = asat) dan keabadian (sat).
Sang Kreshna lah yang mengendalikan semua elemen-elemen di dunia ini. Ia lah Sat yang dapat disebutkan sebagai suatu zat atau keadaan yang selalu abadi. Tetapi Ia juga yang bersifat tidak abadi dan dapat binasa (asat). Semuanya Ia dan Ia semata.
20. Mereka yang mengenal ketiga Veda-Veda, yang meminum sari soma (sakramen suci) dan telah dibersihkan dosa-dosanya, memujaKu dengan pengorbanan, memohon jalan untuk ke svarga. Setelah sampai ke dunia suci Sang Indra ini (svarga-loka), mereka menikmati kenikmatan-kenikmatan suci (yang biasa dinikmati para dewa).
21. Setelah menikmati svarga-loka yang luas ini, dan setelah habis masa dan hasil pemujaan mereka, mereka kembali lagi ke dunia kebinasaan ini. Begitulah mengikuti kata-kata dalam ketiga Veda dan menikmati kesenangan-kesenangan, mereka mendapatkan sesuatu yang berlalu sifatnya (tidak abadi dan terpengaruh hukum karma).
Mereka-mereka ini tidak bisa lepas dari hukum karma. Sorgaloka (svarga-loka) bukanlah akhir dari perjalanan hidup kita, akhir tujuan kita adalah Yang Maha Esa. Yang Maha Abadi, di mana tidak ada mati dan hidup lagi untuk selanjutnya. Veda-Veda amat penting untuk dihayati, tetapi lebih merupakan jembatan ke Yang Maha Esa, dan bukan tujuan.
22. Tetapi mereka yang memujaKu dan bermeditasi kepadaKu semata, kepada mereka ini yang dirinya terkendali, Ku berikan mereka apa yang mereka tak punya dan menjamin dengan aman apa yang mereka miliki.
Hanya kepada para pemuja-pemujaNya, kepada para bhakta ini Yang Maha Esa (Sang Kreshna) memberikan kekuatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang DiriNya dan meniti mereka ke tangga sukses demi mencapai dan bersatu denganNya. Juga dijanjikan kepada para pemujaNya bahwa Sang Kreshna menjamin kehidupan mereka secara penuh, Ia menjaga kehidupan mereka dan memberkahi mereka dengan kebahagiaan yang abadi. Harap diperhatikan para pemuja Sang Kreshna (Yang Maha Esa) yang tulus dan sejati, secara lambat laun akan melepaskan semua kemewahan dan cara hidup mereka secara perlahan tetapi pasti akan mengarah jauh dari semua unsur duniawi, bagi mereka ini apa saja yang diterimanya terasa cukup; hidup dan pekerjaan mereka semata berupa dedikasi tanpa pamrih kepadaNya. Anehnya dalam segala kesederhanaan, penderitaan dan cobaan mereka, mereka ini selalu tampil berkecukupan dalam segala hal. Inilah yang benar-benar menakjubkan sesuai dengan janji Sang Kreshna di atas. Inilah berkahNya yang sesungguhnya di dunia fana ini. Mereka selalu tampil penuh karisma dan wibawa, menyejukkan untuk dipandang dan diikuti kata-katanya.
Para pemuja yang telah mendapatkan berkahNya ini betul-betul menjalani hidup mereka dengan hal-hal yang penuh mukjizat. Misalnya mereka tidak mungkin dapat diteluh atau diguna-gunai, mereka selalu jauh dari cobaan-cobaan yang bersifat negatif, dan bahkan alam-lingkungan disekitar mereka beserta seluruh unsur-unsur yang hadir di situ akan bersahabat dengan mereka ini. Roh-roh halus, jin, pepohonan, fauna dan lain sebagainya akan bersahabat dengan mereka dalam arti yang sesungguhnya, dan ini bisa saja dirasakan ajaib bagi orang awam yang duniawi; bagi para pemuja ini biasa-biasa saja karena mereka mi telah bersahabat dengan Yang Maha Esa secara tulus dan merasa sebagian dariNya, mereka ini juga merasa dimiliki dan jadi alatNya, maka untuk orang-orang seperti ini sudah tidak ada lagi rasa takut akan apapun juga baik secara duniawi maupun secara spiritual. Yang mereka segani hanya Yang Maha Esa, dan barangsiapa bersahabat denganNya tentunya bersahabat dengan seluruh alam semesta ini secara otomatis dan ini betul-betul suatu pengalaman yang penuh dengan “mukjizat”Nya, yang disebutkan Sang Kreshna sebagai “menjamin dengan aman apa yang mereka punyai” dan “Kuberikan kepada mereka apa yang mereka tidak miliki.” Berjuanglah untuk menjadi yogi semacam ini agar jauh kita dan tujuan yang salah. Para pemuja ini juga mendapatkan banyak ilmu spiritual dan pengetahuan yang menakjubkan dari Yang Maha Esa tanpa mereka minta, dan semua itu kemudian mereka pergunakan untuk tujuan-tujuan tanpa pamrih. Sekali mereka terbius dengan ilmu atau pengetahuan ini dan menggunakannya secara salah atau penuh dengan nafsu dan egoisme maka hancurlah meditasi dan yoga mereka. Ini disebut Siddhi, dan harus diwaspadai oleh para pemuja Yang Maha Esa karena berbentuk cobaan juga dalam bentuk spiritual.
23. Bahkan pemuja-pemuja dewa-dewa lainnya yang dengan iman mereka memuja dewa-dewa ini, mereka juga memujaKu, oh Arjuna, walau tidak dengan cara yang benar.
Bhagavat Gita adalah suatu ajaran yang unik, dan penuh dengan kebebasan memuja. Setiap orang tidak dilarang untuk memuja apa saja tetapi juga tidak dianjurkan demikian karena yang ingin diluruskan adalah pemujaan kepada Yang Maha Esa semata, tanpa menjalani jalan yang salah. Tetapi seandainya seseorang tetap mengambil jalan yang salah maka ia diberi kesadaran agar mengubah jalur yang ditempuhnya. Pesan ini berulang-ulang ditekankan di Bhagavat Gita.
24. Karena Aku ini adalah Penikmat dan Tuhan dari semua pengorbanan. Tetapi orang-orang ini tidak mengenalKu, yaitu sifatKu yang sejati, dan jatuhlah mereka ini (ke lingkaran hidup dan mati lagi).
Karena tidak mengenal sifat-sifat sejati Sang Kreshna, Yang Maha Esa, dengan baik maka banyak pemuja yang memuja dewa-dewa dan merasa sudah cukup dengan itu. Padahal dalam hakikat Yang Maha Esalah yang seharusnya dipuja agar lepas kita dari lingkaran karma dan samsara (penderitaan ini).
25. Barangsiapa yang memuja para dewa pergi ke dewa-dewa, yang memuja leluhur pergi ke leluhur, yang memuja jiwa-jiwa (roh-roh) yang rendah sifatnya (bhuta) pergi ke para bhuta ini, tetapi pemujaKu datang kepadaKu.
Dijelaskan dan ditegaskan sekali lagi oleh Sang Kreshna secara bebas dan amat demokratis tujuan pemujaan para pemuja yang bebas memuja. Silahkan dengan demikian menentukan pilihan, karena Yang Maha Esa sudah jelas sabda-sabdaNya.
26. Barangsiapa mempersembahkan kepadaKu dengan dedikasi, sehelai daun, sekuntum bunga, ataupun air, Ku terima persembahan penuh kasih itu sebagai persembahan dari hati yang suci-murni.
Sloka ini adalah salah satu sloka yang amat penting untuk dipelajari dan dihayati oleh orang yang beragama Hindu. Di sini diperlihatkan betapa besarnya Jiwa Yang Maha Esa yang tak pernah menuntut apapun juga dari kita semua untuk apa saja yang telah diberikannya kepada kita semua. BagiNya yang penting dari kita hanyalah dedikasi, iman dan kasih untukNya, dan semua itu dapat disimbolkan dalam bentuk-bentuk sederhana saja seperti daun, bunga dan lain sebagainya. la tidak menuntut harta-benda atau yang mewah-mewah dan yang bukan-bukan. Hanya yang kecil-kecil saja yang diingatkanNya kepada kita. Maka seyogyanyalah berbakti kepadaNya dengan yang sederhana dan kecil saja seperti memperhatikan fakir-miskin dan mereka yang kesusahan di sekitar kita dengan dana yang berupa apa saja dalam bentuk yang sederhana saja kalau tidak bisa yang bentuknya malahan menyusahkan. Dengan sedikit perhatian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan, maka setiap saat kita sudah berbakti untukNya tanpa pamrih. Nyalakan sebuah lilin kecil setiap hari dalam dirimu atau dengan kata lain jadikanlah anda sebuah batu-bata kecil untuk membangun kuilNya yang suci, atau berikanlah segenggam beras kepada sesama makhluk setiap harinya; semua pengorbanan-pengorbanan kecil demi Yang Maha Kuasa ini akan meniti kita ke pemasrahan total dan pembersihan atau pemurnian hati kita suatu waktu, dan jatuhlah kemudian berkah dan karunia Sang Maha Pengasih, Sang Maha Penyayang atas diri kita yang ‘bodoh’ dan ‘gelap’ ini, dan teranglah tujuan kita ke arahNya.
27. Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau santap, apapun yang kau persembahkan, apapun yang kau danakan, apapun puasa (atau disiplin spiritual) yang dikau lakukan — lakukanlah itu semua, oh Arjuna, sebagai persembahan bagiKu.
Berdedikasilah kepada Yang Maha Kuasa sepenuh hatimu, dan dalam setiap tindakanmu yang merupakan tindakan demi Yang Maha Esa semata-mata tanpa parnrih. Apapun tindakan anda, apakah itu pekerjaan sehari-hari di rumah atau di kantor atau di mana saja, lakukanlah sebagai kewajiban anda kepadaNya semata dan harus tanpa pamrih yang setulus-tulusnya. Bukankah pada hakikatnya kita semua diutus ke dunia ini untuk suatu tugas, maka laksanakanlah tugas dan kewajiban kita sesuai dengan kehendakNya dan memujalah demi Ia semata. Berkata seperti di atas amatlah mudah, tetapi melaksanakan sesuatu tanpa pamrih atau keinginan pribadi adalah amat sukar. Juga seseorang dengan mudah dapat berkata bahwa semua tindakannya sehari-hari telah dikerjakannya demi Yang Maha Esa, tetapi secara sejati bekerja seratus persen demi Yang Maha Esa itu harus sesuai dengan hati-nuraninya, dan inilah faktor yang amat sukar untuk dilaksanakan. Menghayati tindakan-tindakan demi Yang Maha Esa hanya dapat dicapai dengan latihan mental yang intensif selama masa yang cukup lama (mungkin bertahun-tahun), sampai suatu saat kita betul-betul menghayati dan menyadari akan arti ajaran ini secara mumi.
Dalam berbagai ajaran spiritual maupun dalam berbagai ajaran agama sebenarnya ajaran di atas ini sudah disiratkan secara nyata, tetapi sering sekali kita lupa akan inti hal ini sebenamya. Kita lebih condong untuk bekerja, berbuat atau bertindak atau beraksi karena didorong oleh suatu pikiran agar mendapatkan apresiasi atau penghargaan dari orang-orang di sekitar kita, bahkan sering sekali sesuatu perbuatan kita lakukan agar mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat di sekitar kita, biasanya perbuatan atau upacara semacam ini tidak ubahnya seperti suatu pertunjukan saja. Banyak juga tindakan kita yang didasarkan pada kebutuhan dan ego kita pribadi, pada kewajiban kita pada keluarga dan diri sendiri, dan semuanya itu kita lakukan tanpa adanya kesadaran bahwa itu sebenamya harus dilakukan demi kewajiban kita kepada Yang Maha Esa. Orang-orang yang disayangi di sekitar kita tidak lain dan tidak bukan juga sebenamya hanyalah alat-alatNya belaka, sama seperti kita juga.
28. Dengan bertindak demikian, dikau akan bebas dari tali-ikatan tindakan, dari buah baik dan buruk (hasil tindakan seseorang). Dengan pikiranmu yang teguh di jalan pemasrahan-total ini, engkau akan bebas dan datang kepadaKu.
29. Aku ini sama untuk setiap makhluk. BagiKu tak ada yang tersayang atau yang Kubenci. Tetapi mereka yang memujaKu dengan setia, mereka ada di dalamKu, dan Aku pun ada di dalam mereka.
Yang Maha Kuasa itu begitu Maha AdilNya sehingga bagiNya tak ada makhluk yang tersayang atau yang paling dibenciNya. Semuanya sama saja bagiNya, tinggal terserah kita sendiri ini mau mendekatiNya atau menjauhiNya. Ada suatu contoh yang baik, yaitu cahaya. Cahaya ini jika direfleksikan ke sebuah cermin yang kotor dan berdebu maka cahaya yang memantul kembali itu buram atau tidak baik, sedangkan jikalau cerminnya bersih dan licin permukaannya, maka cahaya yang dipantulkannya pastilah sangat baik dan jernih. Yang Maha Kuasa adalah ibarat cahaya ini, dan kita semua adalah cermin-cermin ini. la selalu bersinar atau bercahaya ke arah kita semua sepanjang waktu dan setiap saat dengan adil dan merata, tanpa pandang bulu atau suku atau kasta. Dan sekarang tentunya terserah kita semua, ingin menjadi cermin yang berdebu dan kotor atau cermin yang kotor akibat ulah kita sendiri. Di sloka atas ini la telah menegaskan bahwa Ia sama saja kasih-sayangNya terhadap semuanya tanpa ada diskriminasi sedikit pun.
30. Walaupun seseorang yang tenggelam amat dalam di dalam dosa-dosanya, memujaKu dengan hati yang teguh, ia pun harus dikenali sebagai orang yang benar, karena ia telah beritikad secara benar.
Di dalam dosa-dosa pun bersinar Yang Maha Tak Berdosa; Yang Maha Kuasa secara adil dan merata. Ia bercahaya juga di dalam orang-orang yang kita anggap berdosa dan tak dapat diampuni. Sekali seorang semacam ini beritikad untuk mengubah dirinya ke jalan yang benar dan tunduk kepada Yang Maha Kuasa, maka ia harus dihormati dan dibantu, didoakan ke arah Yang Maha Esa, karena ia telah beritikad secara benar, dan suatu saat nanti sewaktu masanya tiba maka ia akan disucikan dan diterima di Tujuan Nan Abadi, yaitu Yang Maha Esa itu Sendiri.
31. Dan segera ia akan berubah menjadi benar dan mencapai kedamaian nan abadi. Oh Arjuna, harus kau ketahui secara pasti bahwa pemujaKu tak pernah binasa.
Seseorang yang mencintai Tuhan Yang Maha Esa “tak akan pernah tersesat jalannya,” lambat laun ia akan dituntun ke arahNya, dan kalau tersandung ia akan diangkat kembali agar lebih bergairah ia melaju ke arahNya. Walaupun orang ini mungkin pernah menjadi seseorang yang amat berdosa, tetapi sekali ia bertobat dan lurus hatinya maka ia akan kembali kepadaNya dan dibersihkan dari segala dosa-dosanya. Dalam diri orang ini akan timbul revolusi batin yang mendorongnya ke arah spiritual dan melajulah ia kemudian menegakkan kebenaran dan dharma. Tujuan Yang Abadi selalu menanti orang-orang seperti ini.
32. Mereka yang datang dan meminta perlindunganKu, oh Arjuna, walau mereka itu lahir dari sesuatu yang berdosa, walau mereka ini wanita atau vaishya atau sudra, mereka pun mencapai Tujuan Yang Tertinggi.
Disinilah tercermin Kerendahan Hati Yang Maha Kuasa, tercermin juga KemurahanNya dan KasihNya. Memang Yang Maha Esa ini Maha Pemurah dan Penyayang sehingga jalan kepadaNya terbuka untuk siapa saja yang menginginkannya secara tulus. Adalah salah kalau ada anggapan bahwa hanya kasta Brahmana atau Kshatrya saja yang dapat mencapaiNya. Itu hanya ilusi dan peraturan buatan manusia saja, yang penuh dengan rasa egois, keserakahan, dan angkara, yang justru bertentangan dengan ajaran Bhagavat Gita dan ajaran-ajaran Hindu lainnya. Semua orang maupun makhluk tanpa kecuali dapat pergi kepadaNya, karena Ia milik semuanya tanpa diskriminasi, apalagi seseorang yang menyalakan pelita di dalam hatinya untukNya semata tanpa pamrih.
33. Apa lagi para pendeta suci dan para aristrokrat yang suci! Setelah tiba di dunia fana dan tanpa kebahagiaan ini, (seyogyanyalah) dikau memujaKu.
34. Pusatkan pikiranmu kepadaKu; berdedikasilah kepadaKu; pujalah Aku, bersujudlah padaKu. Demikianlah dengan mengendalikan dirimu, dan menjadikan Aku sebagai Tujuanmu Yang Agung, maka dikau akan datang kepadaKu.
Kepada Arjuna (dan kita semua) Sang Kreshna bersabda, bahwa sebaiknya tidak lupa kita ini hidup di dunia yang fana dan tak stabil keadaannya, di mana sebenarnya kebahagiaan yang hakiki itu tidak ada secara duniawi. Jadi sebaiknya memuja Yang Maha Esa, karena dibalik pemujaan inilah terletak rahasia kebahagiaan yang hakiki ini, yang sebenarnya tertutup di dalam DiriNya, yang disebut Tujuan Yang Agung. Kita semua akan bersatu dan bahagia di dalamNya, kalau mau kita memujaNya, menyerahkan diri dan hati kita bulat-bulat sepenuhnya kepada Yang Maha Esa — yaitu Yang Maha Pencipta, Penyayang Dan Pengasih, akhir dari perjalanan panjang hidup kita, Tujuan kita Yang Agung Dan Suci. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, inilah bab ke sembilan yang disebut:
Rajavidya Rajaguhya Yoga atau Ilmu pengetahuan dan Rahasia nan Agung

Bab 10 – Alam Semesta nan Suci dan Agung
1. Dengarlah lagi, oh Arjuna, sabda-sabdaKu yang agung dan suci. Terdorong oleh keinginanKu untuk berbuat baik bagimu, akan Ku beritahukan kepadamu, karena engkau adalah kesayanganKu.
2. Bukan saja para dewa tetapi para resi yang suci dan agung pun tidak tahu akan asal-usulKu, karena semua dewa-dewa dan orang-orang suci itu datang dariKu.
3. Seseorang yang mengenalKu – sebagai Yang Tak Dilahirkan, sebagai Yang Tak Bermula, Yang Maha Penguasa seluruh alam semesta ini — orang ini di antara, mereka yang dapat binasa, adalah seseorang yang tidak sesat dan bebas dari segala dosa.
Di bab sepuluh ini Sang Kreshna melanjutkan keterangan mengenai DiriNya Yang Sejati, yaitu Yang Maha Esa yang tak dapat diketahui asal-usulNya, bahkan para dewa dan orang-orang suci baik di masa silam maupun sekarang ini tidak pernah akan tahu akan hal ini. Tetapi seseorang yang sadar akan KekuasaanNya, maka diantara mereka yang dapat binasa di dunia ini (para dewa, manusia dan makhluk-makhluk lainnya), orang yang bijaksana ini dianggap Yang Maha Esa sebagai seorang yang sadar dan bebas dari segala dosa. Suatu pengakuan dan penghormatan yang besar sekali nilainya dari Yang Maha Esa. Yang Maha Esa adalah asal dari segala-galanya, termasuk para dewa dan orang-orang suci. Dalam ajaran Kristiani dikatakan tentang St. Paul yang pernah berkata, “Ia adalah tanpa kelahiran dan tanpa asal-mula.” MengenalNya dari sudut berbagai agama dan ajaran sebagai Yang Maha Agung Dan Suci berarti membebaskan diri kita dari segala dosa-dosa duniawi.
4. Melihat (menilai) dengan benar, ilmu pengetahuan, tidak-berilusi, pemaaf, tidak-berbohong, kendali-diri dan ketenangan, penderitaan dan kenikmatan, kelahiran dan kematian, ketakutan dan keberanian.
5. Tak menyakiti, kedamaian dalam segala situasi, rasa puas dengan apa yang ada, tekad ke arah spiritual, keinginan untuk memberi, kemasyhuran dan kehinaan — semua hal-hal yang berbeda dari makhluk-makhluk ini terpancar dariKu semata.
Yang Maha Esa bukan saja merupakan asal-usul alam semesta ini, Yang Tak Terlihat dan Tak Terbayangkan oteh kita, tetapi juga merupakan Kekuatan Maha Dahsyat Yang Tak Terbatas di alam semesta ini. Bukan saja Ia merupakan asal-usul yang baik-baik saja tetapi la juga pencipta yang tidak baik dan negatif sifatnya yang berada di dalam pikiran dan ulah para makhluk-makhluk dan manusia ciptaanNya. Apakah itu pikiran atau situasi yang menyenangkan dan menikmatkan ataukah itu yang menyusahkan dan membawa penderitaan. Apakah itu bersifat positif maupun sebaliknya, semua itu secara jujur diakui oleh Yang Maha Esa, bahwa Ia lah sumber dari segala-galanya tanpa diskriminasi. Bukan lalu berarti bahwa Yang Maha Esa ini buruk atau negatif sifatnya, tidak! Semua itu adalah ciptaan-ciptaanNya yang diperankan atau ditugaskan pada Sang Maya, Ilusi Yang Maha Esa. la sendiri bersemayam di atas semua ilusi ini, jauh di atas Sang Maya dan tak terpengaruh sedikitpun dengan pekerjaan Sang Maya ini. Dengan semua “permainanNya,” maka Yang Maha Esa ini menunjang dan menjalankan dunia ini, memang Maha Misterius Dan Maha Gaib lah Yang Maha Kuasa ini dengan segala Kekuatan dan Kasihnya Yang Tak Terbatas itu. Om Tat Sat. Om Shanti, Shanti, Shanti.
6. Ketujuh orang suci yang agung, keempat orang pada masa yang silam, juga para Manu, dilahirkan dari sifat dan pikiranKu, dari merekalah mengalir ras manusia ini.
Dari sifat-sifat dan pikiran agung dan suci Sang Kreshna inilah mengalir manusia-manusia agung dan dewa-dewa yang kemudian menjadi cikal-bakal dari manusia dewasa ini. Ketujuh orang yang disebut di atas adalah orang-orang suci yang penuh dengan kesadaran Ilahi, nama dari yang pertama adalah Bhrigu dan yang terakhir disebut Washita, dan dianggap dalam agama Hindu sebagai para guru kebijaksanaan di masa yang silam. Dan keempat orang yang disebut sebagai manusia-manusia di masa silam adalah empat orang Kumara (yaitu perjaka-perjaka yang tak pernah melakukan hubungan seksual), yang lahir dari pikiran Yang Maha Esa, dan disebut juga nama-nama mereka: Sanata, Sanaka, Sanatana dan Sanandana. Para orang suci (resi), para Manu (asal kata dari manusia pertama), dan para Kumara ini adalah cikal-bakal dari manusia di dunia ini. Merekalah alat-alat Yang Maha Kuasa di dunia pada masa yang silam, pada masa permulaan peradaban manusia.
7. Seseorang yang tahu dengan benar akan keagungan dan kekuatanKu ini akan terhubung denganKu oleh yoga yang tak tergoyahkan; dan hal ini sudahlah pasti dan tak usah diragukan lagi.
Vibuthi adalah kata Sansekerta yang digunakan di atas untuk mengartikan kekuatan, kata ini sebenarnya dapat diartikan dua, yaitu kekuatan atau kekuasaan Yang Maha Esa dan juga dapat berarti kelanggengan atau kehadiran yang abadi atau juga berarti “mengalir dari.” Dalam bab ini Sang Kreshna menerangkan kepada Arjuna tentang keagungan dan kekuatan serta kekuasaanNya di alam semesta ini, tentang kehadiranNya Yang Langgeng Dan Abadi dalam setiap unsur di dunia ini, tentang DiriNya Yang Selalu berada di dalam posisi tertinggi yang berhubungan dengan setiap hal dan unsur, ini berarti suatu bentuk keagungan Yang Tiada Taranya. Sang Kreshna pun menjelaskan akan kehadiranNya sebagai suatu unsur Shakti (Kesaktian) dalam segala hal dan faktor di alam semesta ini, yang tanpa itu tak mungkin setiap faktor bisa melanjutkan fungsinya masing-masing.
8. Akulah Sumber dari segala-galanya; dariKu datang seluruh penciptaan ini. Menyadari hal ini, mereka yang bijaksana memujaKu dengan dedikasi yang penuh dengan kebahagiaan.
9. Pikiran mereka terpusat kepadaKu, hidup mereka meresap dalam DiriKu, sambil saling menolong di antara mereka, mereka ini selalu memperbincangkan Aku, (mereka ini) selalu merasa cukup dengan apa adanya dan penuh dengan rasa kesentosaan.
10. Kepada mereka ini, yang selalu bersemayam secara menyatu denganKu dan memujaKu dengan cinta-kasih, Ku berikan ilmu pengetahuan (yang dapat membedakan antara satu hal dengan yang lain), dan (mereka ini) melalui yoga ini datang kepadaKu.
11. Didorong oleh rasa kasih-sayangKu yang murni kepada mereka, Aku bersemayam di dalam hati mereka, Ku hapus kegelapan mereka yang timbul karena kekurangan-pengetahuan dengan pelita kesadaran yang bercahaya terang-benderang.
Mereka-mereka yang sadar akan kehadiran Yang Maha Esa, (walaupun kehadiran ini tak nampak dalam setiap hal dan unsur di alam semesta ini) dan mereka ini yang sadar juga akan kekuatan dan kekuasaanNya Yang Abadi, lambat laun akan makin dekat dan akhirnya bersemayam atau menyatu denganNya, dan mereka ini, hidup mereka selalu terlihat bahagia, sentosa dan cerah, walau musibah apapun yang datang melanda mereka. Hidup mereka sehari-hari terserap dalam kebahagiaan dengan Ilahi, dan percaya atau tidak yang Maha Esa secara benar-benar menerangi kegelapan apapun yang timbul dalam diri mereka dengan pelita Ilahi yang terang-benderang. ini adalah suatu fakta yang dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang secara total telah memasrahkan diri mereka dan segala perbuatan mereka kepada Yang Maha Esa secara tulus dan tanpa pamrih. Om Tat Sat.
Berkatalah Arjuna:
12. Dikau adalah Sang Brahman Yang Agung dan Suci, Tujuan Yang Agung dan Suci. Dikau adalah Yang Abadi, Seorang Manusia Yang Agung dan Suci, Tuhan Yang Terutama, Yang Tak Dilahirkan dan Yang Maha Hadir di mana pun juga.
13. Dengan Nama-Nama itu DiKau telah disebut dan dipuja oleh para resi, juga oleh resi Narada yang agung, juga oleh Asita, Devala dan Vyasa. Dan sekarang (oh Kreshna), DiKau Sendiri pun menyabdakanNya kepada ku.
Narada disebut juga Dewa Resi, gurunya para dewa. Narada adalah salah seorang bhakta (pemuja) Yang Maha Esa yang sifatnya agung dan suci, dan Sang Batara Narada ini selalu bernyanyi dan memuja-muji nama Yang Maha Esa ke mana pun ia pergi. Devala adalah putra Vishvamitra dan kisahnya terdapat di Vishnu-Purana, sedangkan Asita terkisah di Lalita-vistara (semua ini buku-buku suci kuno agama Hindu). Vyasa menyebut Kreshna sebagai Swipayana, demikian terdapat di dalam Veda-Veda. Vyasa dikenal sebagai pengarang Mahabarata dan beberapa Purana-Purana Hindu. Kata Vyasa sendiri berarti “editor” atau “yang mengatur.”
14. Aku yakin akan semua kata-kata yang DiKau ucapkan padaku ini, oh Kreshna. Bukan saja para dewa tetapi para syaitan dan iblis pun tak dapat menjabarkan manifestasiMu, oh Tuhan.
Jangankan para resi dan dewa yang ditakuti manusia, tetapi para setan dan iblis pun tak pernah bisa menerangkan apakah Tuhan Yang Maha Esa itu sebenarnya, dan manifestasi-manifestasiNya di alam semesta ini. Hanya Sang Kreshna Sendiri yang dapat mengenal DiriNya sebagai Manusia Yang Agung, Utama dan Suci (Purushottama).
15. Sebenar-benarnya, hanya Dikau Sendiri Yang Mengetahui DiriMu Sendiri melalui DiriMu Sendiri, oh Manusia Nan Agung, Sumber dari semua yang ada, Tuhan dari semua makhluk, Tuhan dari segala dewa-dewa, Penguasa dunia ini.
16. Tanpa kecuali harus Dikau beritahukan kepadaku, semua bentuk-bentukMu yang suci, yang mana dengan bentuk-bentuk ini, Dikau menunjang dunia (alam semesta) ini dan di mana Dikau Sendiri berada di daiamnya dan bahkan lebih jauh dari itu.
17. Bagaimanakah aku harus mengenalMu , oh Yogin, apakah dengan meditasi yang berkesinambungan? Dengan (dalam) bentuk apakah Dikau, oh Tuhan Yang Pengasih, harus kubayangkan Dikau ini?
Arjuna ingin sekali mengenal dan mengetahui manifestasi dan aspek-aspek yang berhubungan (Vibhuti) dengan Sang Kreshna, yang penuh dengan Kekuasaan Yang Maha Esa yang tak terbatas sifatNya itu. Arjuna haus akan pengetahuan Ilahi ini karena ia benar-benar ingin agar meditasi dan pemujaannya terhadap Yang Maha Esa dapat dijalankan dengan benar dan dapat membantunya untuk lebih mengenalNya dengan sejati. la ingin agar pemujaannya kepada Yang Maha Esa terarah dengan baik dan benar.
18. Beritahukan juga kepadaku secara terperinci tentang kekuatan yogaMu dan tentang KeagunganMu, karena aku tak akan pernah puas dengan minuman suci dalam bentuk sabda-sabdaMu itu.
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
19. Jika demikian, baiklah Arjuna! AkanKu sabdakan kepadamu sebagian dari bentuk-bentuk suciKu, tetapi hanya bentuk-bentuk yang telah dikenal dan mudah difahami, karena keberadaanKu tak ada batasnya.
Sang Kreshna dengan senang hati memenuhi permintaan Arjuna. Beginilah sifat Yang Maha Esa, tak pernah menolak permintaan kita walaupun diajukan berulang-ulang tanpa bosan. Yang Maha Pengasih adalah Yang Maha Penyayang dan selalu memenuhi aspirasi dan keinginan para pemuja-pemujaNya, dimana dan kapan saja. Dan di sini Sang Kreshna mulai memaparkan sebagian dari vibhuti-vibhutiNya, yaitu bentuk-bentukNya yang telah ada dan dapat dengan mudah difahami manusia. Karena bentuk dan sifat Yang Maha Esa itu Maha Tidak Terbatas, maka kalau hal ini diterangkan kepada manusia pasti kita manusia ini tak akan pernah mengerti akan keagunganNya ini. Oleh karena itu dipakailah bahasa dan contoh-contoh yang mudah dimengerti kita semuanya.
20. Aku adalah Jati Diri, oh Arjuna, Yang bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Aku adaiah permulaan, Yang ditengah-tengah dan juga akhir dari setiap yang ada.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adaiah Sang Atman Yang Ada di dalam diri kita, di dalam setiap insan dan makhluk ciptaanNya. la juga yang sebenarnya menjadi asal-usul kita semuanya, yang menunjang kita selama ini dan yang juga menentukan hidup dan akhir kita semuanya.
21. Di antara para Aditya Aku adalah Vishnu; di antara cahaya Aku adaiah Sang Surya yang terang-benderang. Di antara para Marut Aku adalah Marici, di antara bintang-bintang Aku adalah sang rembulan.
Yang disebut Aditya ini adaiah dewa-dewa cahaya, dan Batara Vishnu adalah pimpinan tertinggi para dewa cahaya ini. Sedangkan Marichi adalah pemimpin para Marut, dewa-dewa badai, angin-topan dan mala-petaka.
22. Di antara Veda-Veda Aku adalah Sama-Veda, di antara para dewa Aku adalah” Indra, di antara indra-indra Aku adalah pikiran; dan Aku adalah kesadaran di antara para makhluk-hidup.
Sama-Veda adalah Veda yang paling musikal dan indah, sedangkan Indra adalah raja atau pemimpin para dewa. Dewa Indra adalah juga dewa angkasa. Pikiran adalah raja diantara semua indra-indra kita. Dalam tubuh atau raga kita, pikiran ini yang paling sukar untuk dikendalikan. Dalam ilmu-psikologi (jiwa) Hindu kuno disebutkan bahwa semua indra-indra kita kendalikan, dimotori dan dikuasai oleh pikiran (mana).
23. Di antara para Rudra Aku adalah Shankara (Shiva), di antara para Yaksha dan Rakshasa Aku adalah Kubera (dewa kekayaan), di antara para Vasu Aku adalah Agni(dewa api), dan di antara puncak-puncak gunung Aku adalah Meru.
Rudra adalah dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang tugasnya adalah menghancurkan dan membinasakan semua yang ada dan lahir. Yaksha adalah setan-setan dedemit dengan perut yang besar, dan Meru adalah puncak gunung tertinggi di bumi ini, di mana dipercaya tinggal para dewa-dewi,
24. Di antara para pendeta (pendeta setiap rumah-tangga), oh Arjuna, kenalilah Aku sebagai Brihaspati, sang pemimpin; di antara jenderal-jenderal di peperangan Aku adalah Skanda; di antara danau-danau Aku adalah Samudra.
Brihaspati adalah pendeta tertingginya para dewa. Skanda adalah putra Shiva dan Parvati, dan ia dikenal sebagai pemimpin atau jenderalnya para jenderal dan pahlawan-pahlawan di Svarga-loka.
25. Di antara para resi yang agung Aku adalah Bhrigu, di antara kata-kata Aku adalah satu patah kata OM, di antara yang dipersembahkan Aku adalah persembahan dalam bentuk japa (mengulang-ulang mantra atau puja-puji kepada Yang Maha Esa, atau bisa juga meditasi yang dilakukan secara diam-diam dan tenang), di antara yang tak dapat dipindah-pindahkan Aku adalah Himalaya.
26. Di antara pepohonan Aku adalah pohon Asvattha, di antara para resi suci Aku adalah Narada, di antara para ghandharva Aku adalah Citraratha, dan di antara yang telah disempurnakan Aku adalah resi Kapila.
Asvattha adalah pohon beringin yang suci. Narada adalah resi (dan juga dewa) yang dianggap amat agung dan suci sifatnya, dan dikenal karena sangat menggemari musik. Menurut ajaran Sang Narada ini, guna mencapai penerangan Ilahi, seseorang dapat saja menggunakan logika dan filosofi. Ghandharva adalah penyanyi-penyanyi di sorga-loka dan Chitraratha adalah pemimpin para musisi sorgawi ini.
27. Di antara kuda-kuda Aku adalah Uchaishvara yang lahir dari air-suci (tirta), di antara gajah Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah Raja.
Uchaishvara adalah kuda sorgawi yang didapatkan sewaktu para dewa dan para iblis (raksasa dan lain sebagainya) mengaduk lautan suci. (Ada kisahnya tersendiri di buku suci Hindu kuno.) Airavata adalah gajah sakti tunggangan Sang Batara Indra.
28. Di antara senjata Aku adalah halilintar, di antara sapi Aku adalah Kamadhuk, Sapi Kemakmuran; di antara leluhur (nenek-moyang) Aku adalah Kandarpa, Kasih Nan Kreatif; dan di antara ular Aku adalah Vasuki.
29. Di antara Naga Aku adalah Ananta, di antara makhluk-makhluk lautan Aku adalah Varuna, diantara pitri (arwah leluhur) Aku adalah Aryaman, dan di antara para penguasa Aku adalah Yama, Raja Maut.
Dalam mitologi Hindu, naga adalah sejenis ular raksasa dengan kepala manusia. Raja para naga ini adalah Ananta yang disebut juga Sesha, Sang Vishnu selalu duduk beristirahat di atas lingkarannya. Varuna, atau di Indonesia dikenal dengan nama dewa Baruna, adalah dewa laut. Sedangkan Aryaman adalah pemimpin para leluhur yang telah meninggal dunia. Yama dan saudari perempuannya Yami adalah pasangan manusia-manusia pertama. Setelah Yama meninggal dunia, maka ia pergi ke dunia yang lain untuk mendapatkan tugas sebagai pembuat hukum, sebagai hakim dan pemimpin mereka-mereka yang telah meninggal-dunia. la dikenal sebagai hakim yang amat adil dan tak memilih bulu dalam menjatuhkan putusannya, ia sering disebut juga dengan nama Dharmaraja.
30. Di antara Daitya Aku adalah Prahlada, di antara benda-benda yang mengukur Aku adalah Sang Waktu, di antara binatang yang buas Aku adalah raja-hutan (singa), dan di antara burung-burung Aku adalah putra sang Vinata (Garuda).
21. Di antara para Aditya Aku adalah Vishnu; di antara cahaya Aku adaiah Sang Surya yang terang-benderang. Di antara para Marut Aku adalah Marici, di antara bintang-bintang Aku adalah sang rembulan.
Yang disebut Aditya ini adaiah dewa-dewa cahaya, dan Batara Vishnu adalah pimpinan tertinggi para dewa cahaya ini. Sedangkan Marichi adalah pemimpin para Marut, dewa-dewa badai, angin-topan dan mala-petaka.
22. Di antara Veda-Veda Aku adalah Sama-Veda, di antara para dewa Aku adalah” Indra, di antara indra-indra Aku adalah pikiran; dan Aku adalah kesadaran di antara para makhluk-hidup.
Sama-Veda adalah Veda yang paling musikal dan indah, sedangkan Indra adalah raja atau pemimpin para dewa. Dewa Indra adalah juga dewa angkasa. Pikiran adalah raja diantara semua indra-indra kita. Dalam tubuh atau raga kita, pikiran ini yang paling sukar untuk dikendalikan. Dalam ilmu-psikologi (jiwa) Hindu kuno disebutkan bahwa semua indra-indra kita kendalikan, dimotori dan dikuasai oleh pikiran (mana).
23. Di antara para Rudra Aku adalah Shankara (Shiva), di antara para Yaksha dan Rakshasa Aku adalah Kubera (dewa kekayaan), di antara para Vasu Aku adalah Agni(dewa api), dan di antara puncak-puncak gunung Aku adalah Meru.
Rudra adalah dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang tugasnya adalah menghancurkan dan membinasakan semua yang ada dan lahir. Yaksha adalah setan-setan dedemit dengan perut yang besar, dan Meru adalah puncak gunung tertinggi di bumi ini, di mana dipercaya tinggal para dewa-dewi,
24. Di antara para pendeta (pendeta setiap rumah-tangga), oh Arjuna, kenalilah Aku sebagai Brihaspati, sang pemimpin; di antara jenderal-jenderal di peperangan Aku adalah Skanda; di antara danau-danau Aku adalah Samudra.
Brihaspati adalah pendeta tertingginya para dewa. Skanda adalah putra Shiva dan Parvati, dan ia dikenal sebagai pemimpin atau jenderalnya para jenderal dan pahlawan-pahlawan di Svarga-loka.
25. Di antara para resi yang agung Aku adalah Bhrigu, di antara kata-kata Aku adalah satu patah kata OM, di antara yang dipersembahkan Aku adalah persembahan dalam bentuk japa (mengulang-ulang mantra atau puja-puji kepada Yang Maha Esa, atau bisa juga meditasi yang dilakukan secara diam-diam dan tenang), di antara yang tak dapat dipindah-pindahkan Aku adalah Himalaya.
26. Di antara pepohonan Aku adalah pohon Asvattha, di antara para resi suci Aku adalah Narada, di antara para ghandharva Aku adalah Citraratha, dan di antara yang telah disempurnakan Aku adalah resi Kapila.
Asvattha adalah pohon beringin yang suci. Narada adalah resi (dan juga dewa) yang dianggap amat agung dan suci sifatnya, dan dikenal karena sangat menggemari musik. Menurut ajaran Sang Narada ini, guna mencapai penerangan Ilahi, seseorang dapat saja menggunakan logika dan filosofi. Ghandharva adalah penyanyi-penyanyi di sorga-loka dan Chitraratha adalah pemimpin para musisi sorgawi ini.
27. Di antara kuda-kuda Aku adalah Uchaishvara yang lahir dari air-suci (tirta), di antara gajah Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah Raja.
Uchaishvara adalah kuda sorgawi yang didapatkan sewaktu para dewa dan para iblis (raksasa dan lain sebagainya) mengaduk lautan suci. (Ada kisahnya tersendiri di buku suci Hindu kuno.) Airavata adalah gajah sakti tunggangan Sang Batara Indra.
28. Di antara senjata Aku adalah halilintar, di antara sapi Aku adalah Kamadhuk, Sapi Kemakmuran; di antara leluhur (nenek-moyang) Aku adalah Kandarpa, Kasih Nan Kreatif; dan di antara ular Aku adalah Vasuki.
29. Di antara Naga Aku adalah Ananta, di antara makhluk-makhluk lautan Aku adalah Varuna, diantara pitri (arwah leluhur) Aku adalah Aryaman, dan di antara para penguasa Aku adalah Yama, Raja Maut.
Dalam mitologi Hindu, naga adalah sejenis ular raksasa dengan kepala manusia. Raja para naga ini adalah Ananta yang disebut juga Sesha, Sang Vishnu selalu duduk beristirahat di atas lingkarannya. Varuna, atau di Indonesia dikenal dengan nama dewa Baruna, adalah dewa laut. Sedangkan Aryaman adalah pemimpin para leluhur yang telah meninggal dunia. Yama dan saudari perempuannya Yami adalah pasangan manusia-manusia pertama. Setelah Yama meninggal dunia, maka ia pergi ke dunia yang lain untuk mendapatkan tugas sebagai pembuat hukum, sebagai hakim dan pemimpin mereka-mereka yang telah meninggal-dunia. la dikenal sebagai hakim yang amat adil dan tak memilih bulu dalam menjatuhkan putusannya, ia sering disebut juga dengan nama Dharmaraja.
30. Di antara Daitya Aku adalah Prahlada, di antara benda-benda yang mengukur Aku adalah Sang Waktu, di antara binatang yang buas Aku adalah raja-hutan (singa), dan di antara burung-burung Aku adalah putra sang Vinata (Garuda).
41. Makhluk-makhluk apapun yang memiliki sifat-sifat yang agung, indah dan penuh kekuatan, ketahuilah bahwa semua itu mengalir dari sebagian kecil kebesaranKu.
42. Tetapi apa gunanya untukmu, oh Arjuna, pengetahuan yang terperinci ini? Ku sanggah seluruh alam semesta ini.Ku tunjang dengan hanya sebagian (setitik) kecil dari DiriKu, dan Aku tetap hadir dan ada.
Sang Kreshna telah menerangkan kepada Arjuna tentang manifestasi dan sifat-sifatNya (vibhuti) secara singkat tetapi juga sekaligus terperinci dengan penjelasan mengenai semua aspek-aspekNya seperti aspek fenomena, fungsi, aksi dan bentuk-bentukNya, semuanya dijelaskan dalam bahasa yang gamblang dan mudah dimengerti. Setelah panjang-lebar la menerangkan semua ini, lalu diakhiriNya dengan suatu pernyataan bahwa seluruh alam semesta ini hanyalah sebagian kecil saja dari DiriNya Yang Tak Terbatas dan sekaligus merupakan asal, penunjang dan akhir dari semuanya ini, dan la Yang Maha Esa tetap saja berkuasa dan nadir dalam segala-galanya, walaupun alam semesta ini berasal dari DiriNya juga. Semua yang terhebat, terbaik, tercantik dan terbusuk, terjahat adalah sebagian dari penciptaanNya, dan semua ini baru setitik saja atau sebagian kecil dari Yang Maha Kuasa. Jadi dapatkah kita membayangkan Apakah dan Betapa AgungNya Sang Pencipta ini? Dibalik pernyataan ini, sebaiknya kita harus belajar sesuatu yang tersembunyi di belakangnya, yaitu bukankah dengan kata lain Sang Kreshna ingin mengajar kita semua untuk mengenalNya lebih baik; dan untuk belajar mengenalNya bukankah sebaiknya kita belajar untuk mengenal alam ini dahulu. Kita seharusnya belajar mengenal ciptaan-ciptaanNya di alam sekitar kita dan di alam semesta dan baru kemudian belajar mengenalNya Yang penuh dengan mukjizat dan kegaiban yang tak dapat di bayangkan apa adaNya ini.
Coba saja perhatikan, jangan jauh-jauh, perhatikan tubuh kita sendiri, bukankah raga ini sebuah ciptaan yang maha hebat? Belum lagi ciptaan-ciptaanNya yang tersebar di seluruh alam semesta yang tak terbatas ini. Dan kalau kita mengenal dan sadar akan segala Kebesaran dan KeagunganNya ini, maka seyogyanyalah kita memujaNya dengan tulus dan rendah hati, dan bekerja sesuai dengan dharma-bhakti yang murni, tulus, yaitu demi dan untuk la semata dan tanpa pamrih. Dan seandainya seorang bhakta (pemuja) bersikap tulus semacam ini, maka Sang Kreshna pun akan hadir di dalam dirinya, memberkahinya dan memberikannya kekuatan untuk lebih mengenalNya, dan lebih mengenal ajaran-ajaranNya yang Agung dan Suci. Yang Maha Kuasa pun akan menghilangkan rasa takut dan khawatir bhakta ini, menghilangkan kebodohannya dan mengisi jiwa sang pemuja ini dengan Penerangan dan Keagungan serta Kesucian Ilahi. Om Tat Sat. Yang Maha Esa bahkan menjamin segala kebutuhan hidupnya, menjauhkannya dari segala mara-bahaya, dan percaya atau tidak Sang Kreshna akan hadir secara pribadi dengan caraNya yang misterius mengantar Sang Pemuja ini ke HadiratNya, tempat Yang Maha Esa bersemayam. Banyak sekali pengalaman-pengalaman dari para resi dan Orang-orang suci baik di zaman dahulu maupun pada abad modern ini, yang menunjukkan bahwa Yang Maha Kuasa hadir dengan caraNya Yang Unik dan terasa kehadiranNya oleh para pemujaNya, pada saat-saat tertentu dalam hidup kita dari masa ke masa. Sebelum diakhiri bab ini ada baiknya kita merenungkan diri pada untaian kata-kata yang dapat sering kita jumpai dan dapat dihayati oleh siapa saja, yang isinya kira-kira seperti berikut:
“Di mana ada iman,Di situ ada kasih. Di mana ada kasih, Di situ ada kedamaian.
Di mana ada kedamaian, Di situ ada kekuatan. Di mana ada kekuatan, Di situ ada Yang Maha Esa Di mana ada Yang Maha Esa, Di situ tak diperlukan sesuatu apapun lagi.”
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini adalah yang kesepuluh dan disebut:
Vibhuti Yoga atau Yoga Manifestasi Yang Agung dan Suci.

Bab 11- Transformasi Sang Kresna
1. Dengan kasih-sayangMu Dikau telah menyibakkan rahasia nan agung mengenai Jati Diri (Sang Atman), dan sabda-sabdaMu telah menghapus kebodohanku.
Sang Arjuna rupanya telah mulai sadar, dan pupus atau hapus sudahlah kebodohannya yang berbentuk moha (keterikatan, pada sanak-keluarga). Sabda-sabda Sang Kreshna bahwa Ia lah Sang Brahman, Sang Atman Yang Hadir dalam setiap unsur dan makhluk dan selalu bersifat abadi, membuat Sang Arjuna dipenuhi oleh rasa aman, damai, tentram dan sentosa. Sadarlah ia dari kegelapan yang selama ini menyelimutinya, dan tak ragu-ragu lagi ia menghadapi perang Baratayudha yang ada dihadapannya. Bukankah sebenarnya setiap saat, setiap hari adalah perang besar antara kita manusia dengan lingkungan disekitar kita, dengan hati-nurani kita, dengan keserakahan kita dan orang lain dalam berbagai bentuk seperti moha, loba, ahankara dan sebagainya.
2. Aku telah mendengar dariMu secara penuh, oh Kreshna, tentang kelahiran dan kematian yang ada, dan juga tentang keagunganMu yang tak terbinasakan.
3. Dikau adalah, oh Tuhan, Yang Maha Kuasa, seperti yang Dikau katakan tentang DiriMu. Tetapi aku berhasrat melihat bentukMu yang agung dan suci, oh Purushottama (manusia yang terutama).
4. Seandainya Dikau menghendaki, oh Tuhan, bahwa olehku dapat terlihat, maka bukakanlah kepadaku, oh Yang Maha Memiliki llmu pengetahuan (yoga), bentuk diriMu yang tak terbinasakan.
Arjuna yang selama ini telah mendengarkan sabda-sabda suci Sang Kreshna mengenai kelahiran dan kematian semua yang ada di dunia ini dan juga mengenai diri Sang Kreshna sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah Yang Maha Esa Sendiri dengan segala-segala tindakan-tindakanNya yang kreatif dan penuh kasih terhadap semua makhluk, sekarang ini berhasrat sekali untuk melihat sendiri atau untuk membuktikan apa yang telah didengarkannya selama ini. Melihat dan membuktikan memang lebih meyakinkan daripada mendengarkan, maka Arjuna pun memohon Sang Yogeshwara (Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Pemilik Semua Ilmu Pengetahuan) agar sudi diperlihatkan kepadanya bentukNya yang suci dan agung itu, yang tak terbinasakan. Arjuna ingin sekali melihat Sang Kreshna dalam bentukNya sebagai Parameshvaram dan Purushottama, yaitu sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa dan Agung, dan juga sebagai Manusia Yang Maha Kuasa dan Agung (Vishnu).
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
5. Saksikanlah, oh Arjuna, bentukKu yang beratus-ratus dan beribu-ribu jumlahNya (rupaNya), yang suci, yang tak terhitung warna-warni dan bentuk-bentukNya.
6. Saksikanlah para Aditya, para Vasu, para Rudra, kedua Ashvin, dan para Marut. Saksikanlah, oh Arjuna, keajaiban-keajaiban yang tak pernah terlihat sebelum ini.
7. Saksikanlah hari ini, oh Arjuna, seluruh alam semesta dan isinya yang bergerak dan yang tak bergerak, dan apapun juga yang ingin dikau saksikan – semua terpusat pada tubuhKu.
Sang Kreshna segera menerangkan kepada Arjuna tentang bentuk-bentuk dan rupa-rupa yang akan segera disaksikan oleh Arjuna, yaitu yang tak terhitung jumlahnya dan bentuknya, maupun warna-warninya, yang merupakan gabungan dari para dewa seperti Aditya, yaitu dewa-dewa yang ada hubungannya dengan matahari, Vasu, Rudra (dewa-dewa malapetaka), Ashvin (dewa penolong orang-orang sakit yang dikenal sebagai tabib-tabib suci), Marut dan ciptaan-ciptaanNya yang terkecil dan tak terlihat oleh manusia. Sang Kreshna pun dengan senang hati ingin memperlihatkan kepada Arjuna bentuk-bentukNya yang bergerak dan tak bergerak bahkan seluruh kosmos (alam semesta) yang terkonsentrasi atau terpusat pada DiriNya Tetapi penyaksian Ilahi semacam ini tidak mungkin terlihat dengan mata duniawi, maka Sang Kreshna pun segera memberikan mata suci (divyam chakshuh) kepada Arjuna agar terlihat olehnya semua bentuk-bentuk suci dari Yang Maha Esa olehnya. Mata suci sebenarnya adalah matanya seorang mistik, seorang yang sudah sadar dan dapat “melihat kedalam.” Ini mengingatkan kita kepada salah seorang nabi bangsa Yahudi yang pernah memohon kepada Yang Maha Esa, “Tuhan, bukalah matanya agar ia dapat melihat.” Dan hal ini berlaku untuk kita semuanya, mohon dan berdoalah selalu kepada Yang Maha Esa agar dibukakan mata dan hati kita agar dapat kita melihat dan menyadari atau mengenalNya secara sejati. Sebenarnya semua jalan ke arah Yang Maha Esa sudah tersedia di sekitar kita, yang diperlukan hanyalah “membuka mata” kita sedikit saja.
8. Tetapi, sebenarnya, dikau tak akan dapat meyaksikanKu dengan mata duniawimu ini, makaKu berkahkan kepadamu mata suci. Saksikanlah yogaKu Yang Maha Dahsyat (kekuatan yang suci dan agung).
Sekarang tibalah saatnya Arjuna melihat bentuk Yang Maha Suci dan Agung di dalam diri Sang Kreshna. Di dalam diri Sang Kreshna nampak terpusat seluruh alam semesta dan semua itu terbuka untuk dilihat oleh Arjuna, dengan mata Ilahi yang dikaruniakan oleh Sang Kreshna.
Berkatalah Sanjaya:
9. Setelah bersabda demikian, oh raja, Yang Maha Agung dan Maha Menguasai Yoga, Hari (Sang Kreshna) kemudian membukakan diriNya Yang Maha Agung, Suci dan Perkasa kepada Arjuna.
Sang Kreshna yang disebut Mahayogeshvara (Yang Maha Mengetahui Yoga) kemudian memperlihatkan diriNya Yang Amat Dahsyat dan Penuh dengan keajaiban-keajaiban yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
10. Dengan jumlah mulut dan mata yang tak terhitung banyaknya, dengan jumlah keajaiban-keajaiban yang tak terhitung nampaknya, dengan jumlah hiasan badan nan suci yang tak terhitung jumlahnya dan dengan senjata-senjata Ilahi yang tak terhitung banyaknya yang semuanya terlihat terangkat;
11. Dengan memakai kalungan-kalungan bunga dan jubah-jubah sorgawi semerbak mewangi dengan wewangian sorgawi, penuh dengan kemukjizatan, terang-benderang, tanpa batas dan wajah yang memandang ke setiap arah.
Sang Kreshna nampak kepada Arjuna sebagai suatu bentuk yang tanpa batas dan dalam manifestasiNya yang beraneka ragam, yang mulut dan mataNya tersebar di mana-mana tanpa dapat dihitung jumlahnya, yang juga nampak memakai jubah-jubah dan kalungan-kalungan bunga-bunga suci sorgawi. Juga nampak mengenakan hiasan-hiasan badan dan memegang senjata-senjata simbolis sorgawi di mana-mana dalam jumlah yang tak terhitung dan nampak semua senjata-senjata ini siap terangkat ke atas.
12. Kalau saja dapat seribu mentari bersinar pada saat yang sama, mungkin demikianlah kedahsyatan yang terpancar dari Makhluk Itu.
Terang-benderangnya atau kemerlapanNya begitu dahsyat sehingga dibandingkan dengan seribu mentari yang bersinar sekaligus, bayangkan bagaimana dahsyat Yang Maha Esa ini dengan segala kekuasaan dan keperkasaanNya.
13. Di situlah Arjuna menyaksikan seluruh alam semesta beserta segala isinya yang beraneka-ragam teruntai menjadi satu, di dalam raga Tuhan nya para dewa-dewa.
Dengan mata sucinya, Sang Arjuna melihat Yang Maha Esa, Tuhan dari segala tuhan dan dewa-dewa, melihat seluruh untaian kehidupan kosmos yang beraneka-ragam jumlahnya tanpa akhir tetapi teruntai menjadi suatu kesatuan di dalam Yang Maha Esa.
14. Kemudian, ia, Arjuna, penuh takjub, bulu-bulunya tegak berdiri, menundukkan kepalanya dan menyembahNya dengan kedua tangannya yang terkatub, ia berkata:
Arjuna yang penuh takjub dan gentar melihat penyajian Ilahi segera menyembahNya dan berkata:
Berkatalah Arjuna:
15. Yah! Kulihat sekarang bagaimana semua ini terselimut olehMu! Para dewa terdapat di dalam ragaMu yang agung, oh Tuhan! Sang Brahma bersemayam di singgasana-teratai, dan semua resi, ular-ular dan kekuatan suci!
Arjuna yang takjub dan ketakutan ini mulai menyenandungkan puja-puji kepada Yang Maha Esa dalam bentuk puisi atau syair. Ia melihat dan menerangkan semua pandangan di hadapannya. Dalam raga Sang Kreshna ia melihat semua bentuk-bentuk dewa-dewi suci dan seluruh alam-kosmos. Terlihat oleh Arjuna, Sang Brahma yang bersemayam di singgasana teratai (dianggap bunga suci oleh umat Hindu) yang berasal dari pusar Sang Vishnu, juga terlihat olehnya ular-ular suci, orang-orang yang bijaksana dan suci yang ditemuinya di dunia.
16. Dikau lah Tuhan dari semuanya ini.
Kulihat tangan-tangan dan dada-dadaMu,
Dalam bentuk yang beraneka-ragam, tetapi tak kulihat bagian tengahMu atau permulaan dan akhirMu!
Terlihat oleh Arjuna bentuk Sang Kreshna yang tanpa batas, dan hadir dalam berbagai bentuk sorgawi dan duniawi di setiap penjuru alam semesta, dan setiap bentuk ini lengkap dengan wajah, mulut, dada, dan sebagainya dalam suatu kesatuan kehidupan yang berlainan dan amat bervariasi. Dalam bentuk kaleidoskopik ini, Yang Suci dan Agung, Sang Kreshna hadir sebagai Yang Tak Bermula atau Berakhir. Semua aspek-aspek ini hadir dalam bentuk suciNya.
17. Kulihat Dikau dengan chakraMu, mahkota dan gada,
Kulihat Dikau gilang-gemilang di setiap arah sebagai satuan cahaya: terang-benderang bagaikan api yang membakar, bagaikan mentari yang bersinar di setiap sisi!
Kata-kata Arjuna di sini bisa juga berarti bahwa Sang Kreshna atau Yang Maha Esa hadir di mana-mana tanpa batas dan diskriminiasi, ibarat sinar matahari yang bersinar di setiap sisi dan sudut bumi ini secara adil dan merata.
18. Dikaulah Yang Aksharam – Yang Maha Esa,
Dikaulah tempat beristirahat semuanya yang ada di dunia ini,
Dikaulah penjaga dharma yang tak pernah binasa,
Dikaulah seseorang yang tak akan terlupakan!
Aksharam berarti yang tak terbinasakan. ia juga tempat bersemayam kita semua, sekaligus asal-usul dan akhir kita semuanya, beserta semua rencana dan hasil-hasil rencana kita. la juga Yang selalu menjaga agar dharma (kebenaran dan hukum kebenaran) selalu abadi dan langgeng dan selalu ditegakkan kembali pada saat-saat kezaliman berkuasa. la juga yang tak akan pernah terlupakan atau faktor utama di alam semesta ini, dan akan selalu hadir dan ada walaupun yang lainnya sudah binasa semua.
19. Kulihat Dikau, Tuhan! Sebagai Yang tunggal tanpa asal, tanpa tengah, tanpa akhir. Kulihat Dikau sebagai kekuatan dahsyat, tangan-tanganMu yang tak terhitung jumlahnya, rembulan dan mentari sebagai mata-mataMu, wajahMu bak api yang membara!
Arjuna melihatNya sebagai yang tak bermula, tak terlihat juga masa tengah maupun akhirNya, karena memang la tak pernah dilahirkan dan tak akan binasa. Yang Maha Kuasa banyak tangannya, ini menandakan kekuasaanNya dan kehadiranNya yang tanpa batas. Dan api yang membara yang terlihat oleh Arjuna adalah api pengerobananNya yang menghangatkan dunia ini dengan kebesaran dan kasih-sayangNya.
20. Dunia ini dari batas ke batas, dari kutub ke kutub, penuh dengan Dikau semata, seisi alam ini penuh! Melihat pemandangan yang menggetarkan dan menakjubkan dariMu ini, ketiga dunia ini tenggelam, oh Yang Maha Perkasa!
Seluruh alam semesta yang tanpa batas ini penuh dengan Yang Maha Esa semata, dan dengan penuh takjub dan gentar ketiga dunia beserta segala isi dan makhluk-makhluknya menunduk dan bersujud hormat kepada Yang Maha Esa.
21. Jajaran para dewa mendekat dan menyatu denganMu, mereka mengatubkan kedua telapak tangan mereka dengan ketakutan, MemujaMu!
Para Resi dan Siddha (mereka yang telah sempurna) berteriak, “Hidup, hidup!”
Dan menyanyikan puja-puji kebesaran untukMu!
22. Para Rudra, dan para Aditya, juga para Vasu, para Sadhya, Siddha, Vishva, Usmapa, para Marut, Ashvin, Yaksha, Asura, dan para Gandharava — semuanya memandangMu dengan takjub!
Semua dewa-dewi dan penghuni sorgaloka dan loka-loka lainnya takjub akan kebesaranNya yang tanpa batas ini. Rudra (dewa-dewa bencana dan maut), Vasu (dewa-dewa kekayaan), Sadhya (dewa-dewa yang tinggal diantara sorga dan bumi), Aditya (dewa-dewa matahari), Vishva (dewa-dewa yang berhubungan dengan ketabahan), Marut (dewa-dewa yang berhubungan dengan udara), Ushamapa (dewa-dewa peminum hawa panas), Gandharva (para penyanyi sorgawi), Yaksha (dewa-dewa harta), Asura (setan-setan).
23. (Melihat) bentukMu yang perkasa dengan mulut dan mata, benda-benda dan kaki yang tak terhitung jumlahnya, dan tangan-tangan yang begitu luasnya, perut dan gigi yang tak terhitung banyaknya, seluruh loka-loka ini melihat dan tergetar, begitu pun daku!
24. Kulihat Dikau menyentuh langit-langit, membara dengan warna-warni mulutMu terbuka lebar dan mataMu bersinar-sinar, kala kulihat Dikau seperti ini; Kalbuku tergetar, kekuatanku sirna, dan aku tak memiliki kedamaian lagi.
25. Oh, tajam seperti baranya api Waktu, kulihat mulut-mulutMu yang bertaring menakutkan!
Aduh! Aku kehilangan semua akalku dan tak tahu di mana aku berada.
Tak kudapatkan kedamaian! Ampuni daku, Tuhan!
Oh, Tempat berlindung seluruh alam semesta ini!
Alam semesta dan isinya semua seakan-akan terkena “teror” yang maha-dahsyat melihat Yang Maha Esa dalam bentuk yang demikian ini, begitu ujar Arjuna yang kehilangan semua akalnya; takjub dan penuh gentar ia kini. la melihat Yang Maha Esa yang berdiri dan ubun-ubunNya mencapai lapisan tertinggi langit, seluruh alam semesta ini terlihat penuh dengan diriNya semata, dan terlihat juga la ibarat api kiamat, ibarat seorang raksasa yang bertaring dan menakutkan penuh dengan daya hancur yang maha-dahsyat. Yang Maha Esa tampak kepada Arjuna dalam bentukNya yang maha menghancurkan dan menggetarkan, yang dapat diartikan di sini sebagai juga hukum karma yang akibatnya amat menakutkan; seyogyanyalah kita sadar akan arti dan hakikat kehidupan ini dan selalu bertindak positif dalam setiap tindakan kita.
26. Ke dalam mulutMu yang terbuka lebar, dan bergigi menyeramkan dan terlihat menakutkan, masuklah mereka dengan amat cepat –
27. Semua putra-putra Dhritarastra, dan beserta mereka, para raja-raja, dan Bhisma, Kama, Dronacharya, dan semua pendekar-pendekar agung tuan-rumah kami, banyak terperangkap diantara gigi-gigi dan terlihat kepala-kepalanya, terjepit dan pecah dan berjatuhan menjadi debu dan binasa. Diantara geraham-gerahamMu tergeletak -pahlawan-pahlawan terbaik dari kedua laskar ini!
28. Bagaikan air bah sungai yang mengalir deras dan menyatu dengan lautan, begitulah para orang-orang kuat ini, pahlawan-pahlwawan agung ini, melaju deras masuk ke dalam mulutMu yang penuh dengan api yang membara! Melaju, dalam arus yang tak putus-putusnya dan hilanglah mereka!
29. Ibarat kawanan laron yang melaju cepat ke arah sebuah pelita — ke api yang membara – untuk mati didalamnya, begitu juga manusia-manusia ini, dengan kecepatan yang tinggi, melaju deras ke arah kematian mereka di dalam mulut-mulutMu yang membara.
30. Pada setiap sisi, dengan mulut-mulutMu yang membara dan menakutkan, Dikau menjilat loka-loka ini, melahap semuanya. CahayaMu yang terang-benderang, oh Vishnu, masih mengisi bumi ini dari ujung ke ujung: terbakarlah alam semesta ini!
Berputar-putar dengan roda Sang Waktu, para pendekar dan pahlawan dunia ini pun terjepit diantara gigi-gigiNya, yaitu perumpamaan dari Hukum Karma. Semua jajaran Kaurawa dan Pandawa melaju dengan kencang ke arahNya tanpa daya. Seperti sungai-sungai yang penuh air-bah yang melimpah mengalir deras ke arah lautan-lepas tanpa kendali, maka kita semua pun tanpa daya melaju kencang ke arahNya kembali begitu kita lahir di dunia ini. Perumpamaan yang kedua adalah ibarat kawanan laron (sejenis serangga) yang selalu mengorbankan dirinya dengan menabrak api atau lampu pada malam hari, begitu pula dengan kita manusia ini yang tanpa sadar sebenarnya sedang mengarah ke kematian kita setiap hari, setiap menit, setiap detik dan setiap saat, dan semua ini tanpa kita sadari. Yang kita “sadari” hanyalah menikmati semua kenikmatan duniawi selama mungkin, dan tidak pernah terbetik di dalam benak kita untuk apa sebenarnya kita ini lahir atau hidup, atau dilahirkan atau dihidupkan? Dan Yang Maha Esa di sini diibaratkan dengan mulut Yang Penuh dengan bara api yang membakar kita semua akhirnya. la menjilat dengan bara-apiNya seluruh alam semesta ciptaanNya Sendiri, dan akhirnya terbakar atau musnahlah alam semesta ini dalam DiriNya Sendiri. Dengan kata lain, semua yang berasal dari Dia kembali kepadaNya, tanpa kecuali.
31. Aduh Vishnu! Beritahukanlah daku siapakah DiKau ini. Mengapa bentukMu begitu menakjubkan? Aku memujaMu: Ampuni daku, Tuhan Yang Maha Agung! Aku ingin mengetahuiMu, Yang Maha Esa! Karena Tak kuketahui akan jalan-jalanMu!
Arjuna, pada saat ini ibarat telah kacau pikirannya, bukan saja ia amat takjub pada penampilan yang maha-dahsyat ini, tetapi juga sekaligus ia ketakutan dan gemetar akan kebesaran Yang Maha Kuasa yang tak ada tandinganNya ini. la pun bertanya-tanya bagaimana cara kerja sebenarnya dari Yang Maha Kuasa menunjang kehidupan di alam semesta ini, dan ketakutanlah ia melihat para pahlawan-pahlawan nan sakti dari kedua laskar di Barata-Yudha ini, semuanya melaju deras ke mulut Sang Kreshna (Sang Vishnu) yang amat menakutkan ini. Bukan saja mereka yang bersifat iblis, tetapi mereka yang dianggap baik pun melaju deras ke arah kematian. Segera ia memohon ampun kepadaNya karena gentarnya menghadapi Yang Maha Esa dalam bentukNya yang sukar dimengerti ini. Bukankah kita manusia ini sering sekali ingin melihat bentuk Yang Maha Kuasa, tetapi siapakah sebenarnya di dunia ini yang mampu melihatNya? Baru sebagian kecil dari bentukNya saja sudah menyeramkan, apa lagi bentukNya yang maha tak terbatas. Arjuna sendiri yang disebut pahlawan utama saja tidak mampu menahan gentarnya, apa lagi kita manusia awam.
Tuhan Yang Maha Esa, memang Maha Indah tetapi Ia juga Maha Menakutkan, ini adalah sebuah fakta yang harus kita terima. Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang tetapi juga adalah Maha membinasakan, terimalah ini sebagai suatu fakta untuk pelajaran dan penghayatan kita, agar hormat kita kepadaNya menjadi lebih sempurna lagi. Arjuna yang gemetar ketakutan dan merinding, bulu-bulu di sekujur raganya, jatuh berlutut dan memohon kepadaNya agar diberikan pengampunan. Ia juga memohon keterangan apa arti dari semua penampilan Yang Maha Esa ini? Apakah arti dari kebinasaan semua pahlawan dan manusia ini? Dan Sang Kreshna Yang Maha Pemurah pun mengabulkan permintaan Arjuna yang sedang dilanda rasa takjub yang luar biasa ini.
Bersabdalah Yang Maha Esa:
32. Aku adalah Sang Waktu, yang menghancurkan dunia ini! Sang Waktu Yang menumpas, saatnya telah tiba kini, dan matang bagi hancurnya para laskar ini: walaupun engkau lari, semua ini akan tetap binasa.
Sang Kreshna adalah Sang Kala (Waktu), Sang Waktu yang mematikan para laskar, pendekar dan pahlawan di Kuruksetra. Di alamNya Sang Kreshna tak ada waktu, atau kondisi-kondisi yang terikat pada waktu. Tetapi di dunia ini terciptalah waktu, yang sebenarnya adalah hasil ilusi manusia itu sendiri, seperti pagi dan malam, hari-hari, dan jam-jam, bulan-bulan dan tahun-tahun dan lain sebagainya, sehingga manusia itu sendiri terjebak di dalam waktu yang menjadi hasil karyanya sendiri. Sehingga semuanya oleh manusia diukur dengan waktu, baik itu pekerjaan maupun itu usia seseorang. Akibatnya manusia itu selalu berpacu dengan sang waktu, sehingga terciptalah juga kondisi-kondisi seperti waktu-kelahiran dan waktu-kematian. Kalau saja manusia tidak terikat pada waktu maka kita pun tak akan terikat kepada dunia ini dan segala ekses-eksesnya dan segala aspek-aspeknya seperti mati, lahir, hidup, dan lain sebagainya. Apakah sebenarnya yang kita cari di dunia ini, mengapa manusia selalu terburu-buru berpacu dengan sang waktu, seakan-akan semua akan menjadi berlarut-larut? Padahal semua ini hanyalah ilusiNya saja. Kita seharusnya sadar bahwa Sang Waktu Yang Sejati adalah Yang Maha Esa, Ia lah Yang Maha Tahu bila seseorang atau makhluk harus lahir dan harus mati, dan bila ia (seseorang) harus bekerja dan berfungsi semestinya seperti yang telah Ia atur.
33. Bangkitlah dikau, ayo! Dapatkanlah yang sudah diketahui!
Berperanglah dengan musuh-musuhmu! Kerajaan ini menantimu. OlehKu, dan bukan olehmu, semua ini telah terbantai, seakan-akan dikau yang membantainya! Jadilah alat Ku! Seranglah, wahai Kshatrya!
Arjuna boleh lari dari kenyataan ini, dan ia boleh saja melepaskan tanggung-jawabnya sebagai seorang pahlawan dan kshatrya dan ingkar dari kewajibannya, tetapi Yang Maha Kuasa yang menentukan apakah ia harus berperang, bekerja, bertindak atau tidak berbuat sesuatu apapun juga. Yang Maha Esa lah yang menentukan lahir dan matinya para Pandawa dan Kaurawa. Ia juga yang menentukan lahir dan mati kita semuanya beserta seluruh ekses-ekses kehidupan kita. Ia juga lah Sang Waktu Yang Sejati Yang Maha Mengetahui dan Menentukan Segala-galanya. Seyogyanyalah kita sadar akan hal ini. Om Tat Sat.
34. Menyeranglah dikau terhadap Drona! Dan seranglah Bhisma! Juga Kama, dan Jayadratha — semua pahlawan di sini. Ketahuilah sudah Kuputuskan mereka binasa! Janganlah gentar! Berperanglah dikau dan tumpaslah yang telah tertumpas ini!
Arjuna hanya diminta untuk menjadi alat atau instrumen Sang Maha Kuasa saja, karena kematian semuanya di Kurukshetra telah ditakdirkanNya sesuai dengan kehendakNya semata. Yang penting bagi Arjuna (dan kita tentunya) adalah usaha atau perjuangan yang ‘simbolis’ saja. Seyogyanya kita pun berperang terhadap hawa-nafsu dan angkara-murka yang meraja-lela di sekitar kita, dan kita pasti akan berhasil selama kita bekerja demi dharma-bhakti kita terhadapNya semata. Serahkan semua hasil atau buah dari setiap tindakan ini kepadaNya untuk ditentukan sesuai dengan keinginanNya, karena la juga Yang Maha Menentukan semuanya ini, kita hanya bertindak sebagai alat-alatNya saja.
Berkatalah Sanjaya:
35. Setelah mendengar kata-kata ini dari Sang Kreshna, Arjuna sambil mengatubkan kedua tangannya, dalam keadaan gemetar, membungkukkan badannya untuk bersujud. Penuh rasa gentar dan bersuara sengau, Arjuna sekali lagi menyapa Sang Kreshna.
Berkatalah Arjuna:
36. Oh Kreshna! Benar-benar dunia ini berbahagia menyaksikan kekuasaanMu yang tanpa Batas, dan memujaMu! Para raksasa yang ketakutan akan bentukMu lari tunggang-langgang, dan para Siddha bersujud kepadaMu.
37. Bagaimana mungkin mereka tak menghormatiMu, Tuhan! Oh Dikau Yang Agung dan Esa! Dibandingkan dengan Sang Brahma yang agung dan pencipta pertama, Dikau lah Yang Maha Agung! Dikau Tuhan para dewa! Yang Maha Pasti! Ada – dan Tiada, Yang berbentuk Makhluk dan Yang bukan Berbentuk makhluk, dan Yang lebih lagi dari keduanya ini – Itu Yang Maha Gaib – Yang Maha Esa!
38. Dikau adalah di atas para dewa. Dikaulah Manusia Abadi. Di dalamMu alam semesta terjamin kelestariannya! Yang Mengetahui dan Yang Diketahui -dua dalam satu adalah Dikau! Tujuan Yang Agung dan Suci, semuanya ada di dalamMu!
39. Oh, Dikau adalah Sang Vayu (Sang Bayu)! Dan Dikau adalah Yama (Kematian)! Agni (Api) dan Dikau adalah Sang Ombak! Dan Dikau adalah Sang Rembulan! Prajapati adalah Dikau. Bapak dari semuanya! Seribu kali aku berseru memujaMu!
40. Seru puja kepadaMu dari depan dan belakang! Dan seru puja di setiap sisi! Oh Semua! Dengan kekuatanMu, Oh Yang Tanpa Batas! Sendiri, Dikau mengelilingi semuanya.
Dikau Yang Esa di dalam semuanya, dan seyogyanya, Dikaulah SemuaNya!
Begitu kagum dan takjubnya Arjuna ini, maka mulailah ia bersenandung, memuja Yang Maha Esa sambil berpuisi. Bab ini adalah satu-satunya yang disusun dengan bentuk puisi karena ulah Sang Arjuna yang sedang tergetar jiwa-raganya melihat kebesaranNya Yang Tak Terbatas itu. Menurut Arjuna (di sloka-sloka di atas), seluruh alam semesta penuh dengan rasa kasih, hormat dan kesentosaan melihat dan menyaksikan kebesaran Yang Maha Besar ini. Di satu pihak para raksasa, syaitan dan iblis beserta sekalian kuasa-kuasa gelap berlarian jauh dengan penuh rasa ketakutan, maka di pihak lain para resi, orang-orang suci, dewa-dewi dan kuasa—kuasa yang terang datang bersujud di hadapanNya, memuja-muji Yang Maha Kuasa tanpa henti-hentinya.
Bukankah Ia lebih agung dari Dewa Brahma, sang pencipta dunia ini? Bukankah Ia juga Tuhan dari segala dewa-dewi dan tuhan-tuhan lainnya yang disembah manusia? Dan bukankah Ia juga yang memelihara alam semesta ini, dan bukankah semua yang bergerak dan dan yang tidak bergerak, semuanya datang dan pergi dari dan ke DiriNya juga? Ia juga yang disebut Sat (Abadi) dan yang disebut juga Asat(yang tidak abadi). Dan Ia juga yang disebut Tat Para, yaitu Itu Yang Maha Agung dan Suci. Ia juga Pemilik Semua Ini. Ia juga Maha Mengetahui dan Yang Maha Diketahui. Ia lah tempat tujuan kita yang maha agung dan suci, dan di dalam bentukNya seluruh alam semesta ini tersebar. DariNya juga terbentuk fenomena-fenomena alam seperti angin, hujan, kematian, api, rembulan, dan juga Prajapati dan para dewa-dewi. Arjuna juga melihatNya dari aspek-aspek lain seperti aspek kasih dan cinta Ilahi, sebagai bapak dari seluruh alam semesta dan kita semuanya, guru, teman, yang melindungi semuanya, sebagai Cinta-Kasih Yang Abadi, Kebenaran Yang Tak Terbinasakan, sebagai Kehidupan Yang Tak Pernah Sirna. Dan akhirnya, Arjuna dengan penuh takjub dan ekstasi menyatakan, “Dikaulah SemuaNya, Oh SemuaNya.”
41. Sering aku berbicara kepadaMu secara gegabah, dan kupikir Dikau sebagai ‘teman’ dan tak kusadari akan kebesaranMu ini, dan kupanggil Dikau ‘Kreshna,’ ‘Pangeran’ atau ‘Sahabat’!
42. Karena sayang dan juga karena ingin bercanda denganMu, sering kuberbuat salah terhadapMu, pada saat-saat kita sedang berbaring, duduk, bersantap atau sedang berduaan, atau sedang dengan yang lain-lainnya! Oh Yang Tak Berdosa, untuk ini (semua) kumohon kepadaMu! Maafkan! Maafkan kesalahan-kesalahan ku, Yang Maha Abadi!
Arjuna yang baru sadar bahwa Sang Kreshna yang selama ini dianggapnya teman bercanda (hubungan keduanya amat akrab) di bumi ini, ternyata adalah penjelmaan Yang Maha Esa, dan karena takut dan takjubnya, langsung secara amat spontan dan jantan ia pun meminta dimaafkan semua kesalahan-kesalahannya. Bukankah sering sekali hal-hal yang serupa kita alami juga. Kita sering memuja Yang Maha Esa dengan harapan la akan datang menolong kita dari penderitaan yang kita alami. Sebenarnya setiap saat la hadir dan menolong kita, tetapi dalam bentuk orang lain, atau makhluk lain, bahkan dalam bentuk sesuatu kejadian, yang tidak kita sadari, dan sering sekali kita mencemoohkan atau mengacuhkan semua ini. Kita sering lupa akan Dia karena kehidupan kita sehari-hari hanya diperhitungkan secara duniawi dan berdasarkan yang ilmiah-ilmiah saja, bahkan yang kita anggap rasional saja. Lupa kita akan kehidupan dan kemukjizatan spiritual, ke-gaiban-Nya yang maha tak terkirakan atau terpikirkan itu. Semua sering sekali kita anggap suatu kebetulan belaka, di dunia ini tiada sesuatu pun yang serba kebetulan, semuanya secara spiritual sudah terencana dan terkoordinir dengan baik, sampai ke hal-hal yang sekecilnya, ini harus dicamkan oleh kita semuanya. Kalau sadar akan hal ini, maka segeralah memohon maaf kepadaNya, karena Ia Maha Pemaaf dan Pengasih dan Penyayang kita semuanya.
43. Karena sekarang kuketahui Dikau adalah Bapak Agung dari semua yang dibawah dan semua yang di atas, dari semua loka-loka di seluruh alam semesta ini! Dikau adalah guru yang paling dikagumi dan tak tertandingi di seluruh loka-loka ini. Bagaimana mungkin ada seseorang di dunia ini yang lebih agung dari kebesaranMu? Dikau lah Yang Tertinggi, Tuhan, kupuja Dikau!
44. Dengan tubuh yang membungkuk dan menunduk, aku bersujud dan memohon karuniaMu, Oh Tuhan Yang kukagumi! Tunjanglah daku, ibarat seorang ayah yang menolong putranya, ibarat seorang sahabat yang menolong sahabatnya, ibarat seorang kekasih yang menolong yang dikasihinya!
Arjuna di sloka-sloka di atas menyebut Sang Kreshna sebagai ‘Ayah atau Bapak semua loka-loka,’ sebagai seorang guru yang tanpa tandingannya, dan Arjuna pun memohon kepadaNya agar Sang Kreshna sudi membantu, menolong dan menunjangnya ibarat seorang ayah yang menolong anak-anaknya, dan beberapa contoh-contoh lainnya seperti di atas. Dengan kata lain, sebenarnya Arjuna yang telah sadar akan KebesaranNya mohon agar sudi di kasihi dan dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa. Barang siapa sadar akan kasih-sayang Ilahi Yang Tak Ada Taranya itu, maka orang ini pastilah seseorang yang telah mendapatkan penerangan dan kebijaksanaan yang tak ada taranya. la betul-betul telah sadar secara sejati akan Yang Maha Esa dan Segala KebesaranNya.
45. Telah kulihat Itu yang tak pernah terlihat sebelum ini — bentukMu yang menakjubkan! Hatiku bahagia tetapi penuh dengan ketakutan! Oh Tuhannya tuhan-tuhan! Gunakanlah tubuh duniawiMu, agar terlihat oleh mata duniawi (ini)!
Jiwa Arjuna tergetar terus melihat Kebesaran Yang Maha Kuasa ini, Yang Tanpa Batas dan tak pernah terlihat oleh siapapun sebelum ini. Tetapi karena ketakutan akan WujudNya ini, ia berseru memohon agar Sang Kreshna sudi kembali ke WujudNya yang semula seperti wujud manusiaNya, yaitu Sang Kreshna, agar Arjuna dapat menyaksikannya lagi dengan mata manusianya tanpa merasa gentar lagi.
46. Kuharap melihatMu seperti yang dahulu, berhiaskan mahkota, gada dan cakra di tangan, Oh Yang Bertangan Seribu, Oh bentuk Yang Universal, Mohon perlihatkan bentukMu sebagai Vishnu Yang Bertangan Empat!
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
47. Yah! Telah kau lihat, Arjuna! Dengan karuniaKu dan melalu kekuatan Yoga, bentukKu yang agung dan suci, Yang Maha Luas,
48. Dan menakjubkan, sangat terang-benderang, tak ada habis-habisNya, Yang utama (pertama), Yang mengisi semuanya—Yang selain dikau tak pernah terlihat oleh yang lainnya sebelum ini!
Penglihatan ini tak dapat terlihat oleh Veda-Veda, atau para pangeran! Atau dengan pengorbanan, atau amal, atau dengan mantra-mantra, atau dengan puja-puji suci, atau dengan puasa yang berkepanjangan. Tak seorang pun di dunia ini dapat melihatnya, karena penglihatan ini hanya disimpan untuk dikau semata!
Sang Kreshna menerangkan kepada Arjuna bahwa penglihatan Ilahi yang dikaruniakanNya kepada Arjuna memang khusus telah disediakan untuknya semata dan tidak diperlihatkan kepada dewa-dewa atau yang lain-lainnya. Suatu penghormatan yang luar biasa bagi Arjuna karena dianggap murid dan pemujaNya yang sangat setia dan berdedikasi, bahkan puasa yang berkepanjangan atau penyiksaan diri yang diluar-batas pun tak dapat menghasilkan penglihatan Ilahi ini, juga tidak yagna atau amal dan perbuatan perbuatan baik lainnya. Hanya yang terpilih olehNya akan mendapatkan Karunia ini, seperti yang dikaruniakan kepada Arjuna yang disayangiNya.
49. Janganlah kalut! Janganlah dikau gentar, karena melihat bentuk yang menakutkan ini! Bebaslah dari rasa takutmu! Berbahagialah hatimu! Saksikanlah lagi bentukKu yang telah lama dikau kenal!
Berkatalah Sanjaya:
50. Setelah bersabda demikian kepada Arjuna, Sang Kreshna sekali lagi kembali ke bentukNya yang semula. Yang Maha Agung, setelah kembali ke bentuk yang lembut, menghibur Arjuna yang sedang ketakutan.
Berkatalah Arjuna:
51. Sekali lagi kulihat bentuk manusiaMu yang lembut, oh Kreshna, dan jiwaku berubah tenang. Aku kembali ke sifatku yang semula.
Mulailah hilang rasa takut dan gentar sang Arjuna, setelah melihat vujud lembut Yang Maha Pengasih. Yang dimaksud dengan wujud lembut Sang Kreshna adalah wujudNya sebagai manusia. Di versi lain Bhagavat Gita yang diterjemahkan oleh pengarang-pengarang lainnya, maka di sloka-sloka di atas diterangkan bahwa Yang Maha Esa, mengubah DiriNya dari bentukNya yang menyeramkan ke bentuk Sang Batara Vishnu yang lembut dan bertangan empat, dan langsung kemudian merubah DiriNya lagi ke bentuk lembut Sang Kreshna. Walaupun oleh penterjemah buku ini XL Vaswani tidak disebutkan secara jelas hal di atas ini, tetapi sudah terang maksudnya demikian, karena pada sloka-sloka di bawah ini ada hubungannya dengan bentuk Sang Vishnu tersebut.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
52. Sukar sekali untuk melihat bentukKu yang telah kau saksikan ini (bentuk Sang Vishnu bertangan empat). Bahkan para dewa mendambakan sekali melihatKu dalam bentuk ini.
53. Tetapi tak dapat Aku terlihat dalam bentuk yang telah kau saksikan ini, walaupun dengan (mempelajari) Veda-Veda, dengan puasa, dengan pemberian-pemberian atau dengan pengorbanan-pengorbanan.
Sang Kreshna menegaskan sekali lagi kepada Arjuna, bahwa tidak mungkin la dapat terlihat dalam bentuk agungNya seperti yang disaksikan oleh Arjuna baru saja, walaupun seseorang menyiksa dirinya setengah-mati, atau beramal sebanyak apapun juga, atau bahkan dengan mempelajari Veda-Veda selama apapun juga. Mengapa Sang Kreshna mengulang semua pernyataan ini kepada Arjuna? Karena dibalik itu tersirat suatu jalan untuk melihatNya dalam bentukNya yang mulia dan maha suci ini, dan jalan itu juga terbuka untuk kita semua. Perhatikanlah sloka-sloka yang menyusul di bawah ini, karena sebenarnya yang dikenhendaki oleh Yang Maha Esa dari kita semuanya ini amat sederhana sifatnya dan bukan yang sukar-sukar atau yang menyiksa diri sendiri. Lihat sloka yang berikutnya ini.
54. Tetapi hanya dengan kesetiaan kepadaKu semata — kesetiaan (dedikasi) yang tak terpecah-pecah — maka Aku akan diketahui dan terlihat dalam intisariKu dan bahkan dimasuki ke dalamNya, oh Arjuna!
55. Seseorang yang bekerja untukKu, yang menjadikan DiriKu sebagai tujuan yang suci dan agung — ia, pemujaKu, lepas dari keterikatan, tanpa rasa-jahat kepada sesama makhluk, ia datang kepadaKu, oh Arjuna!
Jadi sebaiknya seseorang tak perlu untuk mencari-cari kekuatan-kekuatan gaib untuk dirinya agar menjadi sakti atau berpengaruh secara duniawi. Yang Maha Esa dan yang peneranganNya tidak dapat dicapai dengan kesaktian jenis apapun juga, karena kesaktian yang sejati diberikanNya sendiri kepada mereka-mereka yang memenuhi kriteria-kriteriaNya untuk hal-hal tersebut; penggunaan kesaktian-kesaktian ini umumnya harus bersifat kemanusiaan dan untuk sesamanya dan demi pengabdian kepadaNya semata. Kesaktian semacam ini umumnya timbul atau datang tanpa diminta dan merupakan karuniaNya yang khusus untuk pemuja-pemujaNya yang tulus dan beriman dan tanpa-pamrih. Maka seyogyanyalah berdedikasi kepadaNya tanpa terpecah-pecah iman maupun pikiran kita, terpusat seluruhnya kepadaNya semata, dan jadikanlah Ia tujuan kita yang suci dan agung, dan cintailah, hormatilah, dan tolonglah sesama makhluk di dunia ini secara merata dan tanpa diskriminasi, karena bagaimana mungkin sesorang mencintaiNya dengan tulus kalau ia tidak mencintai atau mengasihi semua ciptaanNya di alam semesta ini secara tulus. Jangan sekali-kali menyakiti hati orang lain, atau mengusik makhluk lainnya yang tidak berdosa maupun yang berdosa tanpa seseuatu alasan yang pasti dan dapat dipertanggung-jawabkan kepadaNya. Dengan begitu kita akan meniti jalan ke arahNya. Jadi intisari ajaran-ajaran Sang Kreshna adalah kalau seseorang ingin melihatNya atau ingin mencapaiNya atau dengan kata lain ingin mengetahui dan mengenal ilmu pengetahuan yang agung dan suci dan kebijaksanaan yang agung dan suci ini, maka jalannya amat sederhana, yaitu “dedikasi dan kesetiaan yang tulus kepadaNya semata.” Benar kata Sri Shankar Acharya, seorang guru besar Hindu di masa yang lalu, bahwa sloka 55 pada bab ini sebenarnya adalah “intisari dari seluruh Bhagavat Gita.”
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kresnha dan Arjuna, bab ini adalah bab yang kesebelas yang disebut:
Vishvarupa Darshana Yoga atau Ilmu pengetahuan Tentang Penglihatan Bentuk Kosmos.

Bab 12 – Jalan Dedikasi (Bhakti)
Berkatalah Arjuna:
1. Para pemuja yang selalu harmonis, memujaMu, dan para pemuja lainnya yang memuja Yang Tak Terbinasakan, Yang Tak Berbentuk – di antara mereka ini, yang manakah yang lebih terpelajar dalam ilmu pengetahuannya (dalam yoganya.)
Pertanyaan ini mungkin telah menggelitik kita selama ini, karena pasti merupakan salah satu pertanyaan di dalam hati sidang para pembaca yang terhormat. Yang manakah yang lebih baik atau sempurna, memuja Sang Kreshna dalam bentuk manusiaNya, atau memuja Yang Maha Esa (Para Brahman), Yang Maha Agung dan Abadi, Yang Tak Berbentuk, Yang Maha Hadir dan Yang Tak Terbinasakan. Jalan manakah yang terbaik: berbhakti kepada Sang Kreshna atau berkonsentrasi kepada Sang Brahman Yang Tak Terlihat oleh mata duniawi kita? Dalam pemujaan terhadap Sang Kreshna terdapat dua faktor penting, yaitu bhakti dan/atau dedikasi, dan kedua seva atau pekerjaan/pemujaan yang dipersembahkan kepadaNya. Dengan kata lain: bekerja untukNya. Tetapi dalam pemujaan kepada Yang Maha Esa Para Brahman, bhakti atau seva tidaklah dianggap penting, yang penting adalah meditasi secara terus-menerus (berkesinambungan) atau pemfokusan pikiran (mental) yang terus-menerus kepada Yang Maha Esa (kontemplasi). Tentu saja bagi Arjuna di masa itu, dan bagi kita di masa kini, pertanyaan akan timbul, pemujaan yang manakah yang terbaik, sebenarnya bukankah Sang Kreshna dan Para Brahman ini sama saja, dua dalam satu, atau satu yang menjadi dua.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Mereka yang memusatkan pikirannya kepadaKu, memujaKu, yang selalu harmonis dan terlapis dengan iman yang tertinggi – merekaKu anggap sebagai yogi-yogi yang terbaik.
3. Mereka yang memuja Yang Maha Tak Terbinasakan, Yang Tak Terterangkan, Yang Tak Berbentuk, Yang Selalu Hadir, Yang Tak Terpikirkan, Yang Tak Berganti-ganti, Yang Tak Bervariasi, Yang Konstan –
4. (Mereka yang memuja dengan cara demikian), menahan indra-indranya, memandang setiap benda secara sama-rata, bahagia dengan kesentosaan setiap makhluk — mereka pun datang padaKu.
5. Mereka yang pikirannya terpusat kepada Yang Maha Esa (Yang Tak Berbentuk), berusaha secara susah-payah (untuk mencapaiNya); karena jalan ke arah Yang Maha Esa ini sukar bagi mereka yang memiliki raga.
Sang Kreshna mengatakan bahwa kedua bentuk methode dedikasi atau pemujaan di atas adalah benar, tetapi dengan memuja Sang Kreshna dalam bentuk manusia itu lebih efisien atau mudah, karena manusia cenderung memilih bentuk yang mudah dimengerti, sedangkan Yang Maha Esa dalam bentukNya yang tak terlihat dan tak berwujud, tentu saja sukar untuk dihayati dan dijangkau oleh rata-rata manusia, apa lagi yang masih gemar akan kenikmatan duniawi, tetapi ini tidak berarti lalu tidak ada manusia yang mampu langsung mencapaiNya (Para Brahman). Sebenarnya dalam sejarah agama Hindu terdapat banyak bukti bahwa banyak sekali individu-individu suci yang mampu menjangkauNya (mencapai Yang Maha Esa) dan bersatu denganNya. Bagaimana pun juga setelah tahap pemujaan kepada Sang Kreshna maka pemuja ini pada kesempatan berikutnya akan diteruskan kepada Sang Brahman juga. Di sini Sang Kreshna bertindak amat demokratis dan fleksibel, la memperbolehkan para pemuja untuk memuja dengan jalan apa saja sesuai dengan keinginan kita.
6. Mereka yang mengkonsentrasikan setiap tindakan mereka kepadaKu, memandangKu sebagai Tujuan Yang Agung dan Suci, dan yang dengan dedikasi yang tunggal, memujaKu dan bermeditasi kepadaKu,
7. Mereka ini, oh Arjuna, dengan segeraKu selamatkan dari samudra kematian dan kehidupan, mereka yang pikirannya selalu terpusat kepadaKu.
Di sini terlihat Sang Kreshna menganjurkan Arjuna untuk memilih jalan bhakti kepada Sang Kreshna, karena sebagai manusia yang memiliki raga, jalan ini lebih cepat dan mudah. Dan dengan jalan ini pun asalkan dedikasinya tak terpecah-pecah, maka pasti akan diselamatkan dari dunia yang penuh dengan derita ini.
8. Pusatkan padaKu semata pikiranmu dan letakkan pengertianmu di dalamKu. Dan tanpa ragu lagi sesudah ini dikau akan tinggal denganKu semata.
9. Tetapi jika dikau tak mampu secara teguh memusatkan pikiranmu padaKu, sebaiknya dikau berusaha untuk mencapaiKu, oh Arjuna, dengan yoga yang penuh konsentrasi dan usaha yang terus-menerus.
10. Dan juga sekiranya dikau tak mampu untuk mengusahakan konsentrasi, beritikadlah untuk bertindak demi Aku. Bekerjalah demi Aku, dan dikau akan mencapai kesempurnaan.
11. Dan sekiranya dikau tak bersemangat untuk bertindak demikian, maka lepaskan hasrat untuk mendapatkan hasil dari tindakan-tindakanmu, carilah perlindungan dan berdedikasilah kepadaKu, dengan cara mengendalikan dirimu.
Sang Maha Pemurah Hati, Sang Kreshna mulai menerangkan cara-cara atau tahap-tahap dedikasi menuju Sang Kreshna, dan semua keterangan ini diberikan dengan cara yang amat demokratis dan tidak mengikat atau memaksa Arjuna atau pun kita semua. Cara-caraNya amat mudah dan dapat disarikan sebagai berikut ini:
a. Pusatkan pikiran kepadaNya semata dan usahakan agar pengertian kita ada dalam DiriNya (Sang Kreshna atau Yang Maha Esa). Konsentrasi pikiran dan daya intelek kita pada Sang Kreshna, Yang Maha Esa, secara perlahan, terarah dan pasti, adalah cara yang terbaik. Berkonsentrasi kepadaNya walaupun ditengah-tengah kesibukan pekerjaan kita menandakan makin matangnya kita dan dedikasi kita kepadaNya. Pikiran (mind) dan buddhi (intelek atau pengertian yang benar) kalau digabung dan dipusatkan kepadaNya pasti akan menghasilkan keajaiban-keajaiban atau pengalaman-pengalaman yang menakjubkan dan tak dapat dipercaya oleh orang lain. Dengan jalan lain semua ini mengajurkan kita untuk bermeditasi atau bersemedi barang sejenak setiap harinya dengan meluangkan sekedar waktu yang khusus untuk dan kepada Sang Kreshna, Yang Maha Esa dengan penuh bhakti dan dedikasi, dan kasih yang tulus.
b. “Dengan ilmu pengetahuan (yoga) yang penuh usaha, cobalah untuk mencapaiKu,” kalau pertama di atas tadi seseorang dianjurkan bermeditasi atau memusatkan pikiran dan inteleknya kepada Sang Kreshna, maka pada anjuranNya yang kedua disabdakan kepada mereka yang tidak mampu melakukannya untuk mencoba dengan usaha-usaha untuk mencapaiNya, dan ini disebut abhyasa-yoga (yoga usaha atau disiplin kebebasaan), yang merupakan tahap yang lebih mudah bagi seseorang. Abhyasa atau kebiasaan memujaNya pasti lambat laun akan meningkat menjadi suatu yang teguh, dan kemudian proses ini lambat laun akan berubah menjadi meditasi pada suatu saat. Untuk menjadi meditasi maka Yang Maha Kuasa pasti akan menunjukkan jalannya waktu saat untuk itu tiba.
c. “Berkemauanlah bekerja demi Aku,” kalau samadhi atau meditasi belum dapat dilaksanakan maka sebaiknya abhyasa, tetapi kalau yang kedua ini pun masih sukar untuk dilaksanakan, maka cobalah jalan ketiga yang bersifat tahap yang lebih awal lagi dari dua jalan di atas tadi, yaitu kita sebaiknya mencoba bekerja demi Sang Kreshna, Yang Maha Esa, dalam setiap tindakan kita. Secara mental kita berusaha untuk menyerahkan semua hasil pekerjaan kita kepadaNya. Apapun yang kita lakukan, apakah itu makan dan minum, tidur, bekerja demi keluarga, kewajiban apapun yang kita lakukan, lakukan demi pemujaan terhadap Yang Maha Esa semata, jadikanlah Ia tujuan atau cita-cita akhir kita semuanya.
d. “Serahkan atau pasrahkan semua hasil pekerjaanmu kepadaNya,” dan kalau bekerja unrukNya masih terasa sukar, maka Sang Kreshna dengan amat demokratis dan banyak kompromi, dan dengan kasihNya menganjurkan agar hasil atau efek atau buah dari setiap tindakan, pekerjaan, aksi atau perbuatan kita dipersembahkan kepadaNya. Tidak berlebihan bukan anjuran Yang Maha Pengasih ini? Kita tetap saja bekerja demi keluarga dan kewajiban kita, tetapi semua hasil atau efek dari pekerjaan ini secara mental kita persembahkan kepadaNya, dan terserah kepadaNya apapun hasil pekerjaan itu, karena bukankah semua ini dariNya, untukNya dan olehNya juga! Pasrahkanlah semua nya kepada Yang Maha Esa, dan terjadilah apa yang harus terjadi sesuai dengan kehendakNya semata. Berimanlah kepadaNya selalu, dan semuanya akan berakhir dengan baik sesuai dengan rencana-rencanaNya yang telah diaturNya secara cermat dan terperinci masing-masing untuk setiap individu dan makhluk dan lain sebagainya. Sekali semuanya sudah dipasrahkan dan dipersembahkan kepadaNya, maka semua itu bukan masalah atau kenikmatan kita lagi, tetapi sudah menjadi persoalan Yang Maha Esa kembali, jadi terjadilah apa yang harus terjadi. Yang penting adalah iman kita kepadaNya dalam segala-galanya. Serahkanlah setiap sukses dan kegagalan kita kepadaNya, dan jangan sekali-kali meminta atau mengharapkan apapun dariNya kecuali kehendakNya, dan bekerjalah selalu sesuai dengan kewajiban kita. Terimalah semua kehendakNya dengan senang, pasrah, tulus dan jujur dan tanpa pamrih. Berterima-kasihlah untuk semua yang telah diberikanNya kepada kita, apapun itu sifatnya. Sloka-sloka berikutnya banyak menyiratkan pemberian dan kasih-sayang Yang Maha Esa kepada kita semua.
12. llmu pengetahuan itu lebih baik sifatnya daripada usaha konsentrasi yang terus-menerus, meditasi itu lebih baik daripada ilmu pengetahuan, dan yang lebih baik dari meditasi adalah persembahan semua hasil perbuatan karena setelah itu menyusullah kedamaian,
Secara bertahap sebenarnya Sang Kreshna menganjurkan kita meniti jalan ke arah kedamaian dalam hidup ini, yaitu melalui abhyasa (usaha dan konsentrasi) lalu menanjak ke ilmu pengetahuan, alau naik lagi ke meditasi, dan lalu yang lebih tinggi lagi, yaitu pemasrahan secara total semua hasil dari perbuatan kita, dan setelah pemasrahan total ini maka akan ditemui kedamaian. Sebenarnya semua tahap atau jalan yang diajarkan Sang Kreshna itu penting bagi kehidupan spiritual kita, tetapi yang paling penting adalah pemasrahan secara total semua hasil dari perbuatan kita secara sadar dan tulus, dan tanpa pamrih yang diikuti oleh mental atau pikiran dan buddhi kita secara paralel. Inilah sebenarnya rahasia agung dan suci yang tersirat dalam ajaran-ajaran Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita, dan kalau kita secara tulus, suci dan sadar melaksanakan semua ini, maka yang dikembalikan kepada kita ini adalah rasa kedamaian yang tak ada taranya, dan apa lagi yang lebih penting untuk sesuatu makhluk hidup di dunia ini kalau bukan rasa damai yang tanpa disertai rasa takut atau khawatir dalam menjalani hidup ini!
13. Seseorang yang tak mempunyai itikad buruk terhadap siapapun (dan apapun), bersikap bersahabat dan selalu simpatik, bebas dari rasa egoisme dan rasa memiliki, dalam suka dan duka bersikap tenang, selalu memaafkan;
14. Sang yogi ini yang selalu menerima apa yang didapatkannya, selalu harmonis dan menjadi tuan (yang berkuasa) atas diri pribadinya sendiri, tegas, dengan pikiran dan intelek yang didedikasikan kepadaKu — ia, pemujaKu ini, adalah yang Kukasihi.
Sang Kreshna menyambung ajaran-ajaran dan keterangan-keterangan spiritual yang penting untuk dipelajari Arjuna dan kita semua. Kita kemudian sekarang ini dapat menilai diri-pribadi kita masing-masing, menilai karakter dan jiwa kita masing-masing apakah jalan-hidup kita sudah sesuai dengan yang dianjurkan Sang Kreshna Yang Maha Pengasih ini atau masih jauh dari itu semua? Dan kalau sudah memenuhi semua kriteria-kriteria di atas maka, apakah ungkapan itu jujur dan tulus dan disertai rasa kesadaran yang sejati, atau hanya dibuat-buat atau dirasakan saja? Berkarakter atau bersifat seperti yang dianjurkan Sang Kreshna ini tidaklah mudah dilakukan oleh manusia yang duniawi sifatnya, walaupun nampaknya anjuran-anjuran Sang Kreshna ini mudah dan sederhana. Diperlukan latihan, penghayatan dan kesadaran yang harus dilalui dengan proses yang memakan waktu dan disiplin spiritual yang ketat dan tegar.
15. Seseorang yang tidak mengusik dunia ini dan tidak terusik oleh dunia ini, yang bebas dari rongrongan rasa nikmat, marah, dan takut — ia adalah yang Kukasihi.
Yang dimaksud Sang Kreshna di atas ini adalah seseorang yang tak mengusik, mengganggu dan menyusahkan orang lain, makhluk-makhluk lain dan alam serta benda-benda di mana pun juga tanpa sesuatu alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan; dan tindakan semacam ini tidak dapat ditolerir olehNya walaupun sekecil apapun tindakan ini. Juga orang ini (pemujaNya) sebaliknya tidak merasa susah atau merasa diganggu atau terusik oleh orang maupun makhluk lain, karena sadar bahwa semua ini adalah ciptaan-ciptaanNya dan terjadi karena kehendakNya dan pada dasarnya adalah la juga. Orang yang sadar ini disebut harmonis sifatnya. la telah lepas dari segala bentuk rasa takut, senang, marah dan penampilannya selalu harmonis dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Orang semacam ini adalah “kekasihNya” (Yang dikasihiNya).
16. Seseorang yang tak berambisi, yang bersih, cekatan dan cerdik dalam tindakan, tak bernafsu, bebas dari rasa takut, yang mempersembahkan hasil dari setiap keputusannya kepadaKu – ia, pemujaKu adalah yang Kukasihi.
17. Seseorang yang tidak bergembira, tidak membenci, tidak bersedih, tidak bernafsu (berangan-angan untuk memiliki atau menikmati sesuatu), yang mempersembahkan buah dari kebaikan dan keburukan – pemujaKu yang setia adalah yang Kukasihi.
Seseorang yang tak berambisi untuk diri-pribadinya sendiri dan tak mengharapkan apapun juga dari segala tindakan-tindakannya, baik secara fisik, mental maupun spiritual dan material; yang tegas, peka, ahli dan bekerja dengan cekatan demi kebenaran dan hal-hal yang positif; yang secara cepat mengambil keputusan dalam suatu keadaan darurat, dan yang selalu memasrahkan hasil dari setiap keputusan dan perbuatannya baik yang buruk maupun yang baik kepadaNya semata, tidak akan mempunyai rasa takut untuk menghadap masa depan dan semua yang dihadapiNya. Yang tak mementingkan atau menginginkan sesuatu dan tak bersedih hati untuk apapun yang dihadapinya adalah yang “dikasihiNya,” yang dikasihi oleh Sang Kreshna. Andaikan sang pemuja yang penuh dedikasi dan kesetiaan ini sudah mempersembahkan dirinya secara total sebagai alat kepada Yang Maha Esa, maka sang alat ini lalu sadar bahwa ia seharusnya berkewajiban untuk dipergunakan oleh Yang Maha Esa sesuai dengan kehendakNya, apapun kehendakNya itu, dan semua hasil pekerjaan yang dilakukannya bukan miliknya tetapi milik Yang Maha Menentukan, jadi lalu apa lagi yang harus disedihkan dan apa lagi yang harus digembirakan? Apa lagi yang harus membuatnya marah, benci atau dendam dan bebagainya? Tidak ada lagi! Semua adalah pekerjaanNya, dan semua adalah alat-alatNya semata yang memainkan peranannya masing-masing di dunia ini; dalam kehidupan kita ini! Semakin ia sadar akan hal ini, semakin dikasihi ia olehNya, Yang Maha Pengasih dan berbahagialah ia yang merasa dikasihi dan dilimpahi oleh kasih Yang Maha Kuasa, karena mencapai status ini tidaklah mudah dan boleh dikatakan amat langka dalam dunia yang penuh dengan ilusi duniawi ini. Yang Maha Esa Sendiri sebenarnya Amat Pengasih, terserah pada kita ingin mendapatkan limpahan kasihNya yang bersinar terus secara sama rata untuk setiap makhluk-makhlukNya, atau terserah kita untuk menolak kasih ini dan lebih erat lagi merangkul nafsu-nafsu duniawi kita dan terikat erat kepada nafsu-nafsu ini.
18. (Seseorang) yang bersikap sama terhadap seorang teman atau seorang musuh, sama terhadap dingin dan panas, terhadap kenikmatan dan penderitaan, bebas dari keterikatan,
19. Menerima secara sama rata pujian dan fitnah, bersikap diam, merasa cukup dengan apa yang diterimanya, tak memiliki rumah, berpikiran stabil, ia pemujaKu yang setia, adalah orang yangKu kasihi.
Andaikan seseorang bersikap sama terhadap semua kejadian yang menimpanya, seperti senang dan susah, pujian atau hinaan, panas atau dingin, dan merasa semua itu sama saja kadarnya, dan selalu merasa cukup dengan apa yang melandanya dan apa yang diterimanya dan menganggapnya sebagai pemberianNya jua, maka orang suci semacam ini adalah orang yang dikasihiNya. Andaikan ia tenang dan damai dalam menghadapi segala sesuatu dan menyebarkan kedamaian ini pada orang-orang di sekitarnya dan pada dirinya secara senantiasa, maka jadilah ia seorang mauni (yang tenang dan damai secara lahir dan batin). Andaikan ia merasa tak memiliki rumah atau tempat-tinggal (aniketah), yaitu dengan kata lain berarti ia merasa dunia ini bukan milik atau rumahnya yang sejati, tetapi ia hanya seorang musafir yang sedang melakukan perjalanannya (yatra) demi suatu kewajiban yang disandangnya demi Yang Maha Esa, dan merasa bahwa rumah atau tempat-tinggalnya yang abadi ada di dalam Sang Kreshna, Yang Maha Esa, maka jadilah ia seorang yang paling dikasihi oleh Sang Kreshna, dan manusia suci semacam ini selalu tersenyum penuh arti dalam segala tindakannya; ia selalu bersikap tenang-tenang saja penuh arti.
20. Mereka, yang benar-benar memuja dharma (hukum) yang abadi ini, seperti yang diajarkan ini, dan penuh dengan iman, mempercayaiKu sebagai Yang Maha Agung dan Suci — mereka, para pemujaKu, adalah yangKu kasihi.
Dan seorang pemuja yang tulus yang memuja dan menjalani dharma atau hukum yang diajarkan Sang Kreshna ini, yang adalah suatu bentuk dharma yang abadi dan tak akan pernah sirna sepanjang masa, dan yang mengantarkan kita semua kepada tujuan Yang Agung dan Suci, yaitu Sang Kreshna atau Yang Maha Esa itu Sendiri; pemuja semacam ini adalah yang dikasihiNya. Jelas sudah pesan-pesan Sang Kreshna untuk kita semuanya. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bob ke dua-belas ini disebut: Bhakti Yoga Atau Ilmu pengetahuan Tentang Dedikasi.

Bab 13 – Falsafah Kehidupan
Berkatalah Arjuna:
Oh Kreshna, daku berhasrat sekali untuk mempelajari hal-hal tentang Prakriti (alam) dan Purusha (Sang Jiwa), tentang ladang dan tentang Yang Mengetahui ladang ini (Sang Pengenal ladang), tentang ilmu pengetahuan (kebijaksanaan) dan tentang hal-hal yang perlu untuk diketahui.
Sloka di atas ini tak bernomor, dan sering tak diterjemahkan karena dianggap sebuah sisipan.
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Raga ini, oh Arjuna, disebut sebagai ladang. Seseorang yang sadar (tahu, mengenal) akan hal ini disebut sebagai sang pengenal ladang ini, oleh mereka yang mengetahuinya (para resi).
2. Kenalilah Aku sebagai Yang Mengetahui ladang dari semua ladang-ladang, oh Arjuna! Ilmu pengetahuan tentang ladang dan yang mengetahuinya -adalah ilmu pengetahuan yang Ku anggap sebagai ilmu pengetahuan yang sejati.
Dalam bab ini Sang Kreshna menerangkan tentang filsafat (falsafah) kehidupan ini; ibaratnya menilai suatu kehidupan di atas batu-karang yang kering dan gersang, maka setiap manusia sebenarnya memerlukan suatu filsafat-kehidupan (suatu pegangan) agar kehidupan dapat dijalaninya dengan sempurna. Dan untuk itu, pertama-tama amat penting untuk menyadari atau memahami dua sifat dominan — manusia dan alam semesta kedua sifat ini disebut — Prakriti dan Purusha. Prakriti adalah benda atau raga, dan diibaratkan sebagai ladang (kshetrari), dan Purusha adalah Sang Jiwa yang disebut dan dikenal sebagai Yang mengetahui tentang ladang ini (Kshetragnd).
Bahkan dalam Injil pun Yesus Kristus pun sering menyebut tentang ladang dan penabur benih dalam parabel-parabelnya. Jadi bukan saja hal ini disiratkan dalam agama Hindu saja tetapi dapat juga dilihat dan dihayati dalam agama-agama lainnya. Di sini dapat dikatakan bahwa yang disebut ladang adalah raga kita sendiri dan Sang Penabur Benih adalah Sang Kreshna, Yang Maha Mengetahui ladang ini, la bersemayam di dalam diri kita. Dan yang disebutkan sebagai benih di sini adalah kebijaksanaan (gnanam), yang selalu ditaburkan olehNya untuk kita semua agar sadar dan kembali ke jalanNya. Sang Kreshna di sini berbicara tentang ladang, tentang yang mengenal ladang dan tentang ilmu pengetahuan dalam bentuk kebijaksanaan. Prakriti adalah ladang: di dalamnya setiap benda dan makhluk tumbuh dan berkembang, lalu layu dan akhirnya binasa, dan hidup dan tumbuh baru lagi. Prakriti adalah suatu bentuk aktivitas. Di dalam Prakriti dituai buah atau hasil dari setiap tindakan dan perbuatan kita ~ ibarat sebuah ladang saja. Fungsi Prakriti adalah aktivitas tanpa dilandasi oleh kesadaran sejati.
Gnanam (kebijaksanaan) adalah benih yang ditabur dan dituai dari ladang ini; kebijaksanaan ini adalah ilmu pengetahuan tentang ladang dan tentang Yang Mengetahui atau Yang Mengenal ladang ini. Di alam semesta ini apapun yang kita lihat adalah gabungan atau kombinasi dari Purusha dan Prakriti, antara Sang Jiwa dan benda, antara roh dan raga. Sang Jiwa, Sang Purusha adalah Kshetragna (Yang Mengetahui Ladang) dan Yang Mengetahui adalah Sang Kreshna, yang dengan kata lain adalah Yang Maha Esa itu Sendiri.
3. Dengarkanlah secara terperinci, dariKu, apakah ladang itu, dan apakah sifatnya, apakah modifikasi-modifikasinya, bilakah la (ada), apakah la (Yang Mengetahui tentang ladang) itu, dan apa sajakah kekuatan-kekuatanNya?
4. Para resi telah meyabdakannya dengan berbagai cara, dengan berbagai mantra, dengan sabda-sabda dalam Brahma-Sutra — disabdakan dengan penuh alasan dan kata-kata yang konklusif, penuh dengan kebijaksanaan Yang Maha Abadi.
Ajaran mengenai ladang dan yang mengetahui ladang ini, bukan ajaran baru, tetapi sudah muncul dalam pustaka-pustaka dan ajaran-ajaran Hindu kuno, dan sudah dikenal oleh orang-orang yang mempelajarinya di zaman dahulu.
5. Lima elemen kasar, dan rasa “ke-aku-an,” juga pengertian akan yang tak berbentuk kesepuluh indra dan pikiran, dan kelima indra yang utama,
6. Keinginan (nafsu) dan rasa-benci, kenikmatan dan penderitaan, bentuk kolektif, intelegensia, keteguhan – semua ini, secara terperinci diterangkan, sebagai yang mencakup ladang ini dan modifikasi-modifikasinya.
Kshetra (atau ladang) ini terdiri dan 24 prinsip, yaitu:
1. Avyakta – yang tak berbentuk. Ini adalah Sang Maya (Ilusi-Ilahi), di mana semua akan terserap sewaktu terjadi pralaya atau kiamat.
2. Ahankara — rasa ego, rasa ego yang didasarkan kepada pengalaman-pengalaman pribadi, pada personalitas, pada diri-pribadi, merupakan kesadaran dari dan untuk diri pribadi saja.
3. Buddhi — alasan-alasan, pemahaman, pengertian yang membedakan antara yang benar dan salah, intuisi, kekuatan untuk langsung mengetahui sesuatu.
4. Mana — sering disebut juga sebagai ekam atau satu;
(5-14) Terdiri dari sepuluh bentuk indra, yaitu terbagi dua. Yang lima pertama adalah gnana-indra yang terdiri dari mata (penglihatan), kuping (pendengaran), hidung (penciuman), lidah (rasa), sentuhan atau organ aksi. Kemudian lima indra yang berikutnya adalah karma-indra atau juga disebut indra-indra fungsi yang terdiri dari tangan, kaki, mulut (wicara), anus dan penis (kemaluan).
(15-19) Kemudian yang disebut lima indra yang penting (indriyah-gocharah) adalah sparsha (sentuhan), rasa (merasakan), rupa (pengetahuan), gandha (penciuman) dan shabda (suara).
(20-24) Lima elemen kasar (mahabhuta) adalah bhum (tanah), apa (air) anala (api), vayu (udara) dan khan (ether).
Kshetra atau ladang ini mempunyai lima vikara, yaitu bentuk atau transformasi, atau bisa disebut juga penggantian atau modifikasi, dan sebagainya. Yang masing-masing adalah:
a. iccha dan dvesha — yaitu keinginan dan aversi (rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-tak suka, panas-dingin, benci-sayang, dan lain sebagainya);
b. sukham dan dukham — yaitu kenikmatan dan penderitaan;
c. sanghata — yaitu bentuk kolektif tubuh atau raga;
d. chetana — yaitu kesadaran, intelegensia, pikiran dan pengetahuan;
e. dhriti — yaitu keteguhan, ketegaran dan tekad yang kuat.
Harus diketahui bahwa fungsi psikological seperti nafsu (keinginan) dan aversi, kenikmatan, dan penderitaan, intelegensia, keteguhan adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan kshetra (ladang) dan bukan pada Sang Atman. Kshetra atau ladang ini terbentuk dari raga dan pikiran dan bukan dari Sang Atman. Sebaliknya kshetra ini merupakan tempat bersemayam Sang Atman ini. Vikara atau modifikasi timbul dalam kshetra karena sang jiwa kita berhubungan dengan Sang Maya; Sang Maya kemudian mempermainkan jiwa kita dan timbullah gelombang-gelombang dan pergantian-pergantian dalam pikiran dan jiwa kita, yang selalu terombang-ambing oleh permainan atau ilusi Sang Maya ini. Sekali terlibat dan tenggelam dalam manis dan pahitnya Sang Maya maka sukarlah bagi seorang manusia untuk lepas dari cengkeramannya dan jadilah kita budak duniawi ini. Jiwa kita dengan statusnya yang suci (Sang Atman) tidak ditakdirkan sebagai tuan dari Sang Maya ini, lain dari para Avatar a, yaitu Yang Maha Esa yang menjelma menjadi manusia seperti Sang Kreshna dan Sang Rama, mereka ini masing-masing pada zamannya sewaktu bereinkarnasi sebagai manusia tidak dapat dikuasai oleh Sang Maya, sebaliknya merekalah yang menguasai atau menjadi tuan dari Sang Maya ini.
7. Rendah-diri, tidak berpura-pura, tidak menyakiti makhluk lainnya kesabaran, bertindak berdasarkan kebenaran, merawat dan bekerja demi guru-spiritual, pembersihan diri (raga dan pikiran), ketegaran dan kendali-diri,
8. Bersikap tidak acuh pada benda-benda atau hal-hal yang berhubungan dengan indra-indra, tak mempunyai rasa egois, mengenal akan sifat-sifat buruk dari kelahiran, kematian, masa-tua, penyakit dan penderitaan.
9. Tanpa keterikatan, tidak mengidentifikasikan dirinya dengan putra-putrinya, dengan istri dan rumahnya, dan selalu bersikap sama rata secara konstan terhadap hal-hal dan kejadian-kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.
10. Dedikasi kepadaKu tanpa henti-hentinya, melalui yoga (ilmu pengetahuan), menyepikan diri ke tempat-tempat yang tenang, tak berkeinginan untuk berkumpul secara duniawi.
11. Selalu berusaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan tentang Sang Atman, intuisi langsung dengan maksud untuk mengenal Kebenaran – inilah yang disebut kebijaksanaan. Semua hal yang berlawanan dengan ini adalah kebodohan (tak-berpengetahuan).
Pelajaran atau jalan kebijaksanaan dipaparkan dengan baik dan terperinci oleh Sang Kreshna di atas. Semuanya berjumlah 20 karakter atau sifat, dan kedua-puluh sifat ini adalah akar atau fondasi dari kebijaksanaan yang akan mengantarkan seseorang kepada Yang Maha Esa, ke ilmu pengetahuan sejati tentangNya. Kebijaksanaan ini kalau dipelajari dengan seksama adalah indikasi dari sifat-sifat moral yang amat super atau prima, yang menjadi dasar dari tindakan-tindakan kita yang baik dan benar, yang lepas dari rasa duniawi, dan rasa memiliki, dari nafsu-nafsu dan malahan menjadi dasar yang kokoh dan benar dari setiap tindakan kita dan mendorong kita untuk lebih banyak melihat ke dalam diri kita sendiri. Kedua-puluh sifat ini menunjukkan arah seseorang kepadaNya tanpa pamrih dan penuh dedikasi dan kebenaran bagiNya semata.
12. Akan Ku sabdakan tentang sesuatu yang harus diketahui, yang setelah diketahui, maka tercapailah keabadian — Sang Brahman, Yang Tak bermula, Suci dan Agung, Yang dapat disebut Sat (Berbentuk) dan juga dapat disebut Asat (Tidak Berbentuk).
Yang mengetahui ladang ini disebut Kshetmgna, lalah Yang Maha Suci dan Agung Para Brahman. la tak dapat dikualifikasikan karena Yang Maha Esa ini di luar kualifikasi yang dibuat manusia, seyogyanyalah la lalu disebut sat dan asat (berbentuk dan tidak berbentuk). la diluar kedua faktor ini dan Maha Agung dan Suci. Ia hadir dan ada tetapi pada saat yang bersamaan Ia pun tak hadir dan tak ada atau tak terlihat. Yang Maha Esa tak dapat dikualifikasikan atau digambarkan karena dengan begitu malahan membatasiNya, dan tak mungkin Ia dapat dibatasi karena Maha Tak Terbatas Yang Maha Esa ini.
13. Di mana pun Sang Brahman ini mempunyai tangan-tangan dan kaki-kaki, di mana pun Ia bermata, berkepala dan bermulut. Ia mendengar di setiap tempat, dan Ia tinggal di dunia ini, menyelimuti (meliput) semuanya.
14. Ia bersinar di semua fungsi indra-indra, tetapi lepas dari indra-indra ini. tak terikat, tetapi Ia lah penunjang semuanya. Ia bebas dari segala kualitas (Nirgunam), tetapi Ia juga yang menikmati semua kualitas.
Sang Brahman ada tapi tak ada. Ia hadir dalam Prakriti tetapi tak terlihat oleh kita. Ia sukar menemukan istilah yang tepat tentang Yang Maha Esa ini dan Ia hanya dapat dijelaskan secara minim dalam paradoks-paradoks saja. Ia hadir dalam setiap hal, sifat, bentuk atau aksi, tetapi tak pernah terlibat secara langsung.
15. Di luar dan di dalam semua makhluk Ia hadir dan juga bergerak. Terlalu sukar untuk dipersepsikan Ia ini. Ia dekat tetapi juga Ia amat jauh.
Benar kata filsuf Meister Eckhart, “Semakin dalam Tuhan di dalam diri sesuatu, semakin di luar Ia berada dari sesuatu tersebut.” Ia bergerak tetapi tanpa gerak, Ia dekat tapi jauh. Ia tak dapat diterangkan tetapi Ia dapat dirasakan kehadiranNya ditengah-tengah kita
16. Ia hadir tak terbagi-bagi di dalam makhluk-makhluk, tetapi Ia bersemayam secara sama rata (di dalam diri makhluk-makhluk seakan-akan terpisah-pisah). Ia penunjang semua makhluk dan benda. Ia pemusnah kehidupan, tetapi Ia juga pemberi kehidupan.
Di atas sudah cukup tergambar atau terbayang atau terasa dan terlihat oleh kita akan semua kebesaranNya., sebagai pemusnah sekaligus pemberi kehidupan, sebagai yang tak ada di dalam setiap yang ada, sebagai yang beraksi dalam setiap tak-aksi, atau pun sebaliknya.
17. Ia adalah Cahaya dari semua cahaya. Ia yang dikatakan sebagai di luar kegelapan. Ia adalah kebijaksanaan, tujuan dan kebijaksanaan yang dicapai dengan kebijaksanaan. Ia bersemayam di dalam hati semuanya.
Salah satu sifatNya adalah Cahaya atau Nur, Sang Surya Yang Eka, tetapi bersinar dalam hati setiap insan dan makhluk. Ia juga adalah ilmu pengetahuan yang sejati, sekaligus obyek dan tujuan ilmu pengetahuan sejati tersebut. Para pencariNya melakukan perjalanan spiritual guna mencariNya, justru dari luar ke dalam diri mereka sendiri karena Ia bersemayam dalam diri setiap insan dan makhluk ciptaanNya. Ia hadir di mana-mana, tangan-tangan dan kakinya tersebar di setiap sudut dan penjuru dunia. Ia adalah satu-satuNya yang berada di kegelapan, karena Ia lah Cahaya dari semua cahaya.
18. Begitulah telah Ku katakan kepadamu, secara singkat dan terperinci, tentang ladang ini, tentang ilmu pengetahuan dan obyek dari ilmu pengetahuan ini. PemujaKu, setelah mengetahui ini, memasuki DiriKu.
Tiga hal yang penting untuk diketahui, yaitu ladang (kshetra); ilmu pengetahuan (gnana), yang dimaksud ini bukan ilmu pengetahuan yang ilmiah, tetapi justru yang gaib dan dianggap sejati; obyek dari ilmu pengetahuan ini (gneya). Mengenal, mengetahui atau menghayati ketiga prinsip ini dalam kehidupan kita sehari-hari berarti mencapai Yang Maha Esa, Yang Agung dan Suci lepas dari segala penderitaan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan ini akan mencapai cinta-kasih (bhakti). Yang Maha Esa dapat dicapai oleh mereka yang sederhana, rendah-hati dan penuh kasih, yang telah memurnikan jiwa dan hatinya. Yang ingin mengenalNya dengan baik harus belajar terlebih dahulu untuk mencintai semuanya, sadar bahwa semua orang dan makhluk dan benda adalah alat-alatNya belaka yang harus memainkan peranannya masing-masing di kehidupan ini. Setelah sadar akan hakikat cinta-kasih yang sejati maka orang ini akan meningkat untuk ‘bercinta-kasih denganNya.” Hidup ini lalu berubah penuh dengan cinta-kasihNya. Hidup tidak seharusnya dihitung dari tahun-ke-tahun atau hari-ke-hari, tetapi dari dalamnya cinta-kasih kita terhadapNya dan terhadap semua ciptaan-ciptaanNya. Bagaimana seseorang yang suci-murni dapat merusak atau mencederai ciptaan-ciptaanNya yang lain, sekiranya la betul-betul telah murni cinta-kasihnya pada Yang Maha Esa?
Seorang mistik bernama Bayazid sekali masa pernah ditanya umurnya, dan ia menjawab baru berusia empat tahun. Padahal usianya telah mencapai 74 tahun. Tentu saja para penanya menjadi heran karenanya. Tetapi Bayazid dengan rendah hati menerangkan bahwa selama 70 tahun ia jauh dari Tuhan, dan dekat dengan dunia. Baru empat tahun terakhir ini ia merasakan dekat kepadaNya dan merasakan kasih-sayangNya yang tak terhingga, mendengarkanNya Yang tak pernah didengarNya sebelum ini, merasakanNya Yang tak pernah tersentuh olehNya selama ini. “Jadi baru empat tahun ini aku betul-betul hidup!” seru Bayazid.
19. Ketahuilah bahwa Prakriti (unsur benda atau sifat) dan Purusha (sang Jiwa), kedua-duanya tidak bermula. Dan ketahuilah bahwa semua modifikasi dan guna (kualitas) lahir dariNya.
Prakriti dan Purusha tak bermula dan sudah hadir sebelum penciptaan dunia. Tetapi semua pergantian, modifikasi dan sifat-sifat alam ini berasal dari Prakriti, yang lahir dariNya.
20. Benda atau alam dikatakan sebagai yang menjadi penyebab yang memancarkan sebab dan akibat; sang Jiwa dikatakan sebagai penyebab dari pengalaman suka dan duka.
21. Sang Jiwa yang bersemayam di dalam benda mencicipi kualitas-kualitas (guna) yang lahir dari benda. Keterikatannya terhadap guna inilah yang menjadi penyebab kelahirannya secara baik dan buruk.
Kita lihat sekarang dalam sloka 19-23 tersirat adanya pemikiran baru yang terbagi pada tiga prinsip, yaitu Prakriti-Benda-Alam, Purusha-Jiwa-Roh dan Purusha-Parah, Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Maha Suci. Purusha dan Prakriti, kedua-duanya bersifat anadi (yaitu tanpa mula) dan terpancar atau berasal dari Yang Maha Abadi, Yang Maha Esa, Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Maha Suci. Sang Purusha, atau Jiwa yang telah tergabung dan bersatu dengan Sang Prakriti, menikmati semua pengalaman-pengalaman duniawi seperti suka-duka dan lain sebagainya. Karena Jiwa bebas berkehendak maka ia sudah menyalah-gunakan kehadirannya dalam raga dan ia hanya tenggelam dalam kenikmatan duniawi ini dan terjebak oleh ikatan waktu dan ruang.
Jiwa sebenarnya adalah bentuk spiritual tetapi ia diberikan kebebasan untuk menuju kepada Yang Maha Esa. la dapat memberikan kasih dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa atau kepada Sang Maya (Sang Ilusi-Ilahi). Sekali ia menjadi budak Sang Maya ia akan bertolak-belakang dari Yang Maha Esa. Dan sekali ia terjebak dalam ilusi ini, maka ia akan timbul-tenggelam di dalamnya, terjebak dalam ikatan waktu dan spasi duniawi ini.
22. Dalam raga (yang dimaksud di sini adalah raga manusia) bersemayam Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Suci. la disebut sebagai Pengamat, Yang Mengabulkan, Yang Menunjang, Yang Menikmati Pengalaman, Tuhan Yang Agung, dan Sang Jati Diri Yang Agung dan Suci.
Dalam raga setiap makhluk terdapat Sang Jati Diri (Sang Atman) Yang dikenal atau disebut juga sebagai Purusha Parah, Sang Purusha Yang Maha Agung dan Suci. Ia lah sebenarnya Tuhan yang Maha Esa dan Agung dengan nama dan sebutan yang beraneka-ragam. Yang Maha Esa bersemayam dalam diri kita masing-masing sebagai Pengamat, dari setiap tindakan dan pikiran kita; dari sang Jiwa atau Roh kita. la membiarkan tindakan kita untuk kemudian dikoreksi yang salah (teguran hati nurani selalu hadir sebenarnya dalam setiap tindakan kita yang salah, tetapi sering sekali kita mengabaikannya karena faktor-faktor ego duniawi kita). Ia, Yang Maha Kuasa, sebenarnya hadir dalam setiap makhluk. Seandainya Sang Jiwa atau Roh kita jatuh ke jalan Sang Maya, maka Sang Paratman atau Sahabat Pengamat kita ini pun mengikutinya, menegurnya, menjaganya, memberikan peringatan-peringatan kepada sang Jiwa kita ini, dan tak sekalipun Sang Paratman ini mengabaikannya, Ia bahkan menuntun sang Jiwa ini kembali ke jalannya yang benar. Dengan caraNya Sendiri Sang Paratman ini mengajari, mempengaruhi dan mengajak sang Jiwa yang tersesat ini kembali ke arahNya. Maha Besar dan Pengasih, Ia sebenarnya, karena selalu menyelamatkan kita semua dari jalan kesesatan dalam hidup ini, agar tercapai misi kita yang seharusnya kita lakukan, yaitu bersatu kembali denganNya. Sang Paratman adalah “bintang-harapan” kita yang akan selalu menuntun kita dalam kegelapan duniawi ini, sehingga akhirnya tak ada satu jiwa pun yang akan tersesat, semuanya akan dituntun ke arahNya. Sebenarnya Ia adalah tujuan kita semuanya, kalau saja kita mau menyadari hal ini secara sejati.
23. Seseorang yang mengetahui (menyadari) tentang Purusha dan Prakriti dengan segala kualitas-kualitasnya, apapun keadaannya — ia tak akan lahir kembali.
Seseorang yang sadar tentang pengetahuan Purusha dan Prakriti ini dengan ketiga guna (sifat atau kualitas) nya, akan menuju ke arah pembebasan, yaitu lepas dari dunia ini dan bersatu denganNya. Seseorang yang benar-benar sadar siapa Sang Purusha Yang Maha Agung dan Suci ini betul-betul adalah seorang yang telah bebas.
24. Sementara orang menyaksikan Sang Atman melalui Sang Atman dengan jalan meditasi (dhyana), sementara orang lagi menyaksikan melalui jalan Sankhya-yoga (jalan ilmu pengetahuan), dan sementara orang lagi melalui Yoga perbuatan (tindakan, aksi atau pekerjaan)
25. Yang lainnya lagi, tidak mengenal jalan-jalan yoga ini, memuja, karena pernah mendengarkannya dari yang lain-lainnya; dan mereka pun lepas dari kematian, pedoman mereka adalah skripsi-skripsi (shruti).
Ada empat metode yang menuntun kita ke arah Yang Maha Esa, atau yang disebut juga Purusha Yang Maha Agung dan Suci dan juga boleh disebut Kebebasan atau Penerangan. Masing-masing metode terurai di bawah ini:
a. Meditasi (dhyana) — Banyak yang melakukan metode ini, dan menemukan Sang Jati Diri di dalam dirinya sendiri. Dengan bermeditasi kita mencoba untuk berhubungan dengan Sang Atman secara konstan dan penuh konsentrasi, dengan menjauhkan segala gangguan. Yang penting dalam meditasi adalah ketenangan, dan makin kita tenang dan tak terusik oleh pikiran dan keadaan-keadaan di sekitar kita, maka makin mendekatlah kita kepadaNya. Berbicara tanpa henti malahan membuang-buang energi. Sebaliknya ketenangan dalam meditasi menjauhkan kita dari hal-hal yang buruk dan kesalahan-kesalahan duniawi. Sebaiknya dan seharusnya setiap hari kita menyediakan sedikit waktu kita untuk berdiam diri dan menyatu denganNya. Dapat kita mulai dengan lima menit saja dahulu, kemudian meningkat sampai setengah atau satu jam secara bertahap. Janganlah jadi budak dari pekerjaan-pekerjaan kita, dari kenikmatan dan penderitaan kita, dan dari kesibukan kita yang tak kunjung ada habisnya. Sisihkanlah sejenak waktu setiap pagi dan malam untukNya, dan dapatkanlah kenikmatan yang tak dapat diperoleh di semua kesibukan, kenikmatan dan penderitaan duniawi kita. Sekali tercapai komunikasi denganNya, kita akan mengalami keajaiban-keajaiban yang akan mengubah cara hidup kita, dan makin tabah dan tegarlah kita dalam menghadapi kehidupan yang unik ini. Ketenangan yang utama adalah dengan memulainya dalam kehidupan dan diri kita sendiri, dan jalan terbaik adalah dengan berlatih meditasi dan selalu berusaha untuk bersatu denganNya, Yang sebenarnya bersemayam tidak jauh, tetapi dalam diri kita masing-masing, agar tercapai jalan kehidupan yang suci dan sempurna.
Ada yang perlu dilakukan dalam bermeditasi, yaitu mengucapkan japa secara berulang-ulang. Japa atau mantra ini dapat bermacam-macam sesuai yang diberikan oleh sang guru meditasi, tetapi semakin pendek japa ini, semakin efektif hasilnya. Misalnya satu kata OM atau Tuhan atau Allah atau Hari atau Rama atau Kreshna atau Yesus, dan lain sebagainya yang sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita pribadi, yang sesuai dengan hati sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita pribadi, yang sesuai dengan hati nurani dan panggilan jiwa kita sendiri. Pilihlah atau temukanlah sendiri satu kata atau beberapa kalimat puja-puji yang menggambarkan kebesaran Yang Maha Esa, dan sewaktu bermeditasi ucapkanlah berulang-ulang penuh konsentrasi, dedikasi dan kasih. Lama-kelamaan kata yang spesifik tersebut atau juga japa dan mantra yang telah teringat itu akan terus mengiang atau terucap dalam kita melakukan pekerjaan kita sehari-hari, bahkan di tengah-tengah kesibukan atau sedang berolah-raga misalnya. Kalau ada problem yang datang mengganggu ucapkan kata sakti tersebut, memohon Yang Maha Esa untuk melindungi kita semua, dan usahakanlah untuk menyatu denganNya selalu di mana saja dan kapan saja dan lama-kelamaan perhatikanlah efeknya. Seluruh hidup kita akan berubah menjadi lebih stabil dan tenang, dan kita jauh dari segala gejolak nafsu kita dan juga jauh faktor-faktor buruk dan negatif, secara bertahap tetapi pasti hidup akan bertambah tenang, stabil dan kesadaran akan menyusup masuk ke dalam diri kita berkat kasihNya yang tak terbatas.
Bagi sementara orang atau para pemula, bermeditasi dengan membayangkan atau memusatkan pikiran pada suatu bentuk juga sangat bermanfaat; contoh, membayangkan wajah atau figur Sang Kreshna, Rama, Shiva, Buddha untuk mereka yang beragama Hindu dan Buddha. Dan untuk mereka yang beriman Kristiani dengan membayangkan figur Tuhan Yesus, dan lain sebagainya sesuai dengan masing-masing kepercayaannya.
b. Metode Sankhya – metode dengan dasar intelektual atau ilmu pengetahuan yang mencoba atau mempelajari tentang Sang Jati Diri, sebagai sebagian dari Yang Maha Esa.
c. Karma-yoga — yaitu metode kerja atau tekad tanpa pamrih dan penuh dengan pengorbanan dan disiplin bagiNya semata. Sang karma-yogi dalam hal ini melakukan semua perbuatan, tugas dan pekerjaan duniawinya dalam bentuk dedikasinya kepada Yang Maha Esa dan tak mengharapkan apapun juga dari hasil pekerjaannya ini, yang semuanya diserahkan secara utuh dan bulat-bulat kembali kepadaNya. Hidup sang karma yogi jadi suci dan bersih karena setiap tindakan dan efeknya dipasrahkan kepada Yang Maha Esa dan ia selalu berpikir dan berkata terjadilah kehendakNya” dan ia pun menerima semua kehendakNya tanpa protes dan penuh ketenangan, walaupun yang ia terima itu dalam bentuk suka dan duka, nikmat atau penderitaan, baik atau buruk, positif atau negatif, semuanya diterima dengan kasih dan dedikasi sebagai kehendak Yang Maha Kuasa juga. Hidupnya adalah pencetusan dari kehendak Yang Maha Kuasa, dan diterimanya tanpa pamrih.
d. Metode upasna — dalam metode ini seseorang memuja Yang Maha Esa sesuai dengan yang dipelajarinya atau yang didengarkannya dari sang guru atau orang-orang lain. Cara ini dilakukan oleh para pemula. Dan lama-kelamaan mereka pun terangkat ke permukaan pemujaan mereka dan mendapatkan penerangan Ilahi. Ternyata Yang Maha Pengasih secara amat bebas membuka berbagai jalan untuk mencapaiNya, jalan atau metode apa saja yang diambil seseorang, yang penting adalah dedikasi, kesetiaan, dan kasih yang tulus kepadaNya, dan Ia akan selalu beserta kita menuntun kita ke jalanNya yang terang dan suci.
26. Benda atau makhluk apapun yang dilahirkan, oh Arjuna, baik ia bergerak maupun tidak bergerak, ketahuilah itu datang dari gabungan antara ladang dan Yang Mengetahui ladang ini.
Setiap benda atau makhluk, atau apapun saja yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di alam semesta ini tercipta karena gabungan atau kombinasi dari Kshetra (ladang) dan Kshetragna (Sang Pengenal Ladang), gabungan dari Purusha dan Prakriti, dari Sang Jiwa dan benda atau alam dan sifat-sifatnya.
27. Seseorang yang melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Suci bersemayam secara sama di setiap benda dan makhluk, Yang Maha Tak Terbinasakan dalam setiap benda atau makhluk yang dapat binasa — ia benar-benar melihat.
Yang Maha Esa bersemayam dalam setiap bentuk ciptaannya secara adil sama rata, jadi lupakanlah pendangan atau rasa yang penuh diskriminasi atau yang merendahkan martabat orang lain atau sifat melecehkan makhluk lain. Diskriminasi akan kasta atau orang-orang yang dianggap berdosa dan buruk harus dijauhi, ingat Yang Maha Kuasa hadir dalam semuanya tanpa diskriminasi! Ia hadir di setiap sisi dan sudut alam semesta ini dalam berbagai ciptaan-ciptaanNya. Jangan sekali-kali memandang tinggi kasta kita, kedudukan atau pun martabat dan kekayaan kita, apalagi kemampuan kita berbuat sesuatu, karena semua itu sebenarnya tidak berarti sama-sekali di mataNya. Yang berarti hanyalah la dan kehadiranNya di mana saja, baik yang di kecil maupun yang di besar. Siapakah kita ini sebenarnya yang hanya bisa membeda-bedakan saja, yang hanya bisa melihat baik dan buruk seseorang tanpa mau tahu akan hakikat dari kebenaran kehidupan ini. Mengetahui kehadiran Yang Maha Esa di setiap ciptaanNya berarti menghilangkan rasa takut, benci, diskriminasi, iri-hati pada sesama kita, dan sebaliknya kemudian menimbulkan kasih-sayang kepada sesama kita baik itu berupa manusia, makhluk-makhluk di alam semesta ini, pepohonan, batu-batuan dan semua unsur-unsur alam di sekeliling kita.
Ia Yang Maha Kuasa adalah Yang Tak Terbinasakan tetapi Ia hadir dalam setiap ciptaan-ciptaanNya yang tak pernah abadi, yang selalu binasa dan lahir lagi. Ini mengingatkan kita kepada dialog antara St. Catherine dari Sienna dalam komuninya dengan Yesus Kristus. la bertanya kepada Tuhan Yesus, “Siapakah daku, Tuhan? Dan beritahu daku siapakah Engkau?” Dan Yesus menjawabnya, “PutriKu, engkau adalah yang tiada dan Aku adalah yang Ada.” Yang Ada ini selalu hidup dalam yang tiada, yaitu kita semuanya ini, dan sadarlah akan sesuatu hal, mengapa Yang Ada ini mau dan bersedia tinggal dalam diri-diri kita ini, yang sering oleh kita sendiri dianggap sebagai tubuh-tubuh atau raga-raga yang penuh dengan dosa-dosa dan nafsu-nafsu iblis? Betulkah semua perkiraan kita ini? Ataukah pernah terpikir oleh kita semua, bahwa Yang Maha Esa menciptakan raga ini sebagai suatu tempat bersemayam yang sifatnya agung dan suci, kalau tidak mengapa pula Ia (Sang Atman) mau bersemayam di dalam diri setiap makhluk-makhlukNya?
Lihatlah sisi lain dari alam semesta dan ciptaan-ciptaanNya ini, bukankah semua ini adalah refleksi atau cermin dariNya semata, dari keindahanNya, dari kesucian dan keagunganNya. Dan kalau anda setuju akan konsep ini, maka bernyanyilah, memujalah, berbahagialah dalam DiriNya. la hadir dalam diri kita dan kita ada dalam DiriNya, seharusnyalah kita berorientasi kepadaNya dan jangan mempergunakan kebebasanNya secara salah dan kemudian terseret dan terjebak oleh Sang Maya. Satukan diri kita dengan alur Ilahi Yang Murni dan Suci, bergembiralah kepadaNya. Ingat kita ini adalah kuil-kuil suci tempat la bersemayam, dan seharusnya kita bertindak suci dan murni. Renungkanlah pemikiran ini. Om Tat Sat.
28. Melihat, secara benar, Tuhan Yang Sama hadir di mana pun juga, seseorang tak akan merusak Diri ini dengan dirinya, dan dengan berbuat demikian ia mencapai Tujuan Yang Suci dan Agung.
Seperti kita ketahui sekarang, maka di dalam setiap makhluk yang bernyawa hadir bentuk “diri” yang rendah dan kecil sifatnya, dan juga bentuk “Diri” Yang Agung dan Tinggi sifatNya, yaitu yang disebut Sang Atman, Yang Maha Esa itu Sendiri dalam bentuk yang bersifat sebagian dariNya juga. Menyadari hal ini, seseorang tak akan membiarkan jiwa-raganya membunuh atau mengotori dan menodai DiriNya Yang Agung dan Suci yang bersemayam di dalam jiwa-raga itu sendiri, dan kesadaran semacam ini akan menuntun kita ke arah Yang Maha Esa atau dengan kata lain ke Tujuan Yang Suci dan Agung.
29. Seseorang yang melihat bahwa semua perbuatan dilakukan oleh Prakriti (alam) dan bahwa Sang Atman itu tak bertindak – ia melihat secara benar.
Alam atau Prakritilah yang bertugas untuk bekerja, beraksi atau bertindak dan berbuat, tetapi Sang Atman tak pernah melakukan apapun juga. la hadir sebagai saksi, penuntun, pengamat, tetapi ditegaskan Sang Kreshna, Sang Atman tidak berbuat suatu tindakan apapun juga. Semua perbuatan kita terjadi akibat dari ikatan kita pada guna-guna yang berkaitan dengan Prakriti. Sang Jiwa mengikuti kita terus selama kita mengembara di dunia fana ini sebagai saksi, penuntun dan pengamat kita dan dengan kasihNya melepaskan kita dari ikatan Prakriti ini yang diakibatkan oleh ulah kita sendiri yang terlalu bebas untuk ‘bermain’ dengan Sang Maya.
30. Bila seseorang menyadari bahwa berbagai bentuk kehidupan ini berakar pada Yang Esa dan terpancar (tersebar) keluar dari Yang Maha Esa, maka ia mencapai Brahman.
Menyadari seluruh alam semesta ini berasal dariNya secara sejati, apapun bentuk atau manifestasinya, maka seseorang yang benar-benar sadar secara sejati dan menghayati kesadarannya itu dalam kehidupannya sehari-hari langsung juga akan segera menyadari akan hakikat Yang Maha Esa. Melihat atau menyadari Yang Maha Esa adalah mencapaiNya.
31. Sang Atman Yang Tak Terbinasakan, Yang Agung dan Suci ini, oh Arjuna, tak bermula dan tanpa guna (sifat-sifat Prakriti). Dan walaupun la bersemayam di dalam raga, tetapi la tak bertindak atau pun terpengaruh oleh tindakan (raga ini).
Sang Paratman, Yang bersemayam secara Agung dan Suci dalam diri kita ini, dikatakan oleh Sang Kreshna sebagai tak bermula, dan tanpa sifat-sifat Prakriti. Walaupun Ia selalu hadir, Ia tidak bertindak sedikit pun, dan walaupun Ia hadir di dalam raga kita Ia juga tak tercemar oleh tindakan-tindakan kita yang buruk dan negatif, begitupun Ia tak tersentuh oleh perbuatan-perbuatan kita yang baik dan positif. Ia tak terpengaruh sedikit pun oleh kita, sebaliknya makin kotor perbuatan kita maka makin jauhlah kita ini dariNya, dan makin positif tindakan kita, maka makin teranglah Ia hadir ke hadapan kita. Maka ibaratkanlah diri kita sebagai cermin yang bersih, agar refleksi atau bayanganNya tersingkap atau jatuh secara jelas di raga kita ini. Renungkan ini dengan seksama. Ia jauh kalau kita jauh, Ia dekat kalau kita dekat. Padahal sebenarnya Ia selalu dekat di dalam diri kita.
32. Bagaikan ether, walau hadir di mana pun juga, tak pernah ternoda, karena bentuknya yang lembut (tak terlihat), begitu pun Sang Atman, walau hadir di raga mana pun, (la) lepas dari segala noda-noda.
Bagaikan ether yang terdapat di seluruh alam semesta ini dan menjadi penunjang hidup kita yang amat vital, tetapi tak pernah terlihat oleh mata kita karena sifat-sifat alaminya yang demikian lembut, maka begitu juga Sang Atman Yang Mana Hadir di mana saja dan kapan saja dalam setiap ciptaan-ciptaanNya tak pernah nampak oleh mata duniawi kita karena kebodohan dan kekurangan-pengetahuan kita, maka singkapkanlah semua kebodohan kita ini agar dapat kita mengenalnya lebih terang lagi, dan masuk menyatu kedalamNya. Om Tat Sat.
33. Bagaikan satu mentari yang menyinari seluruh dunia ini, maka begitu juga Penguasa dari ladang ini menyinari seluruh ladang ini, oh Arjuna!
Perumpamaan satu mentari dengan Sang Atman Yang Juga Eka (satu) sifatnya adalah suatu perumpamaan yang menarik, karena Sang Surya walaupun hanya satu yang terlihat dari bumi ini (dunia ini), ternyata mampu menyinari seluruh bumi kita bahkan juga rembulan dan spasi-spasi diantara bumi dan bulan dan juga sekitarnya. Sang Surya dari kejauhan nampak kecil dan amat terang-benderang, tetapi sebenarnya ia amat jauh letaknya dari bumi kita ini. Begitupun Sang Atman, la dekat tapi jauh, la jauh tetapi dekat, bahkan sangat dekat dan menerangi kita semua. Dan seperti juga Sang Surya yang menerangi kita tetapi tak tercemar oleh perbuatan kita, maka Sang Atman pun tak pernah tercemar atau ternoda oleh perbuatan-perbuatan kita yang buruk atau terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan yang baik.
Suatu saat, Sokrates, seorang filsuf terkenal dari Yunani di masa lalu, pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang ‘kebaikan,’ yang selalu diajarkan Sokrates kepada murid-muridnya, dan Sokrates menunjuk kepada matahari sebagai suatu contoh dari ‘kebaikan’ yang selalu hadir dari masa ke masa, dari waktu ke waktu, tetapi tak pernah tercemar oleh bumi dan manusia. Mungkin pemikiran atau ajaran Sokrates ini pun baik untuk kita renungkan untuk lebih menghayati akan kebesaran dan kehadiran Sang Atman dalam diri kita. Sang Surya selalu bersinar tanpa bosan-bosannya demi alam yang harus ditunjangnya. Bukankah Yang Maha Esa itu Sendiri bersifat atau berkarakter demikian juga, selalu mengasihi tanpa bosan-bosannya dan tanpa henti-hentinya kepada kita semuanya, walaupun sering sekali kita tersesat dalam perjalanan hidup kita ini. Tetapi Ia Maha Penunjang dan Penuntun kita semuanya. Om Tat Sat.
34. Mereka yang melihat perbedaan antara ladang dan Sang Pengenal Ladang ini, dengan mata kebijaksanaan, dan yang sadar bagaimana makhluk-makhluk maupun benda-benda dapat lepas dari Prakriti – bebas dari bentuk alam – mereka benar-benar pergi ke Yang Maha Agung dan Suci.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ketiga-belas ini disebut:
Kshetra Kshetragna Vibhaga Yoga Atau Ilmu Pengetahuan tentang Perbedaan antara Ladang dan Sang Pengenal Ladang.

Bab 14 – Penguasaan Atas Ketiga Sifat
Bersabdalah yang maha pengasih
1.Sekali lagi akan Ku sabdakan kepadamu kebijaksanaan Yang Suci dan Agung –kebijaksanaan yang terbaik dari semua kebijaksanaan- mengetahui hal mana, para resi kemudian menuju kearah kesempurnaan yang paling tinggi.
2.Berlindung pada kebijaksanaan ini, mereka lalu bersifat sama dengan Ku. Mereka tidak lahir pada waktu penciptaan dan tidak binasa pada waktu penghancuran (kiamat).
Sang Kreshna di Bab ini menguraikan mengenai pengetahuan tentang ketiga guna (sifat-sifat alami), kemudian hubungan guna ini dengan prakriti dan penguasaan atas guna ini oleh para resi dan orang-orang suci di zaman dahulu kala. Dengan menguasai ketiga guna ini maka akan tercapailah kebijaksanaan yang agung dan suci dari hidup ini. Dan dengan mencapai kebijaksanaan ini para resi dan orang-orang suci itu telah mencapai kesempurnaan yang agung dan suci yang disebut nirvana atau pari-nirvana.
Berlindung dibawah kebijaksanaan ini para orang-orang suci ini lalu diberkahi oleh yang maha esa sifat-sifat identik dari diri Sang Kreshna dan merekapun lalu tumbuh dan hidup dalam bentuk Sang Kreshna yang suci dan agung. Inilah hasil mengikuti dengan setia dan penuh dedikasi ajaran-ajaran Sang Kreshna. Dengan kata lain mereka ini, para orang-orang suci, berasimilasi dengan sari atau inti Sang Kreshna itu sendiri; atau dengan bahasa singkat dan sederhana, menyatu dengan Sang Kreshna.
Dan sekali bersatu denganNya, mereka ini lepas dari kehidupan duniawi ini, lepas juga mereka ini dari siklus lahir dan mati yang berulang-ulang, bahkan penciptaan dan penghancuran kehidupan-kehidupan berikutnyapun mereka tidak diikut sertakan lagi karena dianggap Yang maha Esa mereka ini telah mencapai status pari-nirvana, yaitu menyatu denganNya kembali secara abadi. Om Tat Sat.
3.KandunganKu adalah Sang Brahma yang agung; dan disitu aku letalkan benih ini, dari kandungan ini lahirlah setiap benda dan mahluk, Oh Arjuna.
4.Dalam setiap kandungan apapun juga, lahir berbagai bentuk kehidupan, Oh Arjuna, dan Sang Brahma Agung adalah kandungan mereka ini, dan Aku adalah Sang Ayah yang menabur benih-benih ini.
Yang dimaksud dengan Sang Brahma Agung di sini adalah mahad-brahma, yaitu Sang Maya yang juga diibaratkan atau disamakan dengan kandungan di mana Sang Kreshna sebagi seorang Ayah menaburkan benih-benihNya, yang kemudian tumbuh menjadi berbagai bentuk ciptaan-ciptaanNya.
Mahad-Brahma atau Sang Brahma yang agung ini juga sama dengan Prakriti atau alam ini, dan Sang Kreshna adalah Ayah atau Bapak dari setiap benih yang ditaburkanNya. Jadi hanya Ia yang dapat menentukan lahirnya seseorang atau makhluk atau benda di alam semesta ini dan ingat di dalam setiap ciptaanNya terdapat Sang Jiwa atau juga benih kehidupan yang bersal dariNYa. Dan menurut Bhagawat Gita, maka benih yang ditaburkan ini berasal dari Sang Kreshna, Yang Maha Esa, jadi dengan kata lain dalam setiap ciptaanNya hadir sebagian dari Yang Maha Esa, atau Yang Maha Esa itu sendiri ada di dalam setiap Ciptaan-ciptaanNya Sendiri. Sayang sekali, kita manusia sering sekali lupa bahwa kita berasal dari benih Yang Agung dan Suci, dan kita lebih suka tenggelam dalam alur kehidupan duniawi ini, dalam kandungan Sang Maya itu sendiri. Padahal Sang Maya atau Prakriti ini hanyalah alat yang mengandung kita dan menumbuhkan kita agar kita tumbuh dan lahir untuk kembali kepadaNya lagi. Bukanlah itu maksud dan tujuan Yang Maha Esa, tetapi kita diberikan kebebasan untuk memilih maka kebanyakan kita memilih untuk terus tinggal di dalam kandungan Sang Maya yang penuh ilusi kenikmatan, padahal itu semua berada di dalam kegelapan. Pikirkanlah dengan seksama, bukankah kita semua harus kemnbali dan berbakti pada Ayah kita Yang Agung dan Suci dan menyatu kembali denganNya? Pikirkanlah secara seksama dan menurut hati-nurani anada mana yang benar dan mana yang salah? Dengan kasih Sang Ayah yang suci dan Agung ini pasti kita akan dituntun kembali kepadaNya. Om Tat Sat.
5. Ketiga kualitas (guna), yaitu sattva, raja dan tama lahir dari Prakriti. Mereka ini mengikat erat di dalam raga, Oh Arjuna, Yang Tak Terbinasakan yang bersemayam di dalam raga.
Ketiga guna atau kualitas alami ini yang lahir dari Prakriti dan merupakan sifat-sifat dominan dari Sang Prakriti itu sendiri, selalu hadir dalam diri kita. Setiap tindakan kita sebenarnya didasarkan pada ketiga sifat Prakriti ini, dan ketiga sifat ini sedemikian dominannya di dalam raga kita sehingga diibaratkan mengikat Sang Atman (Yang Tak Terbinasakan) yang bersemayam di dalam diri kita. Ikatan erat ini begitu gelap sifatnya, sehingga kita yang sudah mabuk duniawi ini tidak dapat melihat Sang Atman yang sebenarnya hadir bercahaya terang di dalam diri kita sendiri.
6. Diantara sifat-sifat ini, sattva, karena kesuciannya, membawa penerangan dan kesehatan. Sifat ini mengikat dengan ikatan kebahagiaan dan ikatan ilmu pengetahuan, oh Arjuna.
Apakah sattva itu? Sattva adalah sifat-sifat kesucian atau kemurnian atau penerangan. Tetapi walaupun disebut kemurnian toh sifat ini dapat mengikat jiwa kita ke raga dan menimbulkan keterikatan. Sifat sattva membuat kita selalu berorientasi pada tindakan-tindakan yang baik dan pencarian ilmu pengetahuan yang benar. Tetapi sering sekali sattva pun mengarahkan kita kepada keterikatan-keterikatan dalam bentuk ilmu pengetahuan ini sehingga terikatlah seseorang pada pikiran-pikiran, analisis dan metode-metode dan lain sebagainya, dan semua ini menjadi tujuan ilmu pengetahuan mereka yang mempelajarinya, bukan jalan untuk mengenalNya, Yang Maha Pencipta. Semua ini membuat seseorang yang bersifat Sattva terikat pada pekerjaan dan kebaikan-kebaikannya, tetapi tidak membuat orang-orang ini berorientasi kepada Yang Maha Esa secara murni, padahal sifat dasar mereka ini sattvik.
Di dunia barat misalnya banyak terdapat ilmuwan yang bersifat sattvik, tetapi tujuan mereka hanya terpusat pada ilmu pengetahuan itu dan pemecahannyasecara ilmiah saja, mereka sama sekali tidak berpikir tentang Yang Maha Esa, Sang Pencipta ilmu-ilmu ini. Sebaliknya di timur, Yang Maha Esa masih manjadi tujuan atau akhir dari semua ilmu pengetahuan ini, sehingga tidak mengherankan kalau pada abad modern dewasa ini masih banyak orang yang dianggap pandai atau terpandang melepaskan jabatan mereka dan terjun ke dunia spiritual dan melepaskan semua ikatan-ikatan dan unsur-unsur duniawi mereka untuk mencari penerangan ilahi. Mereka ini benar-benar jalan dengan sifat-sifat sattva dan mengarahkan sifat-sifat suci ini untuk tujuan yang mulia dan tak mau terikat oleh sifat-sifat ini. Dengan kata lain, sifat-sifat sattva ini hanyalah alat-alat belaka bagi orang-orang suci ini.
7. Ketahuilah olehmu, oh Arjuna, bahwa sifat raja, yang berciri emosional ini adalah sumber dari keterikatan dan rasa tak puas. Dan sifat raja ini mengikat jiwa yang ada di dalam raga dengan keterikatan-keterikatan aksi atau perbuatan.
Sifat-sifat raja adalah energi, mobilitas, emosi dan raja juga berati keinginan atau kehausan untuk hidup. Dengan kata lain, sifat raja dapat diartikan energi yang penuh dengan keinginan dan nafsu-nafsu yang tak terpuaskan. Sifat ini adalah anak dari nafsu-nafsu yang kuat dan juga dari keterikatan itu sendiri. Raja mengikat kita, mengikat jiwa kita erat-erat ke Sang Prakriti melalui aktivitas dan aksi.
Di kala seseorang penuh dengan keserakahan atau penuh dengan kegelisahan eksternal yang dikarenakan aktivitas-aktivitasnya, maka dapat dipastikan sifat-sifat raja sedang berkuasa atas diri orang itu. Seseorang yang amat aktif, ambisius dan penuh semangat kerja atau daya juang yang tinggi untuk kebutuhan-kebutuhan duniawinya juga menunjukan sifat-sifat raja yang sedang dominan dalam dirinya.
Seseorang yang bersifat raja atau rajasik ini bekerja keras bagi dirinya sendiri, bukan untuk Sang Kreshna atau Yang Maha Esa. Ia ingin selalu berkuasa atau berpengaruh atas orang-orang disekitarnya. Seorang dengan sifat raja ini penuh dengan aksi, inisiatif, ambisi pribadi yang tinggi dan penuh dengan keresahan. Sebaiknya jika ia ingin keluar dari lingkaran raja ini, maka cara terbaik adalah bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat demi Sang Kreshna atau Yang Maha Esa semata tanpa pamrih. Tetap bekerja apa saja sesuai dengan profesi dan kewajibannya, tetapi demi Yang Maha Esa, pekerjaannya kemudian dengan cara ini akan berubah menjadi yagna.
8. Tetapi sifat tama (kegelapan total yang penuh kekacauan) ketahuilah olehmu, lahir dari kebodohan dan adalah sifat yang memperbodoh jiwa. Sifat ini mengikat dengan ketidakperdulian, kemalasan dan tidur, oh Arjuna.
Sifat-sifat tama bukanlah bersifat energi atau penerangan, atau aktivitas atau kesucian. Sebaliknya adalah sifat-sifat kemalasan, ilusi kosong dan kebodohan yang berkepanjangan sifatnya. Sifat ini mengikat jiwa seseorang dengan kebodohan, kemalasan, dengan ketidak-acuhan terhadap setiap hal yang positif. Dengan kata lain di mana terlihat kegelapan total dalam diri seseorang maka sudah pasti sifat tama sedang berkuasa.
Seseorang yang bersifat tama hidup tak ubahnya seperti binatang saja. Ia makan, tidur, minum dan memenuhi hasrat-hasrat raganya saja dari saat ke saat. Tidak ada idealisme atau cita-cita dalam dirinya. Ia malas, bodoh, tak perduli dan selalu tak acuh pada hal-hal yang bersifat baik. Tetapi sifat tama ini juga bisa didobrak dan seseorang yang terjerat dalam lingkaran kebodohan ini dapat keluar juga. Caranya adalah dengan berdharma bakti kepadaNya semata, meminta perlindunganNya semata dan bekerja tanpa pamrih untuk Yang maha Esa. Sang Bayu (angin) tidak saja merambah dan bertiup diantara dedaunan pohon-pohon yang besar dan tinggi saja, tetapi Sang bayu juga bertiup diantara rerumputan liar dan kecil yang berada di bawah pohon-pohon besar ini. Yang penting adalah kemauan kita sendiri untuk merasakan tiupan ini, merasakan kehadiranNya diantara kita semuanya dan mau mengikuti ajaran-ajaranNya.
9. Sattva mengikat (seseorang) kepada kebahagiaan, raja mengikat kepada aksi, oh Arjuna. Dan sifat tama membungkus kebijaksanaan, mengikat seseorang kepada ketidak-perdulian.
10. Sewaktu sattva berada diatas raja dan tama, maka berkuasalah sattva, oh Arjuna! Di kala raja berada diatas sattva dan tama, maka berkuasalah raja. Dan di kala tama berada diatas sattva dan raja, maka berkuasalah tama.
11. Di kala sinar kebijaksanaan mengalir keluar dari semua gerbang sang raga, maka ketahuilah bahwa sattvalah yang berkuasa, oh Arjuna!
12. Di kala keserakahan, aktivitas eksternal, ambisi untuk bekerja, keresahan, nafsu-nafsu iri terlihat jelas, ketahuilah bahwa rajalah yang berkuasa, oh Arjuna!
13. Di kala kegelapan, non-aksi ketidakperdulian dan kegelapan terlihat jelas, ketahuilah bahwa tamalah yang berkuasa, oh Arjuna!
14. Kalau seseorang meninggal dunia di kala sattva berkuasa didalamnya, maka ia akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda di mana tinggal mereka yang mengenal Yang maha Tinggi.
Seorang sattvik, setelah meninggal dunia maka jiwanya akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda oleh dosa-dosa dan kebodohan. Tetapi ia masih harus bekerja keras untuk mencapai Yang Maha Esa. Karena setelah habis karmanya di tempat-tempat ini (Devachana), ia harus kembali lagi ke dunia ini, tetapi ia akan lahir di tengah-tengah keluarga pencinta Yang Maha Esa, dan jalan ke arahNya akan makin lembut saja sesudah itu.
15. Meninggal dunia sewaktu sifat raja masih berkuasa, maka orang itu akan lahir diantara orang-orang yang terikat pada aksi; dan sekiranya seseorang meninggal dunia sewaktu sifat tama masih berkuasa maka ia akan lahir di dalam kandungan-kandungan yang tak berindra.
Yang tak berindra disini mungkin dimaksudkan dengan ciptaan Yang Maha Kuasa seperti pepohonan, tumbuh-tumbuhan atau juga jenis makhluk-makhluk lainnya yang tak memiliki ratio dan intelektual.
16. Hasil dari perbuatan sattvik disebut harmonis dan suci, hasil dari sifat raja disebut penderitaan dan hasil dari sifat tama adalah kedunguan dan kebodohan.
Setiap pekerjaan maupun tindakan yang dibuat dalam pengaruh sattva akan lepas dari noda-noda dan dosa-dosa. Sedangkan setiap pekerjaan dibawah pengaruh sifat raja akan menghasilkan dhuka, yaitu efek yang penuh dengan penderitaan. Dan setiap tindakan atau perbuatan di bawah pengaruh tama akan membuahkan yang lebih buruk dari penderitaan, yaitu kebodohan atau kedunguan (agnana), yang berarti menjadi lebih jauh lagi dari Yang Maha Esa.
17. Dari sattva lahirlah ilmu pengetahuan, dari raja lahir keserakahan, dan dari tama lahir sifat acuh tak acuh, kemalasan dan agnana (kebodohan).
18. Mereka yang telah tegar dalam sattva menanjak ke atas; mereka yang dalam raja berdiam di tempat yang paling tengah; dan mereka yang bersifat tama pergi kebawah terikat pada sifat-sifat paling rendah.
19. Bila seseorang yang melihat, menyadari bahwa tidak ada unsur yang lain selain ketiga guna ini dan mengenal Ia yang hadir di atas ketiga guna ini, ia akan masuk ke dalam diriku.
20. Bila seseorang (jiwa yang terbungkus oleh raga ini) telah melampaui ketiga guna ini –di mana semua bentuk raga diproduksi—maka ia benar-benar lepas dari kelahiran dan kematian, dari usia tua dan penderitaan, ia lalu meneguk air kehidupan yang abadi (tak dapat binasa lagi).
Di sloka-sloka di atas ini tersirat pesan Sang Krishna bagi Arjuna dan kita semuanya, yaitu kuasailah ketiga sifat ini, dan jadilah seorang yang sadar atau yang dapat melihat dengan jelas dan benar. Seorang yang melihat atau sadar ini melihat (a) bahwa keterbatasan dari semua unsur duniawi ini dapat dicapai jika seseorang benar-benar sadar bahwa hanya ketiga sifat guna itu sajalah yang sebenarnya bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat dan bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita bahkan bukan raga kita juga, dan (b) bahwa ada Ia yang lepas dari semua unsur–unsur Prakriti ini, Yang Maha Suci dan Agung. Ia lebih tinggi sifatNya dari ketiga guna ini yang sebenarnya lahir dari Prakriti, dan dari ketiga guna ini lahirlah bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam, raga-raga kita dan juga makhluk-makhluk lainnya yang tak terbilang banyak jumlah dan ragamnya.
Orang-orang yang bijaksana yang telah menyeberangi ketiga guna ini malahan dapat mengendalikan sifat-sifat ini pada diri mereka, karena mereka telah sadar bahwa sifat-sifat inilah penyebab semua tindakan dan perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sedangkan Sang Atman hanya bertindak sebagai saksi saja di dalam raga kita masing-masing. Mereka ini oleh Sang Kreshna diibaratkan sebagai yang telah meminum air keabadian dan tak perlu lagi menjalani kehidupan dan kematian lagi. Mereka telah bersatu di dalamNya secara abadi.
Berkatalah Arjuna:
21. Apakah ciri-ciri dari seseorang yang telah melampaui ketiga guna ini? Bagaimana cara hidupnya? Dan bagaimana caranya ia melampaui ketiga guna ini?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
22. Seseorang yang tidak menghindar (atau menolak) cahaya (pengetahuan) atau aktivitas atau kebodohan di kala faktor-faktor ini timbul, dan tidak mengharapkan faktor-faktor ini di kala tidak hadir.
23. Seseorang yang duduk tanpa khawatir tak terusik oleh guna, terpisah, tanpa goyah, dan mengetahui bahwa hanya guna-guna ini yang bertindak.
24. Seseorang yang merasakan kenikmatan dan penderitaan adalah serupa, yang terpusat pada Sang Atman, dan baginya tanah liat atau batu ataupun emas adalah satu, yang sama kepada yang dicintainya dan yang tidak dicintainya, yang jalan pikirannya tak goyah, yang bersikap sama di kala terhina dan dalam kemasyuran.
25. Yang memandang sama rata akan rasa dihormati dan tidak dihormati, dan yang bersikap sama terhadap sahabat dan musuhnya, yang telah melepaskan semua ambisi—orang ini disebut telah melewati semua guna-guna ini.
Seseorang yang telah melewati, melampaui atau mengatsi ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) akan berubah cara hidup dan cara berpikirnya. Ia akan menjadi ibarat seorang tuan atau majikan yang sudah dapat menguasai atau memperalat sifat-sifat alam ini, dan tanda-tanda atau ciri-ciri orang ini adalah:
a. Ia bersikap sama saja kepada ketiga sifat-sifat atau kualitas Prakriti ini di kala sifat-sifat ini hadir dan sedang beraksi baik dalam dirinya maupun dalam diri orang lain, karena ia sadar bahwa setiap sifat ini mempunyai evolusi atau naik turunnya sendiri.
b. Ia tak terganggu atau terusik oleh efek atau hasil atau karma dari setiap tindakan, apakah itu tindakan baik maupun tindakan buruk. Ia sadar bahwa setiap perbuatan atau aktivitas adalah milik guna-guna ini, milik dan merupakan alat permainan sang Prakriti. Baginya alam dan sifat-sifatnya selalu sedang bekerja dan ia sendiri sedang duduk di tengah-tengahnya, merasa tak asing tetapi juga tak khawatir. Tak dapat ia digoyahkan dari jalan pikirannya ini oleh sifat-sifat Prakriti. ”Hanya sifat-sifat ini saja bergerak” katanya, dan ”semua objek adalah benda-benda mainan yang dipermainkan oleh guna-guna ini”. Ia merasakan dirinya sebagai musafir yang sedang melakukan perjalanan atau pekerjaannya saja di dunia ini, ibarat mimpi yang tak dapat mengganggu mereka yang tidak tidur, maka guna atau sifat-sifat inipun tidak dapat mengganggu sang musafir ini, yang tenang dengan tugas atau perjalanannya kearah Yang Maha Esa.
c. Baginya setiap benda, makhluk dan kejadian adalah hal yang sama atau satu sifatnya. Ia Bersikap selalu sama rata terhadap hal-hal, kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman yang berlawanan seperti suka-duka, panas-dingin, teman-musuh, penghormatan penghinaan, cinta-benci dan lain sebagainya. Emas atau tanah liat baginya sama saja nilainya, sama-sama ciptaan Yang Maha Esa yang tak ada bedanya dan mempunyai fungsi masing-masing di dunia ini, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah.
d. Ia tidak berambisi lagi dengan tujuan-tujuan tertentu dalam melakukan pekerjaannya. Baginya setiap aksi, perbuatan, tindakan dan pekerjaan adalah dharma baktinya kepada Yang Maha Esa, yang tidak diiringi oleh pamrih sama sekali. Baginya pekerjaan apapun sama saja kadar atau sifatnya, tidak ada yang lebih agung dan tidak ada yang lebih hina, apapun jenis pekerjaan itu harus didedikasikan secara tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa semata.
26. Seseorang yang mengabdi kepadaKu dengan dedikasi yang tanpa pamrih, melampaui semua sifat-sifat alami ini dan bersatu dengan Sang Brahman.
Apakah caranya agar seseorang dapat melampaui ketiga guna ini dan bersatu dengan Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi. Caranya: (a) pengabdian yang terus-menerus tanpa henti dan tanpa pamrih, dan (b) mengabdi kepadaNya dengan cinta kasih yang tulus. Dalam cinta kasih terhadapNya yang tulus ini dan tanpa henti ini maka secara lambat laun ia akan menyatu dengan yang dikasihiNya, dan ia sendiri berubah menjadi nol untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi Satu dengan Yang Maha Esa. Ini disebut Atma-Svarupa, yaitu menyatu dengan Sang Kreshna dan bersatu dengan Yang Maha Esa. Om Tat Sat.
27. Karena Akulah tempat bersemayam Sang Brahman, Air Kehidupan Abadi yang tak ada habis-habisnya. Akulah fondasi dari kebenaran yang abadi dan sumber dari keberkahan yang tak ada akhirnya.
Mengasihi atau mencintai Sang Kreshna adalah upaya untuk menyatu dengan Sang Brahman, karena Sang Kreshna dan Sang Brahman adalah Satu. Kreshna itu Brahman, dan Brahman itu Kreshna. Sang Kreshna adalah sumber dari (a) keabadian dan (b) Hukum Dharma (Hukum Kebenaran) yang abadi dan (c) berkah yang tak ada duanya dan tak kunjung berakhir—keberkahan yang absolut. Sekali lagi Sang Kreshna menegaskan bahwa Ia lah Sang Brahman yang menitis menjadi Kreshna (manusia utama) karena kasihNya kepada para pemujaNya. Sang Kreshna adalah manifestasi dari Sang Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Agung dan Suci. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, karya sastra yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah yang keempat-belas dan disebut:
Guna Traya Vibhaga Yoga atau Yoga mengenai Perbedaan Ketiga Sifat Alam.

Bab 15 – Pohon Dunia
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Dengan akar-akarnya yang tumbuh ke atas dan cabang-cabangnya yang menurun, Ashvattha (pohon beringin yang abadi) ini dikatakan sebagai yang tak dapat dihancurkan. Dedaunannya adalah mantra-mantra Veda. Seseorang yang kenal akan pohon ini, kenal akan Veda-Veda.
Di sini Sang Kreshna menerangkan atau menggambarkan Prakriti (kosmos, alam semesta, atau dunia) sebagai pohon beringin yang abadi, yaitu Ashvattha. Kata Asvattha berarti ‘tidak stabil’ atau ‘selalu bergoyah.’ Pohon ini dipercaya oleh orang-orang Hindu sebagai sebuah pohon beringin yang mempunyai akar-akar yang tumbuh ke atas, dan cabang-cabangnya tumbuh ke bawah. Sebenarnya bukahkah dunia ini sama saja ibarat pohon beringin ini, yang abadi tetapi selalu tak pernah stabil, karena ia lahir dari Sang Maya. Akar-akar pohon ini tumbuh ke atas, ini diartikan terpusat kepada Yang Maha Esa. Jadi dunia atau alam kosmos atau Prakriti atau Sang Maya adalah ibarat pohon beringin yang tak stabil ini, yang sebenarnya terpusat atau berakar pada Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi dan Stabil. Yang Maha Abadi inilah sebenarnya Unsur Yang Abadi dan Stabil dan bukan alam semesta dengan segala efek-efeknya. Tetapi hanya manusia yang penuh dengan vairagya (lepas dari keterikatan duniawi) saja yang dapat melihat ‘pohon-dunia’ ini di dalam Yang Maha Esa dan sadar bahwa dunia ini sebenarnya berakar atau terpusat pada Yang Maha Pencipta dan Abadi.
Akar-akar pohon ini adalah Sang Maya, pohon beringin adalah Prakriti atau alam kosmos ini, dan tempat akar pohon ini berasal adalah Yang Maha Esa. Daun-daun dari pohon ini adalah mantra-mantra Veda-Veda. Dedaunan yang rindang ini diartikan sebagai ilmu pengetahuan sejati atau kasih Yang Maha Esa yang memberikan naungan atau keteduhan kepada mereka-mereka yang ingin berlindung dibawah pohon beringin yang rindang ini. Dengan kata lain dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita semua dapat mencari keteduhan dan perlindungan dengan mempelajari mantra-mantra atau ajaran-ajaran Veda, ajaran atau pikiran-pikiran agung para resi dan orang-orang suci pada masa-masa yang telah lama silam, ajaran-ajaran ini tercakup dalam Veda-Veda dan kitab-kitab suci lainnya.
2. Ke bawah dan ke atas tersebar cabang-cabang pohon ini. Pohon ini mendapatkan sarinya dari guna-guna. Obyek-obyek indra adalah putik-putiknya. Menurun ke bawah, tumbuh lagi akar-akarnya yang lain, akar-akar ini menjadi pengikat setiap tindakan di dunia manusia ini.
Pohon ini mempunyai banyak cabang yang tumbuh ke atas dan juga tumbuh ke bawah. Cabang-cabang ini diartikan sebagai jiwa-jiwa Cabang-cabang yang mencuat ke atas adalah para dewa, yang ke bawah adalah manusia, fauna, flora, reptil, serangga, dsb. Semua cabang-cabang ini mendapatkan hidupnya dari sari atau makanan, dan makanan ini adalah air, udara, dan lain sebagainya. Yang disebut sari atau makanan ini adalah ketiga guna (sifat-sifat alam dari Prakriti). Sayang sekali kita manusia sering sekali atau setiap kali lebih tertarik akan sari atau makanan pohon kehidupan ini dan tidak sadar akan fungsi akar-akar yang ke atas yang terpusat pada Sang Pencipta. Kita lebih tertarik atau terikat pada guna, padahal itu hanyalah makanan atau penunjang dari cabang-cabang dari pohon kehidupan ini. Subyek utamanya malahan terlepas dari perhatian kita, karena enak dan nikmatnya makanan ini. Sang Pohon ini juga memiliki putik-putik bunga dan ini diartikan sebagai obyek-obyek luar atau eksternal (vishaya). Pohon beringin kehidupan ini juga mempunyai bentuk akar-akar yang lain yang menjuntai ke bawah. Akar-akar ini menurun dan mengikat pohon ini ke tanah. Akar-akar yang ke bawah ini diartikan sebagai vasana, trishna, raga-dvesha, semuanya ini adalah keinginan-keinginan dan nafsu-nafsu duniawi dan badani, yang mengikat pohon atau kehidupan ini pada karma (aksi) dan hukum-karmanya, mengikat kita semua pada kelahiran dan kematian yang tak ada henti-hentinya. Akar-akar yang tersembunyi di dalam tanah ini (vasana) mengikat manusia dunia ini ke dalam lingkaran-lingkarannya yang tak ada putus-putusnya.
3. Di sini tak dapat dibedakan bentuk asli Pohon ini, juga tidak akhir, asal, dan dasarnya. Tertancap kuat pohon Ashvattha ini. Tebaslah pohon ini sampai tumbang dengan senjata tak-keterikatan.
4. Dengan begitu dikau akan meniti jalan ke mana tak ada jalan kembali, dan dengan begitu dikau akan mencapai Yang Maha Utama Yang dariNya terpancar keluar Proses Kosmos ini (energi yang telah ada semenjak masa yang amat silam).
Sayang manusia tidak melihat atau menyadari Pohon ini secara keseluruhannya, dan tak mengerti akan kepentingan pohon ini. Manusia lebih terserap kepada daun-daunnya, pada buah-buah dan putik-putiknya, dengan kata lain manusia terjebak pada rasa manis dan kenikmatan yang dikeluarkan pohon ini dan langsung terjebak di dalamnya, dalam ilusi duniawi. Pohon ini sendiri tampaknya tidak bermula dan tak ada akhirnya; siapa pula yang akan pernah tahu akan asal-mulanya dan akhirnya? Bukankah Pohon ini berasal dari Sang Maya? Tetapi Sang Maya ada asal dan akhirnya, yaitu Yang Maha Pencipta. Sedangkan Sang Maya atau pohon Kehidupan ini sebenarnya hanyalah pantulan atau ilusi. Dan selama kita sibuk berkelana di hamparan luasnya pohon kehidupan ini, selama itu juga kita akan sesat di dalamnya tanpa jalan keluar karena begitu luas dan banyaknya jalan-jalan yang salah di dalamnya seakan-akan tanpa akhir. Maka di situ-situ juga kita akan berkelana tanpa pernah tahu akan hal-hal yang berada di luar itu, yaitu Sang Empunya pohon ini. Jalan satu-satunya untuk keluar dari pohon ini adalah menebasnya sama-sekali dan jalan atau metode ke arah penebasan ini adalah dengan menebas rasa keterikatan duniawi kita secara total dan pasrahkan hasilnya kepada Sang Kreshna, kepada Yang Maha Esa, dan la akan menyelamatkan kita semua dan menyatukan yang menebas pohon kehidupan ini, denganNya. Jalan ketidakterikatan duniawi ini berulang-ulang ditekankan dalam Bhagavat Gita karena inilah faktor yang amat vital untuk menyadari atau menyingkapkan kebodohan kita, agar terbuka ilmu pengetahuan yang sejati, ilmu tentang arti dan hakikat dari kehidupan ini yang sebenarnya, agar tercapailah kesatuan antara kita denganNya, yang menjadi tujuan utama mengapa kita dilahirkan sebagai manusia yang berakal-budi, tidak seperti ciptaan-ciptaan yang lainnya yang berbentuk fauna, flora dan benda-benda tak bergerak. “Seseorang yang dirinya tak terikat pada obyek-obyek luar, mendapatkan kebahagiaan yang ada di dalam dirinya sendiri,” kata Bhagavat Gita, dan lagi, “Seseorang yang telah melepaskan semua keinginan, dan hidup bebas dari keterikatan, mendapatkan ketenangan.”
Kebebasan dari keterikatan adalah penting dan perlu dihayati bagi seseorang yang ingin kenal dengan Yang Maha Esa, karena ini sudah merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan kebebasan dari keterikatan ini harus dilaksanakan secara sadar dan tulus dan tidak dapat dibuat-buat. Sang Jiwa di dalam raga kita harus disadarkan dari ilusinya dan sang jiwa ini (bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam jiwa ini!) harus melepaskan keterikatannya akan uang, harta-benda, berbagai miliknya seperti rumah, keluarga, negara, posisi, kedudukan, kemasyhuran dan sebagainya. Bukan berarti semua ini harus diabaikan atau ditinggalkan tanpa tanggung-jawab, tetapi rasa memiliki semua itu harus ditanggalkan, dan orang ini harus hidup secara amat sederhana saja, dengan merasa semua itu hanyalah titipan atau ilusi yang dapat datang dan pergi setiap saat. Bukankah agama-agama besar lainnya juga menyiratkan hal yang sama, bahwa harta-benda duniawi ini sebenarnya hanyalah pengikat jiwa kita ke dunia ini, dan selama jiwa kita terikat pada dunia ini, bagaimana mungkin sang jiwa membersihkan dirinya agar menjadi suci dan bersih dan mengenal Tujuannya Yang Sejati?
Jadi usahakanlah semaksimal mungkin untuk tidak terikat kepada dunia atau pohon kehidupan ini, bekerjalah demi dharma-bhakti kita kepadaNya semata. Hidup dan bekerjalah demi Ia semata dengan motto atau semboyan, “Aku ini sebenarnya tak memiliki apa-apa, dan aku ini sebenarnya bukan apa-apa.” Dengan menjadikan diri kita nol-besar dan tak memiliki apapun juga di dunia ini, maka akan turunlah Berkah Yang Maha Besar, yang kemudian akan menuntun pemuja ini ke arahNya yang abadi dan pasti. Ia hanya dikenal oleh mereka yang tak memiliki apapun di dunia fana ini selain dari DiriNya Yang Sejati. Cobaan yang maha berat sebenarnya bukan harta-benda, milik atau rasa hormat atau pun keluarga, tetapi adalah diri kita sendiri. Pengorbanan atau tak-keterikatan yang sejati sebenarnya adalah pemasrahan total dari diri kita sendiri. Kita mungkin bisa tak terikat pada harta-benda duniawi, tetapi selama kita belum melepaskan rasa ego kita, maka jalan kepadaNya masih terasa amat jauh atau bahkan nampak sia-sia saja. Kata seorang sufi yang suci, “Percuma saja mengganti baju dan cara makanmu, percuma saja engkau menyantap sehelai rumput selama hidupmu atau hanya memakai sehelai baju selama hidupmu, atau mengasingkan dirimu jauh dari masyarakat kalau engkau masih terbius oleh ego juga. Rasa ego sebenarnya juga salah satu keinginan atau nafsu diri yang amat licik dan lincah mempermainkan dan menipu seseorang.” Seseorang yang benar-benar tak terikat pada dunia ini adalah yang secara lahir dan batin telah berpasrah total kepadaNya. Orang semacam ini tak meminta atau bernafsu apapun juga, ia hanya menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Esa, ia hanya menerima semua kehendak Yang Maha Esa secara utuh dan tulus dan merasa puas dengan apa saja yang diterimanya. la selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa, “Tuhan, Engkau Maha Tahu, akan apa terbaik dan pantas untukku.” Om Tat Sat.
Seseorang pernah bertanya kepada seorang sufi mistik yang bernama Junayd Baghadi, agar memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya sang sufi dapat melihat Tuhan Yang Maha Esa. Orang itu yakin bahwa Yang Maha Esa akan memenuhi permintaan sang sufi yang suci ini. Tetapi apa jawab sufi ini? la berkata dengan tenang, “Aku telah beritikad tidak meminta atau menginginkan sesuatu. Bukankah Nabi Musa pernah meminta melihat Tuhan dan doanya tak terkabul, sedangkan Nabi Muhammad mendapatkanNya tanpa pernah memintanya? Suatu waktu nanti kalau sudah tiba saatnya, maka Yang Maha Kuasa akan menghapus semua rintangan dan memperbolehkan aku melihatNya sendiri tanpa aku harus memintanya.” Dengan cara berpasrah total kepadaNya, tanpa keterikatan duniawi, tebaslah pohon kehidupan yang penuh dengan ilusi ini, agar tampak Sinar Terang Ilahi menuntun kita kepadaNya juga. Caranya dengan sekali lagi bertekad untuk tidak terikat kepada semua unsur atau obyek-obyek duniawi ini dan hanya berpasrah total kepadaNya dan menerima semua kehendakNya sebagai pemberian dariNya.
5. Mereka pergi ke Rumah Yang Tak Dapat Dihancurkan, mereka ini tak memiliki rasa keangkuhan dan rasa moha (cinta-kasih yang mengikat), yang telah menang dan bangkit atas keterikatan yang baik dan buruk, yang selalu terpusat pada Sang Adhyatman, yang telah meninggalkan nafsu-nafsunya, yang telah bebas dari rasa dvandva (rasa dualisme yang saling bertentangan), dari kenikmatan dan penderitaan.
6. Tiada surya atau pun chandra atau agni yang bersinar di sana; tiada juga yang setelah sampai di sana kembali lagi. Itulah kediamanKu yang suci dan agung.
Maka mereka ini pun pergi ke tempat yang tak ada jalan kembali ke dunia ini. Mereka-mereka ini yang hati dan hidupnya sederhana dan tak terpengaruh oleh noda-noda duniawi. Mereka yang telah mengalahkan semua ikatan-ikatan duniawi, nafsu dan emosi, yang hidupnya terfokus atau terpusat pada Sang Adhyatman, Yang Bersemayam di dalam diri mereka masing-masing, Sang Atman. Mereka ini hidup di dalam Rumah Abadi Sang Kreshna, dan di Rumah ini tak diperlukan cahaya mentari, rembulan atau pun cahaya api untuk meneranginya karena cahaya Sang Kreshna Sendiri sudah tak tertandingi terangnya di sana.
7. Sebagian dari DiriKu Yang Abadi ditransformasikan dalam dunia kehidupan, ke dalam jiwa yang hidup, dan menarik melingkupi dirinya dengan indra-indra yang mana sang pikiran adalah indra yang keenam — yang terbungkus dalam bentuk benda.
Dalam Pohon Kosmosnya Sang Prakriti terlahir jiwa-jiwa, individu-individu, dan lain sebagainya. Dan siapakah mereka semua ini dan juga kita? Setiap jiwa dan setiap makhluk adalah salah satu fragmen kecil dari Sang Kreshna Yang Maha Esa itu Sendiri, dan setiap fragmen atau bagian kecil ini timbul atau lahir ke dunia ini sebagai makhluk atau individu (jiwa-bhuta), sebagai jiwa yang berkelana dalam raga-raga yang berlainan bentuk dan ragamnya. Ditegaskan di sini bahwa semua jiwa-jiwa ini baik yang nampak maupun yang tak terlihat oleh mata kita, berasal dari Sang Kreshna juga, Yang Maha Abadi dan Esa. Inilah fakta-fakta yang dilupakan oleh manusia, dan manusia kebanyakan cenderung untuk tenggelam dalam dunia ini dengan segala kenikmatan dan penderitaannya, tetapi tidak mau mengenali diri dan jiwanya yang agung, yang merupakan sebuah fragmen dari Yang Maha Esa. Manusia cenderung mementingkan buah, cabang dari pohon kehidupan ini daripada asal pohon ini.
Fragmen-fragmen atau jiwa-jiwa ini kemudian diatur sedemikian rupa oleh Prakriti (Alam) agar terbungkus oleh indra-indra kita yang jumlahnya semua adalah lima indra organ dan satu indra pikiran. Sang Jiwa ini kemudian diatur sedemikian rupa sehingga bebas memilih terjerumus ke dalam nafsu-nafsu duniawi atau menyibak pembungkus Prakriti ini sehingga dapat melihat Sinar Terang yang sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri, yaitu Sang Adhyatman, Sang Jati Diri, atau Yang Maha Esa iru Sendiri dalam bentukNya yang kecil. Sang Kreshna adalah Adi Purusha (Manusia Yang Terutama) di dalam (1) setiap jiwa yang berbentuk aneka-ragam dan (2) dan sebagai Alam Semesta secara keseluruhan. Ia lah Sang Jati Diri, Sang Jiwa dalam yang besar dan kecil, dalam alam semesta dan dalam makhluk-makhluk, roh-roh atau jiwa-jiwa, secara menyeluruh dalam setiap yang hidup ini. Ia adalah Adhyatman (Sang Atman Yang Tertinggi, Terutama dan menyeluruh dan sumber dari semua jiwa-jiwa ini)!
8. Sewaktu Yang Maha Esa (Sang Jiwa) memasuki sebuah raga dan sewaktu la meninggalkannya, la membawa serta semua indra dan pikiran ini dan pergi bersama mereka, ibarat sang angin yang menerbangkan wewangian dari tempat asalnya. (Contoh: wewangian bunga yang terbangkan jauh dari sang bunga itu sendiri.)
Sang Jiwa yang mengembara di alam kosmos ini dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya, selalu membawa serta semua indra-indra ini dalam tubuh halusnya. Semua ini kemudian jadi asal-mula karma barunya lagi dalam kelahiran yang berikutnya.
9. Secara suci bersemayam di telinga, di mata, di kulit dan di hidung – dan juga di dalam pikiran — la menikmati obyek-obyek sensual.
10. Mereka yang tidak sadar (kurang pengetahuannya) tidak menyadariNya sewaktu la berpisah atau beristirahat atau merasa, sesuai dengan kerja-samaNya dengan guna-guna. Tetapi mereka yang memiliki mata kebijaksanaan dapat melihat.
11. Para yogi pun yang berusaha melihatNya di dalam diri mereka; tetapi mereka yang tidak sadar, yang tidak bersih, mereka berjuang tetapi tidak melihatNya.
Bagi mereka-mereka yang bijaksana dan berpengetahuan (dalam agama Hindu selalu dipergunakan kata berpengetahuan untuk mereka yang sadar akan Yang Maha Esa dan kata bodoh atau kurang-pengetahuan untuk mereka yang masih jauh dariNya, dan masih bergelimang akan dosa-dosa. Kata dosa jarang dipergunakan), maka terlihatlah oleh mereka Sang Atman yang bersemayam di dalam raga kita dengan menikmati obyek-obyek indra, Ia terlihat hadir di telinga, di mata, di kulit, di lidah, di hidung dan di pemikiran (pikiran) kita. Bagi yang masih kurang sadar (agnana), maka kenyataan ini tidak nampak oleh mereka, walaupun sebenarnya banyak di antara mereka yang berjuang ke arah Yang Maha Esa. Mengapa begitu? Karena sebenarnya mereka-mereka ini masih terselimut oleh ego mereka, sehingga tidak sucilah diri mereka ini. Ingatlah! Sedikit saja ego itu masih tersisa di dalam diri kita maka masih jauh kita ini dari Yang Maha Esa, ingat juga walaupun itu ego yang baik sifatnya, selama namanya masih ego dan bukan demi Yang Maha Kuasa, maka selama itu pula jauh kita ini dari Yang Maha Esa!
12. Ketahuilah bahwa gemerlapnya cahaya sang surya yang menerangi dunia ini, dan cahaya rembulan dan api, semua kebesaran itu datang terpancar dariKu.
13. Memasuki bumi ini, Kutunjang semua makhluk dengan energi vitalKu dan, dengan menjadi cairan lembut dari Sang Chandra (sari Soma) yang nikmat, Kuhidupi semua tumbuh-tumbuhan.
14. Dengan menjadi api-kehidupan, yang bersemayam di dalam raga setiap makhluk yang bernafas, dan menyatu dengan kehidupan (nafas yang ditarik dan yang dikeluarkan), Kucernakan semua bentuk makanan (empat jenis makan).
15. Dan Aku bersemayam di dalam hati semuanya; dan dariKu timbul memori (ingatan) dan gnana (pengetahuan atau kesadaran) dan kekuatan yang menangkis dan menolak keragu-raguan atau pikiran-pikiran yang negatif. Akulah yang dimaksud dalam Veda-Veda, dan Akulah yang dimengerti oleh Veda-Veda ini, dan juga Akulah Pengarang Vedanta – ‘akhir’ dari Veda.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adalah kehidupan total dari alam semesta ini. Setiap unsur dari alam semesta ini berasal dariNya atau dengan kata lain Ia juga semuanya ini. Ia juga sumber dari energi di alam semesta ini, Ia juga cahaya yang bersinar di dalam matahari, rembulan dan api. Ia juga sari Soma dalam rembulan yang menghidupi tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Ia juga api-kehidupan dalam setiap manusia dan makhluk-makhluk lainnya, Ia lah sumber tanpa batas dari segala-galanya. Ia juga yang bersemayam dalam pikiran kita yang membedakan antara pikiran yang jahat dan yang baik. la juga yang selalu disebut-sebut dalam Veda-Veda dan kitab-kitab suci lainnya sebagai Tujuan Yang Abadi, Tuhan Yang Maha Esa, bahkan Ia sendiri adalah Sang Pengarang dari Vedanta, yaitu kitab suci Hindu yang terakhir dalam jajaran kitab-kitab Veda.
16. Ada dua Purusha (energi) di dunia ini, yaitu yang dapat binasa dan yang tak dapat binasa. Yang dapat binasa adalah semua makhluk dan benda-benda, yang tak dapat binasa disebut Kutashta (duduk secara tegar, terbungkus oleh misteri dan bersemayam dalam Sang Maya).
17. Ada lagi seorang Purush — Yang Maha Tinggi – Yang disebut Purushottama (Sang Jati Diri Yang Suci dan Agung). la menunjang semuanya; la menghidupi ketiga loka-loka ini. Ia lah Yang Maha Abadi (Yang Tak Dapat Binasa).
18. Karena Aku berada di atas yang dapat binasa, dan juga Aku lebih tinggi dari yang tak dapat binasa, maka baik di dunia ini maupun di dalam Veda Aku dikenal sebagai Manusia Yang Maha Agung dan Suci.
Ada tiga bentuk Purusha, atau orang atau energi di alam semesta ini:
(1) Disebut Kshara-prakriti atau berarti yang tidak abadi, yang dapat berganti-ganti, sama dengan semua makhluk dan benda-benda yang dapat binasa.
(2) Akshara-prakriti atau Kutashta (yang duduk tegar bagaikan batu di dalam Sang Maya) — yaitu Sang Jiwa atau Chaitanya-shakti yang melahirkan bentuk purusha yang pertama tadi.
(3) Uttama Purusha, atau Purushottama, Paramatman, atau Sang Jati Diri Yang maha Agung dan Suci. Ia adalah Yang Maha Esa Yang menunjang, menghidupi, menghadirkan alam semesta ini. Ia lah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
Di bab VII, oleh Sang Kreshna, kedua bentuk energi ini disebut Purusha dan Prakriti, sebagai dua buah bentuk dari PrakritiNya. Di bab XV ini, Sang Kreshna menyebut kedua-duanya sebenarnya bermakna sama, yaitu dua bentuk Energi (atau Upadhi) dari Satu Purusha Yang Maha Agung dan Suci, yaitu Yang Maha Esa, Sang Purushottama, Sang Kreshna, Yang Hadir dan Berkuasa di atas Kshara dan Aksara.
19. Seseorang yang telah sadar, mengenalKu sebagai Purushottama, orang ini tahu akan semua hal dan ia memujaKu dengan seluruh jiwanya, oh Arjuna!
20. Demikian telah ku beritahukan kepadamu ajaran yang amat rahasia ini, oh Arjuna! Seseorang yang tahu akan hal ini, adalah orang yang telah mencapai penerangan dan tugas-tugasnya selesai sudah, oh Arjuna!
Ilmu pengetahuan tentang Sang Kreshna sebagai Purushottama menuntun seseorang ke arah bhakti (dedikasi tulus tanpa pamrih). Ilmu atau pengetahuan ini memberikan rasa pengertian atau penerangan akan Yang Maha Esa dan segala aspek-aspekNya yang terlihat di alam semesta dan diri kita. Dan seseorang yang telah sadar akan hal ini adalah orang yang telah mendapatkan penerangan Ilahi, dan menurut Sang Kreshna selesai sudahlah tugas-tugas dan kewajibannya di dunia ini. Orang ini lalu sadar bahwa semua yang manis dan baik dalam hidup ini, seperti sahabat-sahabat, orang-orang yang dikasihinya, kekayaan, kesehatan, ilmu-ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, hanyalah merupakan ‘bunga-bunga’ dan ‘buah-buah’ kehidupan belaka, yang merupakan hadiah atau pemberian Sang Purushottama kepadanya, untuk digunakan demi menunjang kehidupannya selama ia berkelana di dunia ini. la tak akan pernah lupa, bahwa tujuannya ke dunia ini sebenarnya adalah untuk mengenal Yang Maha Esa, bekerja demi Yang Maha Esa, dan berusaha untuk kembali kepadaNya lagi secara sadar. Untuk mencapai Rumah Yang Maha Esa ini maka semua materi-materi yang merupakan penunjang hidupnya di dunia ini harus ditinggalkannya, bukan diikat erat-erat dengannya. Seseorang yang secara sejati telah menyadari akan hakikat ini disebut Vairagi. la sadar dunia beserta seluruh isinya dapat binasa, tetapi Yang Maha Esa adalah Abadi. Pemuja semacam ini walau sehari-hari tetap bekerja seperti biasa dan sesuai dengan kewajibannya, sebenamya secara spiritual tugas-tugasnya di dunia ini telah selesai, karena walau masih memiliki raga ia sudah mencapai dan mengenal Sang Misteri Yang Maha Agung dan Suci, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memiliki Keajaiban-Keajaiban Yang Tak Tertandingi. Pemuja yang suci ini di dalam hidupnya telah mencapai Nirvana. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini adalah yang kelima-belas dan disebut: Purushottama Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Manusia Utama Yang Maha Agung dan Suci.

Bab 16 – Yang Berhati Suci dan Yang Berhati Iblis
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Tidak memiliki rasa takut, kemurnian hati, ketegaran dalam ilmu dan yoga, memberikan dana, kendali diri, pengorbanan, mempelajari buku-buku suci, tindakan disiplin spiritual (meditasi, puasa, pantangan dan lain sebagainya), menjunjung tinggi kebenaran;
2. Tidak mencelakakan yang lainnya, kejujuran, jauh dari rasa amarah, penyerahan total hasil dari tindakan-tindakannya, kedamaian, tidak mencari-cari kesalahan, rasa sayang terhadap semua makhluk hidup, kesederhanaan, jauh dari rasa ketidak setiaan;
3. Keperkasaan (keberanian), pemaaf, dapat menahan penderitaan, kesucian, jauh dari rasa iri, bebas dari rasa sombong yang berlebih-lebihan — ini semua, oh Arjuna, adalah ciri-ciri seseorang yang lahir dalam keturunan yang suci.
Di dunia ini ada dua jenis manusia, yaitu yang suci dan yang bersifat iblis. Manusia-manusia yang lahir dengan karakter-karakter yang suci secara mendasar sudah spiritual sifatnya. Mereka-mereka ini adalah jiwa-jiwa yang hidup dalam raga tetapi tak terpengaruh oleh Sang Maya. Mereka ingat dan sadar akan kesucian yang menunjang mereka untuk sampai ke Rumah Tujuan akhir nanti. Segala perbuatan dan tindak-tanduk mereka memancarkan kesucian dan kemurnian bagi sesamanya dan diri mereka sendiri. Dalam tindak-tanduk mereka di dunia ini mereka tidak menunjukkan nafsu atau keinginan-keinginan duniawi baik dalam cara berpikir, aspirasi maupun perbuatan mereka. Mereka ini selalu terserap dalam yoga dan jauh dari segala bhoga (kenikmatan-kenikmatan duniawi). Semenjak lahir, dalam diri mereka telah nampak tendensi-tendensi suci. Bakat-bakat kesucian ini mereka bawa dari karma yang terdahulu, dan dipraktekkan dengan lebih aktif lagi di kelahiran mereka yang berikutnya secara lebih intensif.
Mereka-mereka yang dianggap memiliki ciri-ciri keturunan suci ini (daivi sampad), dan telah siap melangkah ke arah pembebasan duniawi ini menampakkan dua-puluh enam ciri-ciri atau tanda-tanda khas, seperti berikut ini:
1) Tak memiliki rasa takut. Kita sering sekali dilanda rasa takut dan khawatir dalam hidup ini seperti takut dan khawatir kehilangan barta-benda, milik atau seseorang yang tersayang dan lain sebagainya. Seseorang yang telah menyerahkan atau memasrahkan semua tindakan dan hasil tindakan mereka kepada Yang Maha Esa, dan yakin akan kehendakNya semata tak akan pernah takut, khawatir dan gentar mengarungi hidup ini. Baginya hidup ini adalah suatu tindakan atau pekerjaan yang suci demi Yang Maha Esa, jadi tak ada lagi rasa takut dalam diri mereka, karena selain merasa tak memiliki sesuatu apapun juga di dunia ini, mereka ini juga dapat merasakan kasih-sayang Ilahi Yang Tak Terbatas yang tak dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang belum sadar sepenuhnya.
2) Kesucian atau kemurnian hati. Kebersihan hati berarti lepas dari segala unsur-unsur atau sifat-sifat palsu, betapa kecilpun sifat palsu itu. Biasanya seorang yang tabah dalam hidupnya dan sudah lepas dari segala rasa takut, akan berubah menjadi seorang ‘anak-kecil’ yang bersih dan murni hati dan tingkah-lakunya. Goethe pernah berkata, “Bersihkan dirimu dengan merendahkan dirimu.” Untuk menjadi murni dan bersih ini, seseorang harus selalu berpikir bahwa raga ini adalah ‘kuil dari Sang Atman Yang Suci dan Agung. Hati yang suci-bersih tak pernah menuntut atau mengingini apapun juga selain mengasihi Yang Maha Esa dan menerima semua kehendakNya semata tanpa pamrih. Jadilah dikau hati yang suci dan murni dalam segala tindak-tandukmu, dalam segala pikiran dan puja-pujimu.
3) Ketegaran atau keteguhan dalam ilmu pengetahuan sejati mengenai Yang Maha Esa, dan ketekunan dalam yoga adalah praktek-praktek disiplin ketat dalam menekuni ilmu-sejati ini. Ketegaran ini dasarnya adalah moral dan iman yang kuat. Caranya ada beberapa macam dan semuanya menuntut keyakinan, ketekunan dan keteguhan yang tak ada putus-putusnya dalam melakukan: (a) meditasi setiap harinya, (b) usaha-usaha spiritual seperti puasa dan sembahyang dan lain sebagainya yang dipilih masing-masing individu, (c) cinta-kasih yang tulus pada setiap makhluk, benda dan sesamanya, (d) melayani atau bekerja tanpa pamrih demi membantu fakir-miskin, orang-orang tua, orang-orang sakit dan mereka-mereka yang pantas ditolong, dan semuanya ini harus dilakukan tanpa pamrih. Dalam melakukan semua usaha-usaha ini akan banyak ditemui hambatan-hambatan yang sukar dan sering sekali terjadi para pemula tumbang karena tidak melihat hasil yang nyata dan segera. Tetapi seseorang yang tegar akan berjalan dan melangkah terus dengan perlahan tapi pasti, dan suatu saat karena keyakinannya yang tegar ia akan sampai ke tujuannya yang mulia. la sadar sukar dahulu, mudah kemudian, itulah jalannya.
4) Dana atau amal dianjurkan bukan saja dalam agama Hindu tetapi juga dalam agama-agama besar lainnya, dan ini merupakan salah satu jalan untuk membersihkan diri kita. Yesus sendiri berkata, “Secara cuma-cuma engkau telah menerimanya, secara cuma-cuma pula berikanlah!” Lalu apakah dalam hidup ini, kita benar-benar rela memberikan harta-benda yang kita kira sudah jadi milik kita kepada yang paling membutuhkannya? Relakah kita berkorban sedikit saja demi sesama makhluk atau manusia lainnya yang menderita? Sebenarnya dana atau amal-perbuatan yang baik tidak dihitung dari segi kuantitasnya melainkan dari segi kualitasnya. Dan yang paling penting dari semua itu adalah itikadnya, itikad yang ada di balik semua perbuatan baik itu. Dana atau amal itu datang dari hati-nurani kita yang tulus dan bukan dari harta-benda atau pun kedudukan kita, bukan juga dari paksaan atau keadaan tertentu. Sebuah senyum kecil yang simpatik untuk seseorang yang membutuhkannya adalah dana, memberikan air kepada seorang musafir yang kehausan adalah dana, menyingkirkan kulit pisang di jalan agar orang lain tidak terpeleset adalah dana, menyisihkan waktu sedikit untuk menolong seseorang yang memerlukannya adalah dana. Tiga faktor utama dalam ajaran agama Islam adalah amal, puasa dan sembahyang. Alkisah suatu waktu seorang yang bernama Bernard ingin bergabung dengan St. Francis dalam melakukan misi-misi sucinya, maka berkatalah St. Francis kepadanya, “Pertama-tama pergi dan juallah apa yang kau punya dan berikanlah kepada yang miskin dan papa.”
5) Kendali diri, yaitu kendali pada indra-indra kita dan menguasai selera dan nafsu-nafsu kita yang selalu kelaparan akan obyek-obyek indra ini. Kuda-kuda liar dapat dijinakkan, begitupun indra-indra ini adalah ibarat kuda-kuda ini, merekapun harus dijinakkan. Bagaimana caranya? Jadilah engkau seorang kusir atau penunggang kuda ini dan bukan sebaliknya! Raga kita sebenarnya diciptakan agar menjadi karma-kshetra, tetapi kebanyakan diantara kita malahan menjadikannya bhoga-kshetra (ladang untuk mencicipi kenikmatan). Kuasailah semua trishna atau keinginan-keinginan dan selera-selera, kendalikanlah nafsu-nafsu dan hasrat-hasratmu, dan jadilah seorang majikan atas dirimu sendiri dan bukan sebaliknya! Intisari kebijaksanaan yang diajarkan oleh filsuf Sokrates adalah kata-kata yang berbunyi, “Kenalilah dirimu sendiri!” Intisari dari kebijaksanaan Hindu adalah, “Kuasailah dirimu sendiri!” Sedangkan Pythagoras yang terkenal itu pernah berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat disebut merdeka (bebas) yang tak dapat memerintah atas dirinya sendiri!”
6) Pengorbanan, persembahan (yagna), jenis yagna atau pengorbanan ini ada banyak caranya. Persembahan spiritual ini didasarkan pada pemikiran bahwa dewa-dewa, manusia, dan makhluk-makhluk halus, semua ini membentuk suatu simfoni kehidupan. Yagna menunjukkan suatu itikad berkorban atau menolong sesama makhluk di dunia ini baik yang terlihat maupun yang tak terlihat, yang membutuhkan pertolongan kita di alamnya masing-masing. Yagna juga mengajarkan kita untuk menjadi sederhana dan tulus dalam hidup kita sewaktu kita melakukan yagna ini untuk para dewa, dan mengajarkan kita akan kewajiban dan perhatian kita pada para leluhur kita agar mereka tak terlupakan. Karena karma yang lalu para leluhur yang berada di alam sana hidupnya belum tentu bahagia, jadi mereka selalu saja membutuhkan pertolongan kita agar kuranglah dosa-dosa mereka. Pada hakikatnya yagna ini secara bertahap mengajarkan kita untuk berkewajiban dan berkorban secara murni kepada Yang Maha Esa. Untuk itu kita harus belajar dahulu dengan ber-yagna untuk para dewa dan leluhur. Intisari sesungguhnya dari yagna ini adalah berkoban secara tulus dengan mengorbankan seluruh hidup kita ini kepadaNya tanpa pamrih, yaitu bekerja demi Ia semata tanpa pamrih dan tanpa bosan-bosannya!
7) Mempelajari skripsi-skripsi atau ajaran-ajaran suci (ini disebut Svadhaya).
Terangkan dalam ajaran-ajaran ini adalah pemujaan oral (puja-puji dan nyanyian) kepada Yang Maha Esa pada setiap kesempatan yang ada.
Tapa atau tindakan-tindakan disiplin spiritual yang aneka ragam bentuknya seperti puasa, meditasi, dan berbagai tindakan disiplin spiritual lainnya. Intisari dari tapa ini adalah selalu berusaha untuk tidak berbohong kepada diri sendiri maupun orang lain, jadi setiap pembicaraan harus benar dan jujur, mencintai kebenaran dan kehidupan yang jauh dari kemewahan.
9) Menjunjung tinggi kebenaran, tegas dan tulus dalam tindakan (arjavam). Mereka yang memiliki sifat-sifat yang suci dan agung selalu berkata dan bertindak tegas dalam setiap aspek kehidupan mereka, tetapi jiwa mereka sebenamya amatlah lembut, tulus dan jujur akan kebenaran. Inilah sebenarnya yang mendasari tindakan dan ucapan mereka yang tegas. Mereka juga amat tinggi dalam menjunjung nilai-nilai kebenaran walaupun untuk hal-hal yang amat kecil sekalipun.
10) Mereka menjalankan praktek-praktek ahimsa, yaitu tidak menyakiti seseorang atau makhluk lainnya baik dalam tindakan mereka atau kata-kata mereka. Di dunia yang penuh dengan manusia-manusia yang berwajah srigala ini, masih ada saja manusia-manusia tulus dan suci yang melakukan ahimsa ini secara total. Inilah salah satu ciri khas dari yang memiliki potensi suci dan agung ini. Tetapi ingat jangan salah-pergunakan mereka ini, karena demi kebenaran mereka ini adalah manusia yang amat tegas!
11) Mereka mempraktekkan kebenaran (safram) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menampakkan diri mereka sebagaimana yang mereka sadari akan arti kehidupan ini, dan juga akan arti dan hakikat Yang Maha Esa. Bagi mereka apapun yang benar dibenarkan dan yang salah disalahkan tanpa memandang kasta, kedudukan dan harta. Bagi mereka kebenaran itu sekecil apapun kebenaran itu, maka sifatnya adalah di atas segala-galanya. Bagi mereka seorang yang lahir dengan predikat kasta pariah bukanlah seorang pariah, tetapi seseorang yang tak dapat menghormati kata-katanya adalah seorang pariah. Tuhan Yesus sendiri pernah berkata, “Kebenaran akan membuatmu bebas!” “Kebenaran dan kasih adalah bagi kami arti sesungguhnya dari Tuhan Yang Maha Esa,” kata TL Vaswani, pengarang naskah Bhagavat Gita.
12) Orang-orang ini tak mempunyai rasa marah atau geram (akrodhd). Mereka bahkan tak pernah marah atau benci pada yang menyakiti mereka walaupun dipancing untuk marah sekalipun.
13) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang telah melakukan dan menghayati penyerahan total akan hasil tindakan mereka sehari-hari (tyaga) yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a) penyerahan total secara mental dan dari pemikiran mereka bahwa apa yang mereka lakukan dan apapun hasilnya adalah kehendak Yang Maha Esa semata-mata dan seyogyanyalah dilakukan tanpa pamrih,
(b) setiap tindakan mereka jauh dari rasa keberhasilan, egoisme, optimisme, pesimisme, keserakahan, nafsu dan keinginan,
(c) mereka jauh dari obyek-obyek duniawi.
14) Pikiran dan jiwa mereka selalu tenang (shanti) dalam segala tindakan mereka sehari-harinya.
15) Mereka jauh dari segala gosip atau obrolan-obrolan iseng yang menyangkut orang lain. Jauh juga mereka ini dari segala pikiran dan pembicaraan mengenai orang lain atau mencela orang lain dan mencari-cari kesalahan seseorang. Mereka tak mau menyakiti atau mencelakakan orang atau makhluk lain baik secara mental maupun secara tindakan.
16) Mereka memiliki rasa kasihan, iba, simpati dan rasa sayang untuk setiap makhluk di dunia ini.
17) Mereka selalu merasa cukup dengan apa adanya, dan tak pernah memohon atau meminta lebih apapun yang diterima mereka. “manusia ini tak pernah puas, walaupun memiliki sebuah danau penuh dengan emas, tetapi masih saja merasa miskin,” kata Hitopadesha. Tetapi mereka-mereka ini yang telah terpanggil ke jalannya Tuhan, malahan amat puas dengan apa adanya. Bagi mereka alam semesta dan seluruh isinya sudah merupakan karunia yang tak ada habis-habisnya. Lalu untuk apa harus serakah dan menuntut dan menuntut lagi?
Feridoun merasa tak puas dengan kerajaan yang dimilikinya. Sedangkan Alexander meratap telah menguasai semuanya karena tidak ada lagi yang bisa dikuasainya. Tetapi seorang anak kecil yang polos dan lugu akan gembira sekali dan bahagia kalau dapat memenuhi kedua tangannya dengan pasir dan bermain-main dengannya. Bagi seorang anak kecil yang masih polos akan hal-hal duniawi ini, maka segenggam pasir dan segenggam emas sama saja nilainya, karena ia masih suci dan tidak sadar akan standar-standar yang telah ditentukan oleh manusia dewasa.
Setiap pekerjaan itu baik, karena pekerjaan itu diperlukan dan karena merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kita. Tetapi ingatlah pekerjaan yang tak diperlukan dan sia-sia janganlah dilakukan dan jauhilah pekerjaan-pekerjaan ini yang sifatnya negatif dan merusak. Pekerjaan atau profesi sehari-hari diperlukan dan wajib kita kerjakan tetapi disertai dengan itikad yang murni dan suci dan dilandasi oleh rasa bakti kita kepada Yang Maha Esa, kepada masyarakat dan lingkungan kita, bukan atas keserakahan pribadi atau dilandasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Sebuah pekerjaan yang sederhana sifatnya akan lebih berarti daripada suatu pekerjaan yang nampaknya canggih, selama pekerjaan itu dikerjakan dengan penuh bakti dan kesadaran yang tulus akan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa. Suatu pekerjaan yang dianggap besar dan luar biasa akan sia-sia saja maknanya kalau dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi karena yang timbul darinya hanyalah ambisi dan perjuangan pribadi dan terjebaklah sang pelaku dalam nafsu-nafsu duniawinya dan segala ekses-ekses yang timbul dari nafsu itu. Sebaliknya suatu pekerjaan yang sederhana sifatnya seperti memasak dan menyapu akan terasa suci dan syahdu kalau dilakukan dengan kesadaran total bahwa itu juga merupakan kewajiban kita kepadaNya, karena akan turun berkat dan rahmatNya pada si pelaku pekerjaan ini. Yang Maha Esa tidak memandang kedudukan atau pekerjaan seseorang, yang dianjurkanNya adalah kesetiaan dan dedikasi kita kepadanya yang tulus dan tidak ternoda.
18) Mereka-mereka ini memiliki kelembutan hati dan pikiran. Mereka ini amat penyabar dan pengasih, dan selalu menerima dan sabar menghadapi segala caci-maki, hinaan, pengkhianatan, dan tindakan-tindakan keji yang dilakukan oleh orang-orang terhadap mereka, karena mereka sadar bahwa yang menyakiti mereka ini sebenarnya tidak tahu apa-apa dan “kurang pengetahuannya atau tersesat jalannya.” Sebaliknya mereka jadi amat pemaaf dan selalu mendoakan mereka yang menyakiti ini.
19) Mereka-mereka ini amat sederhana dan pemalu sifatnya. Malu akan berbuat sesuatu yang salah karena yakin akan kehadiran Yang Maha Esa di mana-mana.
20) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang tidak mudah mengubah keputusan atau pemikiran mereka, tidak mudah terpengaruh dan sangat stabil pendiriannya. Mereka tak mau mencampuri urusan orang lain dan jauh dari pikiran maupun tindakan yang tak ada artinya.
21) Mereka memiliki teja, yaitu energi, cahaya dan kharisma yang luar biasa dan penuh dengan kehangatan. Wajah-wajah mereka selalu simpatik dan memancarkan cahaya kesucian dan kebaikan, ketulusan hati yang luar biasa. Sang Kreshna, Sang Buddha dan Kristus memiliki wajah-wajah semacam ini. Salah satu ciri-ciri teja ini adalah rasa respek yang luar biasa yang dimiliki oleh orang ini, dan juga kejantanan (ketegasan) dalam setiap aspek tindak-tinduknya yang tak dapat ditawar-tawar. Contoh: Sokrates dari Yunani, yang tidak mau mundur dari pendiriannya dan lebih baik memilih kematian dengan meminum racun secara tenang.
22) Mereka adalah manusia atau orang-orang yang memiliki rasa memaafkan terhadap semua dan sesamanya secara luar biasa. Tak ada kebencian di dalam diri mereka walaupun untuk mereka yang telah mencoba menyakiti atau membunuh mereka. Nabi Muhamaad SAW memaafkan musuh-musuhnya. Kristus memaafkan musuh-musuh dan murid-muridnya. Mahatma Gandhi memaafkan pembunuhnya dan jauh-jauh telah meramalkan akan dibunuh. Resi Dayanand memaafkan tukang masaknya yang berusaha meracuni sang Resi. Di era modern ini kita melihat Sri Paus Yohannes Paulus II memaafkan penembaknya.
23) Mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk menghadapi segala rintangan dan penderitaan hidup ini, dan tidak kehilangan kesabaran (ini disebut dhriti).
24) Mereka memiliki rasa sancham, yaitu rasa akan kebersihan. Mereka selalu menjaga agar raga mereka bersih luar dan dalam. Kebersihan sebenarnya adalah salah satu aspek yang penting dalam agama dan mendekatkan kita kepadaNya. Pada masa sekarang manusia cenderung untuk mementingkan peragaan di luar tubuh mereka seperti rias-wajah, wangi-wangian, busana yang menyolok dan lain sebagainya. Juga banyak diantara kita yang mengotori tubuh bagian dalam kita dengan merokok, menghisap ganja dan meminum minuman keras, obat-obatan terlarang dan makanan yang merangsang rubuh. Juga manusia dewasa ini lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak segar dan penuh dengan zat-zat yang mengotori dan membahayakan tubuh dari pada menyehatkan tubuh ini dengan memakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar, menghisap udara segar dan lain sebagainya.
25) Mereka bebas dari rasa iri-hati atau cemburu. Mereka tak mau berperasangka buruk atau iri-hati pada orang lain atau bahkan berpikir negatif tentang orang lain. Mereka cukup dengan apapun yang mereka terima dan selalu berterima kasih kepadaNya. Melihat sukses dan kekayaan orang lain mereka biasa-biasa saja dan tak terpengaruh sama sekali. Mereka tak dapat melupakan kebaikan orang lain terhadap mereka walau sekecil apapun kebaikan itu. Mereka selalu mengabdi demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain baik yang membutuhkan mereka atau tidak, dan menyatu dalam jiwa dengan yang mereka tolong ini. Rasa benci dan iri-hati dapat menghancurkan bukan saja kebahagiaan seseorang tetapi juga menghancurkan kerajaan-kerajaan besar. Lihat saja bagaimana iri-hati sang Kaikeyi (ibu-tiri sang Rama) membunuh suaminya dan sekaligus menghantarkan Sang Rama dan Shinta beserta Lesmana ke hutan Dandaka. Iri-hati dan benci, atau dengki adalah sebenarnya perusak diri dan hidup kita sendiri.
26) Mereka tidak memiliki rasa sombong atau superior terhadap orang lain. Rasa sombong atau ahankara ini memang salah satu faktor yang harus dijauhi setiap manusia, atau tersandung kita nanti dalam perjalanan hidup spiritual kita.
Kedua-puluh enam faktor atau ciri-ciri khas seseorang yang telah suci hati dan jiwanya ini disebut daivi-sampad, yaitu harta-benda sejati seseorang yang suci dan agung, harta Ilahi yang benar dalam melakukan kehidupan yang sejati.
4. Kemunafikan, mementingkan diri sendiri, iri-hati, rasa amarah, juga kekasaran dalam pembicaraan dan kebodohan — semua ini, oh Arjuna, adalah milik seseorang yang lahir dengan sifat-sifat iblis.
Siapakah manusia-manusia yang disebut bersifat sebagai atau bagaikan iblis ini? Mereka disebut Asura. Dalam salah satu Upanishad terdapat satu kisah mengenai Prajapati yang pada waktu penciptaan, menciptakan para dewa (sura) dengan nafas yang dihembuskannya ke atas, dan menciptakan para asura (raksasa, setan, jin, iblis, dan kuasa-kuasa gelap) dengan nafasnya yang dihembuskannya ke bawah. Setelah menciptakan para iblis ini maka terciptalah kegelapan, kebodohan dan keburukan di sekitarnya. Maka disebut bahwa nafas-bawah tadi adalah nafas dari segala nafsu yang negatif dan kebatilan, sedangkan nafas-atas adalah nafas dari segala yang baik, agung dan suci. Nafsu dengan begitu adalah faktor atau hal-hal yang tidak suci di dalam dunia ini, karena ia adalah getaran atau vibrasi dari ‘jiwa-bawah’ kita sedangkan ‘jiwa-atas’ kita penuh dengan kebajikan dan kesucian. Dengan kata lain, manusia-manusia yang bersifat asura adalah mereka yang terikat secara duniawi dengan nafsu-nafsu mereka dan selalu tenggelam dalam kebodohan mereka. Terikatlah selalu mereka ini dengan dunia dan dengan kelahiran/kematian yang berkelanjutan terus-menerus.
Karakter atau ciri-ciri khas mereka ini adalah:
(a) Kemunafikan — apa yang mereka tampilkan dalam tindak-tanduk mereka sehari-hari dalam kehidupan mereka penuh dengan sandiwara, kepalsuan dan topeng-topeng manis belaka, padahal hati dan jiwa mereka mungkin terikat pada pikiran dan tindakan-tindakan yang tidak sehat dan selaras dengan topeng-topeng kemunafikan mereka.
b) Dalam setiap hal, mereka selalu mementingkan diri mereka sendiri. Mereka ini juga penuh dengan rasa iri-hati dan terbius oleh harta-benda, milik, kekasih dan kekuasaan mereka.
(c) Mereka ini mudah sekali marah.
(d) Tindak-tanduk mereka maupun cara mereka berbicara mencerminkan kekasaran dan amat menyakitkan bagi yang mendengarkan.
(e) Mereka-mereka ini jauh dari kebenaran dan kebijaksanaan yang sejati.
5. Sifat-sifat suci menuntun seseorang ke arah pembebasan, dan sifat-sifat iblis ke arah keterikatan. Janganlah bersedih, oh Arjuna, karena dikau lahir dengan sifat-sifat yang suci dan agung.
6. Ada dua jenis makhluk yang diciptakan di dunia ini — yang suci dan yang bersifat iblis. Yang suci telah dijelaskan secara terperinci. Sekarang dengarkanlah dariKu, oh Arjuna, mengenai yang bersifat keiblisan ini.
Dua jenis makhluk hidup atau manusia atau makhluk halus diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini, yaitu yang bersifat suci seperti yang telah kita baca di atas tadi, dan yang bersifat ke iblis-iblisan. Yang pertama karena dasar sifat-sifatnya telah bebas dan lepas dari karma-karmanya dan dari kehidupan/kematian, untuk kemudian langsung bersatu dengan Sang Pencipta, sedangkan yang kedua akan terikat secara terus-menerus dengan karma-karmanya dan kehidupan dan kematian, tak bisa lepas dari dunia ini.
7. Mereka-mereka yang bersifat iblis ini tidak sadar akan arti tindakan atau akan disiplin-disiplin spiritual. Tak mereka miliki kesucian maupun tindakan-tindakan baik atau pun kebenaran.
8. Mereka berkata bahwa di dunia ini tak ada kebenaran, tak ada dasar moral, tak ada Tuhan, (dunia) ini tercipta dari penyatuan dua jenis kelamin yang berlawanan, (dunia) ini adalah produk dari nafsu-nafsu belaka dan tak ada hal selain itu.
9. Teguh dalam kepercayaan ini, jiwa-jiwa yang tersesat ini yang pengertiannya tumpul dan tindakan-tindakannya kejam, muncul sebagai musuh-musuh dan penghancur dunia ini.
10. Menyerahkan diri mereka kepada nafsu-nafsu yang tak pernah terpuaskan dengan kemunafikan, kedengkian, dan kepentingan diri-pribadi, tergantung pada ide-ide yang salah akibat ilusi, mereka ini bertindak dengan itikad-itikad yang tidak bersih.
11. (Mereka) ini terkurung oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang tak terhitung jumlahnya, (mereka) berpikir bahwa pemuasan nafsu-nafsu dan keinginan sebagai puncak cita-cita mereka, yakin bahwa itulah semua ini.
12. Terperangkap oleh seratus harapan-harapan kosong, menjadi budak dari nafsu dan kemarahan, mereka menumpuk kekayaan dengan memuaskan selera-selera panas (mereka) dan melibatkan diri (mereka) dalam kenikmatan-kenikmatan sensual.
13. “Ini telah kudapatkan hari ini, dan akan kucapai keinginan itu. Harta ini milikku, harta itu pun akan menjadi milikku.
14. “Musuh ini telah kubunuh, yang lainnya pun akan kubunuh. Aku lah Tuhan dari segalanya. Aku menikmati diriku sendiri. Aku makmur, berkuasa dan bahagia.
15. “Aku kaya-raya dan lahir dari derajat yang tinggi. Adakah seseorang yang sepadan denganku? Aku akan menyelenggarakan pengorbanan-pengorbanan (yagna), aku akan menyumbangkan dana, aku akan membuat “pesta-pesta kesenangan.” Begitulah mereka berkata, tersesat dalam kebodohan mereka.
16. Kacau-balau oleh berbagai pikiran, terperangkap dalam jala ilusi, terbius oleh kepuasan nafsu-nafsu, mereka tenggelam ke neraka yang menjijikkan (penuh dengan kotoran yang berbau dan menjijikkan).
17. Terlalu percaya pada diri-sendiri, keras-kepala, mabuk-kepayang akan kekayaan mereka, mereka melakukan pengorbanan-pengorbanan untuk pertunjukan belaka, tanpa memperhatikan skripsi-skripsi (suci).
18. Terpaku pada rasa ego, pada kekasaran dan kekuatan, dan nafsu-nafsu dan rasa marah, orang-orang yang berhati iblis ini membenciKu yang bersemayam di dalam raga mereka dan di dalam raga-raga yang lainnya.
19. Mereka yang membenciKu dengan cara itu, mereka yang kejam ini, yang terburuk diantara jajaran manusia, mereka-mereka pelaku perbuatan iblis ini, Ku giring terus-menerus ke perut para iblis.
20. Terjatuh ke perut-perut iblis, mereka hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lainnya, terbungkus oleh kegelapan. Mereka ini tidak datang kepadaKu, oh Arjuna, tetapi tenggelam ke tempat yang paling dalam.
Mereka-mereka yang memiliki asuri-sampad (sifat-sifat keiblisan) dan terikat kepada dunia ini mempunyai ciri-ciri khas seperti berikut:
a. Mereka kurang memiliki rasa perbedaan antara yang baik dan buruk. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan.
b. Tidak atau kurang memiliki rasa kebersihan. Mereka tidak bersih dalam pikiran maupun dalam menjaga raga mereka.
c. Mereka tidak kenal atau tidak mau kenal atau mengakui kaidah-kaidah moral atau hukum-hukum moral dan etika dalam kehidupan ini.
d. Mereka jauh dari kebenaran. Mereka penuh dengan kebohongan dan tipu-daya.
e. Mereka ini umumnya atheis. Bagi mereka alam semesta atau dunia ini tidak berdasarkan moral, agama atau dasar-dasar spiritual, tanpa Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka dunia ini hanya tempat melampiaskan nafsu-nafsu, dan pikir mereka semua makhluk tercipta dari kesatuan atau percampuran pria dan wanita, jadi dasar dunia ini bagi mereka adalah nafsu-nafsu dan kenikmatan duniawi belaka. Itulah hidup dan tujuan mereka dalam hidup ini.
f. Cara berpikir mereka penuh dengan kegelapan, karena jiwa mereka telah sesat. Akibatnya daya intelektual mereka menurun.
g. Mereka gemar melakukan pekerjaan-pekerjaan buruk dan keji yang berada di luar prikemanusiaan. Hidup mereka adalah demi penghancuran sesamanya, atau makhluk-makhluk lain. Sebenarnya mereka ini adalah musuh dari dunia dan umat manusia itu sendiri.
h. Kata mereka dunia ini hanya untuk bersenang-senang saja, dan mereka memasrahkan hidup mereka ke nafsu-nafsu dan kenikmatan yang tak ada habis-habisnya. Hidup mereka hanya itu dan tak lebih.
i. Mereka adalah orang-orang yang munafik. Untuk mendapatkan suatu impresi atau keperluan sesuatu, tidak segan-segan mereka menampilkan wajah-wajah yang lain agar tercapai segala maksud-maksud mereka.
j. Mereka penuh dengan kesombongan
k. Dalam kebutaan pikiran, mereka memegang erat-erat prinsip hidup yang salah. Contoh: Sang Rahvana yang berpikir tidak ada salahnya mencuri istri orang lain demi kepuasannya pribadi.
1. Sampai matipun mereka tidak lepas dari rasa khawatir dan ketakutan yang tak ada habis-habisnya (berbagai ragam sifat-sifat ketakutan).
m. Motto hidup mereka adalah kenikmatan, dan itulah tujuan mereka yang tertinggi.
n. Mereka gemar akan perbuatan-perbuatan amoral yang penuh dengan nafsu dan dosa.
o. Mereka gemar amarah. Selalu murka bahkan hal-hal yang kecilpun mudah menimbulkan rasa amarah mereka.
p. Mereka mengumpulkan harta-benda mereka secara tidak halal.
q. Rasa egoisme mereka amat tinggi. Tidak ada yang tidak dikaitkan dengan “ke-aku-. an”-nya. “Aku ini yang perkasa, yang berkuasa, berkedudukan, tanpa aku pemerintahan ini tidak jalan, atau perkerjaan ini tidak terselesaikan. Aku tak ada tandingannya, yang paling hebat dan super dan terkaya,” dan lain sebagainya. Mereka ini juga takabur dan sering berkata, “aku ini Tuhan, aku tak pernah sakit, aku tak bisa mati,” dan lain sebagainya. Makin lama rasa ego dan keserakahannya makin bertambah dan ia makin sering membunuh orang-orang yang dianggapnya musuh karena ia merasa amat berkuasa dan tak punya tandingan. Demi nama baik mereka, orang-orang ini tidak segan-segan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial yagna dan dana, yang sebenarnya hanya kedok belaka, hanya sandiwara untuk tujuan-tujuan tertentu.
r. Jalan pikiran mereka tak pernah stabil.
s. Mereka terjebak dalam perangkap atau jalan ketersesatan (kegelapan). Duniawi lebih penting bagi mereka daripada Ilahi.
t. Mereka membenci Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam diri mereka dan dalam diri orang-orang lain.
Orang-orang yang bersifat iblis ini secara terus-menerus berkelana dalam lingkaran karma dan lingkaran hidup-mati, dan lahir kembali di tengah-tengah keluarga yang tak bermoral dan penuh dengan kegelapan. Makin lama makin turunlah taraf kehidupan mereka dan oleh karma mereka dibawa tenggelam ke arah kehidupan yang makin rendah tarafnya.
Tetapi Yang Maha Pengasih selalu memberikan kesempatan kepada mereka-mereka ini, yaitu pembersihan diri melalui berbagai penderitaan dan kesempatan-kesempatan dalam tahap-tahap evolusi kehidupan mereka ini, karena di dalam setiap jiwa yang sesat pun bersemayam Sang Atman, Sang Kreshna, Sang Adhyatman Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang tidak akan segan-segannya menunjukkan jalan kepada semua makhluk-makhlukNya. Dan lambat laun jiwa-jiwa yang menderita dan tersesat ini akan tergugah juga memohon Yang Maha Kuasa agar dibebaskan dari penderitaan dan karma mereka. Dan kalau sudah tiba saatnya yang tepat, maka Yang Maha Esa pun akan menjatuhkan berkahNya kepada makhluk atau individu ini dan terbukalah jalan ke arahNya lagi, dan suatu saat mereka-mereka ini pun akan dapat mengalahkan nafsu-nafsu duniawi mereka dan lepas dari dunia yang penuh dengan penderitaan ini, menyatu denganNya, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
Maka, kalau sudah merasa suci atau bersih janganlah sekali-kali memandang rendah atau hina kepada mereka yang berdosa atau pada makhluk-makhluk yang tak berdaya, tetapi selalulah menuntun mereka-mereka ini ke jalan yang benar dengan kasih-sayang yang sejati. Maafkanlah dosa-dosa mereka seperti yang dilakukan oleh Yang Maha Kuasa terhadap kita juga. Sebenarnya tidak ada seseorang pun yang berdosa di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang kurang pengetahuannya dan tidak sadar, tersesat oleh kenikmatan duniawi. Jadi tuntunlah selalu mereka-mereka ini. Yesus Kristus pernah bersabda, “Tidak ada yang baik selain Tuhan.” Memang benar, hanya Ia Yang Maha Baik, kita manusia harus selalu belajar untuk menjadi baik dan benar agar diterima oleh Yang Maha Baik ini. Seorang yang suci dan agung, seandainya tidak lagi terpakai oleh Yang Maha Kuasa maka ia pasti akan menjadi sampah lagi, tetapi seorang asura yang menjijikkan akan menjadi suci, sekali Yang Maha Esa berkenan mengubahnya. Camkanlah hal ini dan jauhikan diri kita dari rasa jijik, diskriminasi, perbedaan kasta dan derajat. Pandanglah setiap manusia dan makhluk dengan pandangan yang sama, ingat Yang Maha Esa hadir di mana-mana dan dalam setiap makhluk, dan la tidak mengenal diskriminasi, maka seharusnya kita pun bersikap sama. Yang Maha Esa bisa saja mengubah status seseorang sesuai dengan kehendakNya, maka jangan sekali-kali pongah atau tinggi hati terhadap seseorang atau dalam suatu situasi tertentu.
21. Terdapat tiga gerbang untuk menuju ke neraka ini, yang menjadi penghancur dari diri sendiri — nafsu, kemarahan dan keserakahan. Maka seyogyanyalah manusia membuang jauh-jauh ketiga faktor ini.
22. Seseorang yang telah lepas dari ketiga gerbang kegelapan ini, oh Arjuna, maka telah selesailah semua kebutuhan-kebutuhannya dan kemudian (ia) mencapai tujuan yang tertinggi.
Ada tiga pintu gerbang kegelapan, yang diartikan juga sebagai tiga pintu masuk utama ke neraka, yaitu nafsu, rasa amarah dan keserakahan atau rasa iri. Nafsu (kama) atau keinginan yang beraneka-ragam ini sebenarnya adalah pemuasan membabi-buta untuk indra-indra kita. Sedangkan rasa amarah timbul kalau jalan ke arah pemuasan nafsu-nafsu ini terhalang. Keserakahan atau lobha adalah salah satu nafsu untuk memperkaya diri sendiri dengan obyek-obyek duniawi baik secara material maupun secara psikologis dan demi memenuhi nafsu indra-indra dan pribadi. Raga kita sebenarnya diciptakan agar menjadi instrumen atau alat yang dapat memenuhi kebutuhan akan potensi spiritual kita, agar tercapai kembali kesatuan antara kita dan Sang Pencipta. Tetapi kalau diberikan kebebasan dan fasilitas untuk memilih sendiri tujuan kita, maka banyak manusia akan tersesat dan menggunakan raga mereka demi tujuan nafsu-nafsu belaka, tanpa sadar bahwa di dalam tubuh dan otak kita tersimpan potensi spiritual yang amat luarbiasa yang sekiranya digunakan secara benar akan menimbulkan keajaiban-keajaiban dan keadaan yang memungkinkan kita mencapai Yang Maha Esa dengan lebih sempurna lagi. Faktor potensial ini sering lepas dari jangkauan manusia dan kita melaju makin dalam ke arah kegelapan yang tak ada ujung-ujungnya, mengembara dari satu neraka ke neraka yang lainnya, tanpa akhir.
Dunia dan isinya ini sebenarnya diartikan sebagai ekspresi dari kesucian dan keagungan Yang Maha Esa, dari cinta-kasih dan saling-menolong atau menunjang diantara sesamanya, agar tercapai kedamaian, keharmonisan dan kehidupan yang layak bagi semuanya. Tetapi kalau semua potensi dan kekayaan alam semesta ini dipakai manusia hanya untuk memuaskan pribadi-pribadi manusia-manusia itu sendiri, dan manusia itu kemudian mengabaikan semua kebahagian, keagungan dan kekayaan yang telah disediakan Yang Maha Kuasa, maka tak ada jalan lain, silahkan menuju ke arah neraka yang paling dalam. Selama manusia mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya sendiri, merusak alam dan makhluk lain sesamanya dengan nafsu-nafsu ini maka selama itu pula manusia ini akan menjurus kelingkaran setan yang tak ada habis-habisnya.
Dan ingatlah seandainya anda berjalan di jalan nafsu dan keserakahan maka anda akan menghadapi oposisi dari pihak yang lain, karena anda sedang berjalan di jalan yang salah. Jalan salah ini berarti anda sedang melawan Hukum Abadi yang hadir di alam semesta ini, yang tak nampak tetapi selalu ada dan berkuasa. Dan sekali atau terus-menerus anda mendapatkan perlawanan ini, maka anda akan meledak dengan kemarahan yang dahsyat, anda akan membenci dan secara brutal menyerang mereka-mereka yang beroposisi terhadap anda. Selama itu anda boleh yakin bahwa anda sedang diikat erat-erat oleh keterikatan duniawi ini, dan itu berarti anda sedang melaju cepat ke neraka yang dalam.
23. Seseorang yang telah mengabaikan shastra-vidhi (kaidah-kaidah suci yang terdapat di skripsi-skripsi suci agama Hindu), mengikuti dorongan-dorongan nafsu — maka orang ini tidak mencapai kesempurnaan, tidak juga kebahagiaan yang benar, tidak juga tujuan yang tertinggi.
24. Maka seyogyanyalah, jadikanlah kaidah suci ini sebagai pedoman untuk mengambil sesuatu putusan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tak harus dilakukan. Sadar akan apa yang telah disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau, oh Arjuna, pekerjaanmu di dunia ini.
Agar jauh dari gerbang-gerbang kegelapan ini, maka seyogyanyalah manusia menjauhi dan mengendalikan diri mereka dari semua nafsu-nafsu dan berpedoman pada skripsi-skripsi suci yang memuat hukum atau kaidah suci bagi kesejahteraan manusia. Hukum atau kaidah suci yang dikandung oleh kitab-kitab (shastrci) suci Hindu semenjak masa silam adalah sumber pengetahuan yang suci dan agung yang tak ada habis-habisnya, dan merupakan penerangan di jalan kegelapan kita. Dengan kata lain, tidak usah jauh-jauh mencari sumber kaidah atau hukum suci ini, Bhagavat Gita adalah intisari dari semua Veda-Veda yang ibarat sebuah sumur yang tak pernah sarat airnya kalau kita ingin berbicara tentang kaidah-kaidah suci dari agama Hindu ini. Berpedoman pada ajaran Bhagavat Gita manusia akan lepas dari keterikatan-keterikatan duniawinya secara tuntas, kalau mau kita betul-betul menghayati ajaran dan sabda-sabda Sang Kreshna, seperti sloka di atas, “sadar akan apa yang telah disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau, oh Arjuna, pekerjaanmu di dunia ini.” Yang Maha Esa tidak melarang kita bekerja. Ia malahan menganjurkannya dengan jalan yang benar bekerja tanpa pamrih demi Ia semata. Sadarlah akan hal ini wahai manusia, kebahagiaan akan kehidupan ini dan Yang Maha Esa itu sendiri sebenarnya ada diantara kita-kita ini juga, Mengapa melangkah jauh-jauh dari ini semua? Om Tat Sat.Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab yang keenam-belas yang disebut: Daivasura Sampad Vibhaga Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Perbedaan antara Sifat Yang Suci dan Sifat Iblis.

Bab 17 – Tiga Jenis Kepercayaan
Berkatalah Arjuna:
1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah suci ini, tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan kepercayaan (iman) –bagaimanakah keadaan mereka ini, oh Kreshna? Apakah (mereka) ini tergolong sattva, raja atau tama?
Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna, apakah perlu kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung oleh skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavat Gita sendiri tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang beriman tetapi tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau skripsi-skripsi kuno ini? Sebenarnya hukum ini — karena sifatnya yang abadi, spiritual dan alami — secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak penting apakah setiap orang yang beriman itu pernah mendengar atau tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan karuniaNya maka seseorang yang beriman akan belajar sendiri atau dengan kata lain mendapatkan sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia akan memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu) harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar tentang sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalanNya akan secara otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua kaidah dan hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena memang hukum ini sifatnya amat universal dan alami. Arjuna yang khawatir akan nasib seseorang yang beriman tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci ini, sebenarnya tidak perlu khawatir, karena yang penting adalah penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum tetapi intisarinya selalu Manunggal, yaitu Satu, dan semua itu selalu berporos dan kembali kepadaNya juga. Om Tat Sat.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan manusia (makhluk yang dapat binasa), yang lahir dari sifat-sifat mereka terbagi dalam tiga bagian — sattvik, rajasik dan tamasik. Dengarkanlah oleh mu semua ini.
3. Iman seseorang, oh Arjuna, adalah berdasarkan sifat seseorang itu. Manusia dibentuk oleh imannya: begitu imannya, begitu juga manusianya.
Shradda, atau iman atau kepercayaan, adalah ekspressi dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu sendiri yang sudah diatur oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu juga prilaku orang itu. Kepercayaannya akan Yang Maha Esa, otomatis terpancarkan sesuai dengan sifat-sifat asli setiap individu yang tentunya berbeda-beda dari setiap manusia ke manusia yang lainnya, dan faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku manusia tersebut. Dan ada tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang hidup, terutama yang disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu sattvik (dari sattva), rajasik (dari raja) dan tamasik (dari tama), yang hadir secara berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.
4. Manusia-manusia yang bersih memuja para dewa, manusia-manusia yang bernafsu memuja para yaksha dan para rakshasa, dan yang lainnya, yaitu manusia-manusia yang berada dalam kegelapan — memuja hantu-hantu dan roh-roh yang bergentayangan.
Shradda (iman) yang bersifat sattvik ini menunjukkan kemurnian atau kesucian orang-orang dengan sifat ini, yaitu memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para dewa-dewa yang dianggapnya Tuhan atau pengganti Tuhan. Dan sewaktu ajal mereka tiba, mereka ini pergi ke tujuan pemujaan mereka sesuai dengan imannya masing-masing. Mereka ini dapat saja mencapai penerangan atau nirvana pada akhir hayat mereka. Sifat-sifat rajasik adalah sifat-sifat yang penuh dengan energi. Iman rajasik adalah iman yang penuh energi, nafsu dan keinginan-keinginan bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, harta-benda, sukses dan lain sebagainya. Mereka-mereka yang punya kepercayaan rajasik ini memuja para yaksha (dewa-dewa pemberi harta dan kesejahteraan duniawi) dan para rakshasa (setan dan iblis). Sedangkan sifat-sifat tamasik adalah sifat-sifat kegelapan total yang dimiliki oleh mereka-mereka yang kurang sekali pengetahuannya akan kebesaran Yang Maha Esa, mereka amat serakah dan tidak suci, amat sensual, malas dan penuh akan sifat-sifat gelap lainnya. Demi hasrat dan jalan pintas ke sukses dan pencapaian kesejahteraan duniawi ini mereka memuja roh-roh yang sesat, hantu, jin dan kuasa-kuasa gelap yang cepat mendatangkan kenikmatan bagi mereka.
5. Manusia-manusia yang menjalankan disiplin-disiplin spiritual secara negatif, yang tidak dianjurkan oleh skripsi-skripsi suci, yang telah terbiasa dengan kemunafikan dan rasa egoisme dan telah terseret oleh kekuatan nafsu dan keinginan (duniawi).
6. Manusia-manusia semacam ini tak memiliki akal-budi. Mereka merusak elemen-elemen raga mereka dan Aku yang bersemayam di dalam raga ini. Ketahuilah bahwa orang-orang ini berpikiran iblis.
Cara pemujaan juga merefleksikan iman atau shraddha ini. Dan seandainya seseorang memuja sesuatu unsur alami atau yang lainnya dengan menyiksa tubuh mereka atau merusak tubuh ini dengan sesuatu ritus-ritus tertentu, maka tapa, pemujaan atau usaha spiritual ini tidaklah suci sifatnya, tidak sinkron dengan kaidah-kaidah suci yang tertera di kitab-kitab suci Hindu kita ini; mereka yang merusak raga mereka demi kepuasan duniawi ini sebenarnya merusak “kuil yang suci,” kuil Sang Kreshna yang dilahirkan sebenarnya dengan tujuan yang suci, yaitu menyembah dan mengenal Yang Maha Esa dan bukan menjadi budak dari nafsu mereka. Raga ini pantang untuk dirusak karena sebenarnya bukan milik kita dan seharusnya dipergunakan untuk maksud-maksud yang positif, dan seandainya orang-orang ini masih saja merasa lebih benar dari yang dianjurkan oleh skripsi-skripsi ini, maka manusia semacam ini adalah manusia yang egoistik dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan menghalalkan segala cara demi tercapainya maksud-maksud duniawi mereka.
7. Pangan yang diperlukan oleh semua makhluk terdiri dari tiga jenis. Begitupun bentuk pengorbanan, tapa dan dana. Dengarlah perincian-perinciannya.
8. Makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi dan sesuai, disukai oleh orang-orang yang bersifat sattvik.
9. Makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit disukai oleh mereka-mereka yang bersifat rajasik.
10. Makan yang tak segar, tak berasa, basi, cacat, tidak bersih adalah jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat tamasik.
Makanan yang dimakan seseorang pun merefleksikan karakter seseorang itu sendiri, yang didasarkan pada iman orang itu sendiri sesungguhnya. Seperti juga iman atau kepercayaan yang terbagi tiga, maka jenis makanan pun dibagi tiga:
a. Makanan sattvik, makanan jenis ini menambah kewibawaan, intelegensia, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Makanan jenis ini adalah yang mudah dimakan, beraroma, manis, mengandung cairan seperti sari-buah dan buah-buahan; menyehatkan dan sesuai dengan mereka-mereka yang bertemparamen sattvik. Contoh: gandum, beras, kacang-kacangan, mentega, susu, produk dari ternak (bukan daging ternak), buah-buahan dan sayur-sayuran segar dan matang.
b. Makanan rajasik adalah jenis makanan untuk mereka-mereka yang penuh dengan nafsu dan keinginan-keinginan duniawi, yaitu jenis-jenis makanan yang rasanya pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, keras dan menyengat seperti opium, tembakau, tamarin, cabai, gandum yang dibentuk alkohol dan lain sebagainya. Makanan sejenis ini menimbulkan sakit, penderitaan dan kesusahan.
c. Makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka-mereka yang hidup dalam kegelapan dan berpikiran gelap dan iblis. Mereka ini menggemari makanan yang tidak dimasak dengan baik, yang kotor, yang tidak ada rasanya, cacat, basi, tidak dapat digolongkan suci atau bersih. Contoh: daging, ikan, bawang, telur, daging-mentah, buah-buahan dan sayur-sayuran yang diasamkan, alkohol dan sisa-sisa makanan orang lain. Juga makanan hasil korupsi dan kejahatan termasuk golongan ini.
Makanan yang disantap kita seharusnya adalah makanan yang menyehatkan dan membersihkan diri kita. Hasil kerja kita yang halal adalah sattvik, dan seandainya kita memakan sesuatu dari uang hasil korupsi atau pekerjaan haram lainnya, dan seandainya kita menerima sesuatu pemberian atau makanan dari seseorang yang jelas-jelas kita ketahui uangnya berasal dari uang yang tidak jujur atau tidak halal, maka yang dimakan itu tidak sattvik. Sebuah pepatah Jerman mengatakan, “Seorang manusia adalah apa yang ia makan!” Dan ini memang benar adanya, karena berdasarkan makanan yang kita konsumsikan kemudian timbul berbagai jenis pikiran di dalam benak. Pikiran, jiwa dan hati kita, dan semua pikiran ini, kemudian menghasilkan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan kita. Jadi berhati-hatilah akan apa yang kita makan atau konsumsikan. Makanlah sesuatu dari orang-orang yang sifat dan rasa magnetismenya suci dan bersih. Seseorang yang pantas dimakan makanannya adalah ibu kita sendiri, istri yang berbakti, putri, saudara perempuan dan guru kita sendiri. Dan secara mental selalu mempersembahkan makanan ini sebagai ahuti (persembahan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini makanan yang dimakan ini akan memberikan kekuatan untuk pekerjaan kita dan juga untuk amal kita bagi semuanya. Dan sewaktu bersantap harap diperhatikan bahwa suasana di sekitar tempat makan ini tenang dan tidak berisik. Makanlah dengan diam-diam tanpa banyak berbicara, jauhkanlah pikiran dan pembicaraan yang tidak perlu. Ini penting sekali baik untuk segi kejiwaan maupun kesehatan badani. Cobalah!
11. Persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat sattvik, seandainya dipersembahkan sesuai dengan kaidah-kaidah suci, oleh orang-orang yang tidak menginginkan suatu imbalan, dan yang percaya dengan teguh bahwa persembahan (atau pengorbanan) ini adalah wajib sifatnya.
12. Persembahan (atau pengorbanan) yang dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan suatu imbalan tertentu atau demi suatu pertunjukkan belaka adalah persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat rajasik (penuh nafsu), oh Arjuna.
13. Persembahan (atau pengorbanan) yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah suci, di mana tak ada makanan yang dibagikan, tak ada mantra-mantra yang diucapkan, dan tak ada dana atau hadiah yang diberikan, yang kosong akan iman, adalah bersifat tamasik (gelap).
Pengorbanan atau persembahan pun berhubungan dengan karakter asli dari para pemuja, dan terdapat tiga kualifikasi dari persembahan atau pengorbanan ini:
a. Persembahan yang bersifat sattvik dilakukan oleh seseorang karena merasakan adanya kewajiban berdasarkan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa dan kaidah-kaidah suci. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan suatu keuntungan tertentu.
b. Persembahan secara rajasik adalah persembahan atau pengorbanan yang tidak tulus karena dilakukan dengan mengharapkan pamrih atau untuk suatu tujuan tertentu. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan demi mendapatkan kemasyhuran dan ada juga yang demi memamerkan kekayaan dan kekuasaan seseorang.
c. Persembahan secara tamasik adalah persembahan tanpa iman, yang dilandasi akan maksud-maksud gelap. Persembahan atau pengorbanan ini bertolak belakang dengan ajaran-ajaran suci.
14. Pemujaan kepada para dewa, kepada yang lahir dua kali, kepada para guru, dan kaum bijaksana; kemurnian, kejujuran (yang tidak ditutup-tutupi), disiplin spiritual bagi diri, dan tidak menyakiti siapapun — inilah yang disebut sebagai tapa-tapa bagi raga ini.
15. Kata-kata (wicara) yang tidak menyakiti seseorang, yang jujur, menyenangkan dan menguntungkan, dan mempelajari buku-buku suci secara konstan – inilah yang disebut sebagai tapa-tapa wicara ini.
16. Ketenangan pikiran, kelembutan, diam-diri, kendali-diri, berpikir (dan juga merasa) secara baik dan murni – inilah yang disebut tapa-tapa pikiran ini.
Tapa atau disiplin spiritual bagi seseorang pun dibagi tiga. Tapa yang benar adalah disiplin diri yang dilakukan pada raga, kata-kata (mulut dan pembicaraan) dan pikiran kita masing-masing sebagai berikut:
a. Tapa atau disiplin pada raga itu adalah dengan menyembah dan memuja kepada Yang Maha Esa secara teratur dan konstan; menyembah dan bekerja untuk para guru dan orang-orang yang bijaksana yang menjadi tempat kita belajar, kepada para pendeta dan Brahmin yang kita hormati dan pada individu-individu yang agung dan suci ajaran-ajarannya. Dalam tapa untuk raga ini tercakup juga disiplin yang kuat dalam membersihkan tubuh kita dari berbagai kekotoran duniawi dan juga benda-benda lainnya yang dapat membuat kita sakit. Juga kendali pada semu; indra-indra sensual kita adalah salah satu dari tapa-raga ini. Menjaga kesehatan raga kita dari berbagai kemungkinan terkena penyakit kotor dan penyakit-penyakit lainnya, berolah-raga secara teratur, berekreasi ke alam bebas, bermeditasi adalah tapa atau disiplin bagi raga kita, yang amat vital dan penting efeknya pada kehidupan spiritual kita.
Juga termasuk dalam tapa-raga ini, ialah kualitas-kualitas atau sifat-sifat seperti keterus-terangan atau kejujuran, tidak menyakiti sesama makhluk dan usaha-usaha bramacharya, yaitu mendisiplinkan diri dan raga kita agar jauh dari nafsu-nafsu badani. Jauhkanlah kemanjaan dalam hidup ini, hiduplah secara sederhana saja dai lebih alami. Jangan berpikir semasih ada pergunakan saja kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan Tuhan kepada kita, kemudian dengan landasan pemikiran semacam ini, kita berfoya-foya atau hidup yang mewah dan penuh dengan kenikmatan duniawi. Tetapi berpikirlah selama diberi kesempatan dan fasilitas ini kita malahan menggunakan secara minim dan yang perlu saja, dan ingat Yang Maha Esa tidak pernah menciptakan uang, rumah, AC, mobil dan benda-benda mewah lainnya, yang menciptakan semua ini adalah manusia. Yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa adalah alam, jadi kembalilah ke alam yang tak ada habis-habisnya ini, di alam yang murni ini terletak kebahagiaan dan obat kita untuk mengatasi semua problem kita. Semua yang nampaknya mewah dan praktis ini sebaliknya malahan membuat raga kita sakit karena kurang gerak dan jadilah kita budak dari semua milik kita yang mewah-mewah ini dan timbullah efek dari semua ini yang biasanya membuat kehidupan kita makin tergantung kepadanya, dan bukan sebaliknya. Padahal tubuh dan pikiran kita diciptakan sedemikian rupa agar makin banyak gerak dan semakin alami hidup kita maka semakin sehatlah raga dan pikiran kita akhirnya. Jauhilah dan kurangilah pembantu rumah-tangga yang berlebihan jumlahnya, sebisa mungkin kita bekerja sendiri semua urusan rumah-tangga kita dan bergeraklah semaksimum mungkin sambil bekerja. Inilah salah satu tapa-raga kita yang sehat dan sattvik sifatnya.
b. tapa-wicara atau disiplin pada kata-kata atau pembicaraan kita adalah disiplin diri kita dalam bertutur-kata. Jauhilah bualan-bualan kosong maupun kata-kata yang penuh dengan nada kebanggaan, sombong dan egois. Selalu berkata sejujur mungkin, tulus dan mengutarakan kata-kata yang baik, lembut dan bermakna, yang menyejukkan hati yang mendengarkannya. Sebuah pepatah Jepang mengatakan, “Satu kata yang lembut, menyejukkan tiga bulan musim panas.” Kata-kata yang jauh dari nafsu dan kekotoran adalah kata-kata yang harus selalu melekat pada bibir dan pikiran kita. Gunakanlah selalu kata-kata yang dapat menolong seseorang yang memerlukannya, (nasehat-nasehat) dan Jauhilah argumen-argumen yang menunjukkan rasa egoisme yang pribadi, seperti “ini punyaku, ini aku yang melakukannya, dan lain sebagainya.” Jauhilah kata-kata kasar dan didorong rasa amarah. Dekatilah Ia selalu setiap saat, setiap waktu baik sedang bekerja maupun tidak, dan selalu mengucapkan doa-doa, mantra-mantra suci dan “berdialoglah denganNya baik secara verbal maupun secara mental. Inilah tapa-wicara yang penting dilakukan kita semua, demi tercapainya disiplin spiritual kita yang lebih tinggi, yaitu disiplin kepada dan bagiNya.
c. Tapa-jiwa (atau pikiran) adalah: (1) Selalu membuat pikiran kita gembira dan balans (stabil) dengan menenangkan diri dan mencari ketenangan baik di tengah-tengah kesibukan maupun ketika sedang seorang diri. (2) Kelembutan atau ramah-tamah, tetapi ini tidak berarti kelemahan atau rasa pengecut, tetapi bersikap ramah, baik dan terus-terang, tenang dan welas-asih terhadap semua makhluk, manusia dan benda-benda. (3) Diam-diri atau tenang-diri tidak berarti kita harus bermeditasi sepanjang hari, atau diam seperti patung, atau bagaikan orang-mati dan tidak bergerak sama-sekali, atau juga lari dari pekerjaan dan kewajiban kita sehari-hari, melainkan berarti mengusahakan setiap harinya untuk sejenak meluangkan waktu kira-kira 10 menit atau satu jam, dan duduk bermeditasi atau “berdialog” dengan Yang Maha Esa secara tenang dan tidak terganggu. Ini baik untuk menjauhkan stress dan berbagai problem, tetapi lebih baik secara spiritual karena akan makin mendekatkan kita kepadaNya secara lambat laun tapi pasti. Hal ini dapat dilakukan di kantor, rumah, di toko, atau sambil berolah-raga jalan kaki misalnya, sambil berdiri di suatu tempat secara tenang dan lain sebagainya. Yang Maha Esa dapat dihubungi dengan cara apa saja dan di mana saja karena Ia Maha Hadir di alam semesta ini. Yang penting luangkan waktu sejenak pada waktu-waktu tertentu atau secara bebas, dan berusaha tenang dan menyatu denganNya. (4) Kendali pada pikiran dan (5) membersihkan perasaan kita. Kedua hal terakhir ini berarti janganlah berpikir yang tidak-tidak atau berspekulasi atau mencurigai sesuatu atau seseorang. Tetapi fokuskanlah diri padaNya selalu dan banyak berpikirlah mengenai hal-hal yang positif dan suci, dan yang tidak merusak jiwa dan mental kita. Seperti raga yang harus dibersihkan setiap hari dengan air bersih, maka jiwa dan pikiran kita pun harus dimandikan dan dibersihkan dengan selalu berpikir tentang Yang Maha Esa dan hal-hal yang positif, bersih, murni dan baik untuk semua yang di sekitar kita dan di seluruh alam semesta ini, dengan doa-doa dan mantra-mantra suci bagi semuanya (di alam semesta ini).
17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya dilaksanakan dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya dan tanpa mengharapkan pamrih.
18. Tapa-tapa yang dilakukan demi peragaan atau pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar mendapatkan rasa hormat, kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak stabil dan hanya sementara sifatnya.
19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan oleh mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa atau disiplin diri secara sattvik adalah kendali-raga, wicara dan pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan. Sedangkan tapa yang bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran dan bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan. Tapa tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin yang amat keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan karena sebenarnya secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali dan tidak mengarah kepada pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang disiplin semacam ini dapat menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu baik secara ragawi maupun secara batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan yang besar ke arah jalan spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan turun karenanya. Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah rasa sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha Esa; dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang boleh dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri, kemudian praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang menyiksa tubuh, tidak pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih baik melakukan suatu disiplin diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam, tetapi tidak juga yang santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin ini adalah pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang baik akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin ini juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan diri dan jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari, semua suka dan duka, semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan penderitaan secara stabil. Bukankah hidup kita sehari-hari tidak lain dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat saja. Semua itu bisa dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan disiplin diri ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya menghasilkan suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita, menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk dan sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa marah, dan keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah kunjung habis.
Suatu tapa yang baik dan sejati akan menghasilkan seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa pamrih, yang aktif berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang berkewajiban penuh kepada semua kewajiban-kewajibannya di lingkungannya, di negaranya dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang itu sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha Esa. tapa yang sejati menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara spiritual dan kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan jiwanya, karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan menghapus semua rasa takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang Maha Esa. Kalau ada yang ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita ini binasa, maka saliblah atau kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang penuh polusi, agar jauh dari kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa dan pikiran yang terkendali, bersih dan murni akan dihasilkan raga perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas dari polusi duniawi. Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga unsur-unsur yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri, pergunakan semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai kebutuhan kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan fasilitas anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin dirilah secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri kita yang sejati.
Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin dalam hidup ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya menjadi peminta-minta, tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari diubah sederhana. Pola hidup sederhana jangan hanya dijadikan semboyan pemanis bibir saja, tetapi harus dilaksanakan secara lahir dan batin, dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini adalah tanggung-jawab orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri dengan tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat dan penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah berpikir dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia ini sebenarnya amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia ini dalam keadaan telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan kita bawa serta? Semua ini hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya hanya penunjang saja untuk kehidupan kita, lalu untuk apa serba mewah dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar saja dan sisanya dalam jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias belaka? Sewaktu berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di kemudian hari sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama seperti kita datang ke dunia ini.
Intisari dari semua tapa dan disiplin diri spiritual ini ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu rupa agar anda jauh dari rasa memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya Yang Maha Esa saja yang seharusnya tampil sebagai tujuan kita bekerja, dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam jiwa sanubari kita, kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari semuanya yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha Esa akan mengisinya!
20. Pemberian yang diberikan, terdorong oleh rasa kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu kembali, dan diberikan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan kepada orang yang membutuhkannya –pemberian ini disebut sattvik (bersih).
21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari akan ada balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas – pemberian ini disebut rajasik (bersifat mementingkan diri sendiri).
22. Pemberian yang diberikan pada tempat dan waktu yang salah atau kepada orang yang tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa hormat atau dengan diiringi caci-maki — pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal yang jelas diperinci di atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat seseorang. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau perbuatan amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau benda-benda tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan tertusuk adalah dana, tersenyum memberi semangat pada seseorang yang kesukaran adalah dana. Menggali sumur, menyediakan tempat minum, membangun jalan, membangun tempat ibadah dan menanam pepohonan demi kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana. Bukankah sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya. Pemberian tidak selalu identik dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa habis-habisnya dan itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan hal ini? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sewaktu seseorang meninggal dunia, orang-orang bertanya harta-benda apa saja yang telah ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya amal-perbuatan baik apa saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal dunia? Pemberian yang ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti kata sebuah pepatah: “Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!” Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja merasa kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang yang merasa kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara duniawi mungkin adalah orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia bersyukur ke hadirat Yang Maha Esa untuk semua yang didapatkannya hari itu. Kalau saja semua ini dapat dihayati oleh semua insan di dunia ini, damai sentosalah kita semuanya.
Dana atau amal adalah perbuatan yang amat mulia sifatnya, yang dianjurkan oleh semua agama di dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah rasa simpati yang dalam dari hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan Yang Maha Esa yang lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora, makhluk-makhluk halus dan lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati menciptakan kedamaian, kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya. Perbuatan dana atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh Makna, ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya. Memberikan tanpa pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah dari Yang Maha Esa sesungguhnya.
Lihatlah Ibu Theresia, pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian dari India, yang telah menolong jutaan manusia hina-papah di India dan di bagian-bagian lain di dunia tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun juga. Memulai usahanya tanpa uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan Yang Maha Esa ia masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu Theresia inilah lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di muka bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap saja Ibu yang suci ini berkata, “Tuhan belum memberikan aku suatu kesuksesan, la hanya telah membuatku beriman.” Om Tat Sat.
23. “Om Tat Sat” – inilah yang dikatakan sebagai ketiga faktor penting dari Sang Brahman (Yang Maha Esa). Dengan ini terciptalah para Brahmin di masa lalu, Veda-Veda dan persembahan-persembahan (pengorbanan).
24. Maka dengan itu semua tindakan pengorbanan, persembahan (pemberian) dan disiplin spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi suci, dimulai dengan ucapan kata Om oleh mereka-mereka yang mengetahui akan Sang Brahman.
25. Mereka yang menginginkan pembebasan (penerangan) memulai tindakan pengorbanan, disiplin dan persembahan mereka dengan ucapan kata Tat (Itu), tanpa mengharapkan pamrih.
26. Kata Sat dipergunakan dengan menyadari realitas dan kebenaran. Begitu juga, oh Arjuna, kata Sat dipergunakan untuk tindakan-tindakan terpuji.
27. Keteguhan dalam pengorbanan, disiplin-disiplin spiritual dan pemberian dana juga, disebut “Sat,” dan juga tindakan yang terpusat pada hal itu disebut Sat.
28. Apapun yang dilakukan tanpa iman, apakah itu persembahan (dalam suatu pengorbanan), dana atau disiplin spiritual, atau apa saja yang lain daripada itu, disebut asat, oh Arjuna! Pekerjaan semacam itu tak ada nilainya (artinya) baik di sana maupun di sini.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata mistik yang disebut-sebut di pustaka-pustaka suci Hindu. Ada hubungannya yang amat dalam dan bersifat mistik, suci, sekaligus spiritual antara kata-kata ini dengan semua tindakan yagna, tapa dan dana.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata yang menyatu artinya dan merupakan manifestasi dari Yang Maha Esa, Sang Para Brahman dan semua tindakan-tindakanNya. Kata Om berarti supremasi Yang Maha Esa yang tanpa ada tandingannya. Yang Maha Esa atau Sang Brahman begitu tinggi dan agung bentuk dan sifatNya sehingga tidak ada suatu kata pun yang dapat menggambarkanNya atau melukiskanNya dengan pasti apa itu sebenarnya Yang Maha Kuasa ini. Kata Om maka dari itu dijadikan lambang dari supremasi atau keagunganNya. Om kata filsuf shankara dapat berarti “setiap kata tunduk di hadapan Yang Maha Esa.” Begitu agung makna simbol atau kata Om ini bagi orang-orang Hindu. Manusia hanya bisa menangkap apa arti Yang Maha Esa tetapi tidak bisa menggambarkan atau mengekspresikan Apa Itu Yang Maha Esa sebenar-benarNya.”
Setiap agama berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan atau bahkan memberikan nama dan arti untuk Yang Maha Esa dengan versinya masing-masing, tetapi sesungguhnya kita manusia begitu terbatas kemampuannya sehingga tak akan pernah dapat dan tahu apa itu Yang Maha Esa sesungguhnya dengan segala manifestasi dan keagunganNya. Setiap agama dan ajaran suci memanggilNya dengan nama dan sebutan suci masing-masing, begitu juga para Aryan yang menjadi nenek-moyang dari orang-orang Hindu di India memberikanNya suatu nama atau sebutan suci, yaitu Om. Dengarkanlah gema nama ini dalam alunan Sang Bayu, dan gelegarnya suara ombak, dalam alunan aliran sungai yang mengalir, dan dalam cahaya bintang-bintang di langit, dalam kicauan dan lagu-lagu alam para burung di alam-bebas, dan dalam gegap-gempitanya suara halilintar, dalam lagu-lagu pujaan seorang bhakta (pemuja)Nya, dalam suara lonceng-lonceng di gereja dan di kuil, dalam puja-puji dan kidung-kidung suci di stupa-stupa dan suara azan yang merdu di mesjid-mesjid. Semua ini menyebut nama Yang Maha Esa, yang Tak Ada TandinganNya: bagi orang Hindu semua itu suara Om yang tak ada taranya di alam semesta ini. Sebutkanlah kata sakti ini sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya, karena Om inilah lagu kehidupan, lagu Yang Maha Esa, lagu penciptaan Yang Maha Esa, dengan ini diciptakannya alam semesta beserta segala isinya. Sebutkanlah mantra Om ini tujuh kali atau seterusnya dan biasakanlah kita ini selalu merasa hadir di tengah-tengah kebesaran Yang Maha Esa, di tengah-tengah Yang Maha Esa Itu Sendiri.
Om adalah meditasi, Om adalah kesucian diri kita, Om adalah hidup kita sehari-hari, Om adalah aspirasi kita kepada Yang Maha Esa, kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om adalah setiap tindakan kita yang tanpa pamrih, tanpa keserakahan dan motivasi apapun juga. Hadirkan diri kita secara suci-bersih di hadapan setiap hal, tindakan dan kewajiban kita dengan memulai kata Om selalulah menghayatiNya dengan tulus dan murni.
Kata Tat mengekspresikan universalitas Sang Brahman, Yang Maha Esa. la adalah Sifat UniversalNya. Tuhan Yang Maha Esa ini menurut Shankara adalah kesadaran Yang Maha Suci. Tat dengan kata lain dapat dan baik diartikan sebagai Kesadaran Universal Yang Suci. “Bermeditasilah,” kata Shankara, “di dalam kesadaranmu sendiri.” Meditasi ini mengarah ke arah penerangan atau pembebasan. Kata Sat mengekspresikan Kebenaran dan Kebaikan Sang Para Brahman. Sang Brahman ini adalah Yang Maha Baik, dan Ia hadir dalam setiap jiwa kita dan para makhluk-makhluk lainnya sebagai Yang Baik, Yang Suci, dan berbagai manifestasiNya seperti Itikad Yang Suci, Itikad Yang Baik, semua unsur yang baik dan suci dalam diri kita. Ia menuntun kita dan menyadarkan dan memberitahukan kita apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Tuhan Yang Maha Esa adalah Itu. Ia juga berarti “Apa,” yaitu “Kebaikan.” Sat juga berarti memproduksi yang baik dan suci. Semua tindakan tanpa pamrih dan demi kewajiban kita kepada Yang Maha Esa adalah Sat. Semua tindakan yang bukan demi Yang Maha Esa adalah asat, tidak realis, tidak benar atau tidak nyata.
Om Tat Sat adalah mantra suci Bhagavat Gita. Mengulang-ulang mantra ini adalah suatu tindakan sakramental, yang akan membukakan pintu berkahNya bagi yang melakukannya. Orang-orang Kristen dan Buddhis, Muslim dan Yahudi pun masing-masing mempunyai ucapan-ucapan atau formula-formula suci, yang kalau diucapkan menjadi semacam jembatan spiritual bagi yang melakukannya dengan Yang Maha Esa, dan yang dapat memberikan semacam sakti atau kekuatan spiritual bagi yang telah menghayati kata-kata suci ini. Kata-kata suci ini juga menjauhkan kita dari segala efek-efek dan pengaruh-pengaruh negatif yang gelap, buruk dan yang bersifat iblis. Penghayatan akan mantra-mantra suci mempengaruhi jiwa kita sehingga lama-kelamaan menjadi suatu kesatuan dan tenaga spiritual bagi jiwa-raga kita. Berbagai kata suci dalam berbagai agama dapat diterangkan secara singkat seperti berikut ini: “Sat Nam.” “Tuhan,” “kasih,” “Kreshna,” “Kristus,” “Hare Ram,” “Hari Bol,” “Haq Maujud,” “Rahman,” “Rahim,” dan banyak lainnya. Kalau diucapkan berulang-ulang setiap saat, hari dan pada setiap kesempatan yang tersedia, dengan dedikasi dan kesetiaan kita yang tulus, dengan penghayatan dan maksud membersihkan dan menyucikan diri dan pikiran kita, dan sambil menjauhkan segala ego kita, maka semua itu akan mempertebal iman kita kepadaNya. Seorang sufi pernah berkata, “Pintu kata-kata ini akhirnya terbuka dan Sang Jiwa pun masuk kedalam Keadaan Yang Nyata.” Mantra-mantra atau kata-kata suci yang diulang-ulang sepanjang hidup kita pasti suatu saat akan mengantar kita ke alamNya yang penuh dengan cahaya dan penerangan Ilahi Bagi seorang Hindu, setiap bentuk perbuatan, pekerjaan, yagna dan lain sebagainya dimulai dengan kata-kata Om Tat Sat. Mulailah semuanya dengan kata Om, lalu mulailah dengan puja atau mantra yang akan dibacakan. Tidak ada pekerjaan, mantra atau suatu tindakan yang tidak dilakukan tanpa diawali kata Om. Inilah salah satu kaidah atau hukum suci yang terdapat di kitab-kitab suci Hindu kuno, yang kesemuanya juga adalah hasil kerjaNya semata, hasil kerja dari Om Tat Sat Itu Sendiri, begitu pun dengan semua ciptaan dan kreasiNya, semua kasih dan berkahNya, semuanya adalah Om Tat Sat, berawal dari Itu dan berakhir ke Itu juga. Demikianlah, seyogyanya kita memulai semua perbuatan kita, apa saja pekerjaan atau perbuatan itu dengan kata Om Tat Sat.
Semua tindakan tanpa kata-kata suci adalah asat. Walaupun semua tindakan baik sifatnya, tetapi tanpa penghayatan akan kata-kata suci ini secara sejati tidak akan menghasilkan apapun juga baik di dunia ini maupun di loka-loka lainnya. Om Tat Sat adalah pencetusan iman kita kepadaNya, dengan kata lain mengingatNya dan mendahulukanNya untuk dan dalam setiap tindakan atau perbuatan kita yang berarti mengutamakanNya dan bekerja demi la semata secara tulus. lalah semua ini sebenarnya, la juga Hidup dan Tujuan kehidupan ini sebenarnya. Tanpa iman kepada Yang Maha Kuasa, semuanya jadi tidak berarti. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab ketujuh-belas yang disebut:
Shraddha Traya Vibhaga Yoga Atau
Yoga Ketiga Bentuk Sifat Kepercayaan (Iman).

Bab 18 – Kata Terakhir
Berkatalah Arjuna:
1. Aku berhasrat, oh Kreshna, mengetahui kebenaran tentang sanyasa dan tentang tyaga.
Arjuna sebenarnya bertanya dan ingin mengetahui apakah perbedaan antara sanyasa dan tyaga. Sanyasa adalah meninggalkan setiap tindakan, perbuatan dan aksi (kamya-karma), yaitu tindakan dan perbuatan yang diikuti oleh keinginan-keinginan tertentu. Tetapi dalam hidup ini ada saja perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu yang tidak bermotif egois seperti makan, tidur, mandi, jalan dan lain sebagainya yang tak dapat ditinggalkan atau diserahkan kepada Yang Maha Esa dalam arti harfiah, baik oleh seorang yang teramat suci sekalipun. Sedangkan kalau seseorang sama sekali tak bekerja atau berbuat sesuatu, maka orang semacam ini pun tentunya tak dapat disebut seorang sanyasin.
Sedangkan tyaga berarti penyerahan total hasil dari setiap tindakan, perbuatan dan aksi kita ini. Setiap buah atau hasil dari berbagai perbuatan kita dipasrahkan atau dikembalikan kepadaNya lagi. Semua pekerjaan orang semacam ini (sanyasin) adalah kewajibannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu. Pekerjaan dan perbuatannya penuh dengan dedikasi semata; dedikasi inilah sebenarnya motor penggerak dari individu-individu semacam ini, dedikasi yang tanpa pamrih dan demi Ia semata.
Seorang tyagi (penganut tyaga) tidak akan menjauhi ketiga pekerjaan utamanya, yaitu: yagna, dana, dan tapa. Tindakan-tindakan ini baginya adalah kewajiban, disiplin bagi diri pribadinya dan untuk tujuan sosial bagi sesamanya, berdasarkan kewajiban dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa. Perbuatan dan pekerjaan ini bukan merupakan ikatan-ikatan duniawi tetapi sebenarnya adalah jalan ke arah pembebasan atau penerangan baginya. Sanyasa atau tyaga tidak berarti menjauhi pekerjaan atau hal-hal yang bersifat duniawi dan segala efek atau aktivitasnya, tetapi berarti tetap bekerja tetapi tanpa suatu motivasi, imbalan atau pamrih yang penuh dengan ego, keserakahan dan harapan. Semuanya seharusnya dilakukan dan dipersembahkan kembali kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Para resi sadar bahwa sanyasa itu adalah penyerahan dari bentuk-bentuk pekerjaan yang diikuti oleh nafsu dan keinginan-keinginan tertentu; sedangkan tyaga oleh mereka-mereka yang bijaksana diartikan sebagai penyerahan total seluruh hasil atau buah sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang.
3. “Aksi harus dilepaskan karena ibarat iblis,” kata sementara pemikir. “Aksi-aksi seperti dana dan disiplin spiritual tidak boleh dilepaskan,” kata yang lainnya.
Banyak pemikir atau orang-orang pintar, para penganut ajaran Kapila (yang disebut ajaran Sankhya), mengutuk semua bentuk aksi, tindakan dan perbuatan karena bagaimanapun juga kata mereka tak ada pekerjaan, aksi atau sesuatu perbuatan yang tanpa maksud dan motif, sekecil apapun tindakan tersebut. Jadi menurut mereka setiap pekerjaan ada motivasinya, dan itu berarti menyandang dosha, dan dosha (dosa) inilah penyebab keterikatan kita pada dunia ini. Jadi semua bentuk aksi atau tindakan harus dilepaskan. Tetapi para pemikir golongan lainnya, yang disebut Mimansaka, berpendapat tindakan atau perbuatan pengorbanan (yagna), tapa dan dana harus dilaksanakan karena tindakan-tindakan ini menyucikan diri dan membantu seseorang mendaki tahap-tahap evolusi spiritualnya.
Apa yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita sebenarnya adalah melepaskan semua keterikatan-keterikatan akan hasil atau buah dari semua yang kita lakukan dan perbuat. Dengan kata lain terjadilah kehendakNya adalah arti dari ajaran Bhagavat Gita. Semua pekerjaan atau kewajiban sehari-hari kita harus dilakukan demi kebenaran dan kebaikan (dharma) dan dedikasi kita kepadaNya. Seseorang benar-benar bertindak seandainya ia bertindak atau bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari hasil perbuatannya.
4. Dengarkanlah sekarang, oh Arjuna, kesimpulanKu mengenai penyerahan total akan buah atau hasil kerja seseorang. Penyerahan total dari hasil kerja ini terbagi tiga sifatnya.
5. Perbuatan (tindakan) pengorbanan, dana (amal) dan disiplin-spiritual tidak boleh diabaikan, tetapi wajib dikerjakan, karena pengorbanan, dana dan disiplin spiritual adalah unsur-unsur yang menyucikan bagi mereka yang bijaksana.
Yagna atau pemujaan atau pengorbanan/persembahan adalah kewajiban bagi setiap manusia terhadap Yang Maha Kuasa. Dana atau amal adalah kewajiban terhadap guru-guru spiritual dan terhadap masyarakat atau yang membutuhkannya. Tapa atau disiplin spiritual adalah kewajiban kita terhadap diri sendiri sebenarnya. Mengabaikan ketiga tindakan positif ini sama saja mengotori diri sendiri dengan unsur-unsur duniawi yang negatif. Lakukanlah semua tindakan ini secara sattvik dan bersihkanlah raga, hati dan jiwa kita dari noda-noda duniawi ini.
6. Tetapi tindakan-tindakan ini pun harus dilakukan dengan mengesampingkan sesuatu pamrih. Inilah, oh Arjuna, keputusan dan pandanganKu yang final.
Jadi walaupun ketiga faktor penting di atas harus dilakukan, tetapi tetap saja menurut keputusan akhir (keputusan final) Sang Kreshna, perbuatan-perbuatan itu harus dikerjakan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dalam bentuk apapun juga, baik secara spiritual maupun duniawi. Ini sudah merupakan keputusan Yang Tegas, dari Yang Maha Esa, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di pihak lain setiap tindakan sehari-hari apapun juga harus tetap dilaksanakan tanpa pamrih tetapi demi kewajiban kita kepada semuanya dan terhadap Yang Maha Esa dan lokasangraha (kesejahteraaan demi kemanusiaan). Yang penting adalah penyerahan total dari semua nafsu dan keinginan, semua bentuk ego yang mementingkan diri sendiri. Kalau kita tidak mau menyerahkan pikiran-pikiran negatif ini secara total, maka timbullah kama (nafsu dan keinginan) yang sebenarnya sudah ada dan hadir dalam pikiran dan indra-indra kita.
Sering timbul pertanyaan bagaimana caranya untuk menyingkirkan kama ini? Menurut teori di Barat yang diilhami oleh Freud, maka sebaiknya kama dijadikan teman saja dan semua keinginannya dipenuhi saja. Tetapi ajaran Hindu menolak mentah-mentah hal ini, karena kama ini ibarat api dan kalau dipenuhi terus menerus semua hasrat-hasratnya maka ibarat memberi minyak pada api ini, yang akibatnya adalah makin membara dan membesarnya api ini. Lalu ada ajaran yang mengatakan tindaslah kama atau nafsu ini. Tidak, menindasnya tidak menolong sama-sekali, karena bentuk nafsu atau kama ini tidak dapat ditindas karena sifat-sifatnya yang tidak dapat dimengerti dan amat misterius, apalagi oleh mereka yang masih jauh dari jalan spiritual.
Jalan yang benar untuk menjauhkan kama atau nafsu ini adalah dengan abhyasa atau meditasi, dengan usaha upaya atau praktek yang berketerusan. Dengan kata lain, seperti yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita, yaitu dengan kendali diri yang disertai dengan penuh kesadaran atau mawas diri. Dengan kesadaran dan tekanan pada pikiran kita bahwa sebenarnya indra-indra dan nafsu kita juga bisa diarahkan ke arah yang positif secara spiritual dan duniawi, yaitu ketenangan dan kekuatan, kesucian dan kebenaran. Langkah demi langkah, secara perlahan tetapi pasti kita harus mengarahkan pikiran kita dan mengendalikannya (bukan menghentikannya sama sekali, tetapi mengendalikannya!) secara positif. Secara perlahan pastikan diri kita bahwa pemuasan nafsu-nafsu indra-indra kita secara tanpa kendali itu bukanlah cara dan jalan yang baik, begitupun menindas nafsu ini bukan juga jalan keluar. Jalan yang terbaik adalah yang terletak di tengah-tengah kedua metode tersebut, yaitu kendali-diri dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang beraneka-ragam ini dan mempergunakannya seperlunya saja dan secara positif. Sadarlah akan suatu pengetahuan, yaitu tubuh kita ini dibentuk ibarat mata-pisau yang tajam dan peka; pisau itu dapat dipergunakan untuk tujuan positif seperti memotong sayur-sayuran dan kayu, atau untuk hal-hal negatif seperti membunuh atau merampok orang. Lalu bagaimana seharusnya kita gunakan tubuh ini dan semua indra-indranya. Untuk tersesat di dunia ini tanpa kendali dan terikat selama-lamanya secara duniawi atau untuk mengabdi dan kembali mengenal Yang Maha Esa. Dalam melakukan kendali diri yang penuh kesadaran ini, maka setahap demi setahap akan terbuka horizon baru dalam kehidupan kita dan akan nampak pergantian yang ajaib, misterius dan penuh dengan mukjizat yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena merupakan suatu pengalaman yang misterius dan spiritual. Seseorang yang indra-indranya terkendali dan terpakai secara positif akan menemui pengalaman-pengalaman unik, karena jiwa dan pikirannya yang bersih akan melakukan kontak-kontak ke obyek-obyek indranya dengan hasil yang berlainan sifatnya dari yang dialami selama ini. Kontak-kontak spiritual akan berlangsung secara otomatis, ingat pisau yang bermata dua, begitu pun indra-indra kita dapat dipergunakan secara duniawi dan secara spiritual, suatu potensi yang tersembunyi tetapi amat dahsyat karena kita tidak tahu akan hal ini selama kita terjebak dengan yang duniawi. Setelah itu akan timbul, secara perlahan tetapi pasti, sinar atau penerangan dalam hidup kita. Dan sekali ini tercapai maka seseorang yang telah hasil kerjanya secara total kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih, akan menjadi seseorang yang tetap bekerja di dunia ini sesuai dengan kewajibannya, tetapi sama sekali tanpa nafsu atau keinginan duniawi, karena ia telah mendapatkan sesuatu yang lebih menarik lagi dari semua itu, sesuatu kekuatan yang misterius dan membahagiakannya secara lahir dan batin, ia pun akan menjadi pusat dan inspirasi atau penerangan bagi mereka-mereka yang masuk ke dalam radius pengaruhnya. Jalan ke arah ini memang nampaknya sukar untuk manusia, tetapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini seandainya seseorang telah beritikad ke arah itu, karena memang setiap manusia diberikan potensi yang amat besar untuk melakukannya. Jadi terserah kita lagi, jalannya memang sukar, dan banyak jatuh-bangunnya, banyak jurang dan jeram yang menghadang, tetapi Yang Maha Esa sendiri secara “pribadi” akan menuntun kita, akan membimbing kita dan mengajarkan kita cara-cara mengatasi semua rintangan ini dan individu-individu yang kuat akhirnya akan sampai kepadaNya, karena itulah janji Yang Maha Esa kepada kita semua dan itulah tujuan yang dimaksud olehNya, yang telah ditentukan olehNya. Tanyakanlah kebenaran akan hal ini kepada mereka-mereka yang dianggap telah mencapai kesadaran ini, dan semua kebenaran akan dijawab dengan kebenaran. Om Tat Sat.
7. Sebenarnya mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan yang sudah seharusnya itu, adalah tidak benar. Memasrahkan dengan cara tersebut karena kebodohan, disebut bersifat tamasik (gelap).
Pekerjaan atau perbuatan yang sudah seharusnya menjadi kewajiban seseorang dan merupakan keharusan sehari-hari (tertera jelas dalam pustaka-pustaka Hindu), tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apapun juga. Berbuat demikian menandakan kebodohan yang amat dalam dari si pelaku tersebut. Begitupun tindakan seperti dana, tapa dan yagna, berulang-ulang ditekankan agar tidak diabaikan, karena merupakan penyucian dari jiwa dan raga kita.
Tyaga sendiri terbagi dalam tiga sifat, yaitu tamasik, rajasik dan sattvik. Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik di mana lepas sudah bahkan itikad akan hasil atau buah dari tyaga itu sendiri. Sedangkan dalam sifat tyaga yang tamasik terlihat jelas dominasi dari keterikatan (moha), ilusi, kebodohan, kegelapan dan hasrat untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu baik secara spiritual maupun duniawi. Tyaga semacam ini disebut gelap sifatnya. Misalnya: seorang pria meninggalkan semua pekerjaannya atau kewajiban rumah-tangganya demi seorang wanita atau demi menuntut suatu kesaktian tertentu untuk tujuan duniawi, ini disebut cinta-duniawi yang menyesatkan dan bukan tyaga pemasrahan total.
8. Seseorang yang tidak mau bertindak sesuatu karena merasa tindakan itu menyusahkannya atau khawatir akan menjadi derita untuk fisiknya, disebut melakukan tyaga bersifat rajasik. Dan tyaga semacam ini tidak akan menghasilkan keuntungan apapun juga.
Tyaga bersifat rajasik tidak akan menghasilkan mukti (pembebasan) karena seorang yang melakukan tyaga ini hanya melakukannya demi menjauhi derita, tantangan hidup dan kesusahan atau kerja keras.
9. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan seperti yang telah diwajibkan, oh Arjuna, karena harus dilakukannya, tanpa keterikatan dan pamrih — tyaga semacam itu dipandang sebagai bersifat sattvik (bersih).
Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik, yaitu tyaga yang tanpa keterikatan, hasil atau buah. Pekerjaan yang dilakukan ini sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan anjuran dan kaidah-kaidah yang tertulis di buku-buku suci. Dan semua kewajiban ini dilaksanakan sebagai kewajiban semata tanpa mencari atau mengharapkan sesuatu keuntungan, imbalan dan rasa egoisme.
10. Seseorang bijaksana yang telah diliputi oleh sifat-sifat sattva (kesucian), yang keragu-raguannya telah terbuang jauh — seseorang yang pasrah semacam ini tidak membenci sesuatu tindakan yang tidak menyenangkan, juga tidak terikat pada suatu tindakan yang menyenangkan.
Seorang tyagi (pelaksana tyaga) yang telah pasrah total kepada Yang Maha Esa, yang telah menyerahkan diri dan semua tindakan-tindakannya sekecil apapun perbuatan atau tindakan tersebut kepadaNya dan telah mencari dan mendapatkan perlindunganNya, tak akan pernah ragu-ragu dalam bertindak apapun juga. Baik itu tindakan nikmat dan memberikan kepuasan dan kesenangan ataukah tindakan itu memberikan rasa derita, kegagalan atau kedukaan, baginya sama saja sifatnya. Baginya yang wajib adalah bekerja, dan semua emosi, hasil atau efek dari pekerjaan itu tidak penting sifatnya karena ia sadar bahwa ia tidak menghasilkan atau memberikan suatu efek kepada setiap tindakannya, melainkan semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dan terjadilah kehendakNya sesuai dengan keinginanNya, ia hanya alat dan sebuah alat hanya berkewajiban untuk bekerja sewaktu dipergunakanNya dan tidak berhak untuk memprotes majikan yang mempergunakannya ataupun menilai hasil kerja dari alat itu sendiri. Semuanya terserah kepadaNya. Baginya nikmat dan derita sama saja rasanya, saling mengisi malahan, dan semua itu diterimanya dengan sama rata dan tanpa banyak mengeluh. Jadi dengan kata lain, Sang Kreshna Yang Maha Pengasih sedang mengajarkan Arjuna dan kita semua agar menerima dan memainkan peranan kita masing-masing di dunia ini secara setia dan penuh semangat. Jangan berduka atau bersuka baik dalam kegagalan maupun dalam kesuksesan. Pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Esa!” Karena hanya kehendakNya saja yang akan terlaksana, bukankah kita tidak tahu mengapa kita dilahirkan di dunia ini, dan sekali kita lahir dan tumbuh, lalu mengapa harus kita yang mengatur hidup ini, mengapa tidak dikembalikan semua skenario kehidupan ini kepada Sang Sutradaranya sendiri. Camkanlah pesan ini dan jadilah sebuah alat yang baik atau seorang pemain sandiwara kehidupan ini yang baik dan penuh dedikasi.
Seseorang yang bekerja sesuai dengan kewajibannya sadar bahwa suatu kewajiban yang dilaksanakan tanpa pamrih akan menuntunnya ke arah penerangan Ilahi, ke arah pembebasan dari ikatan dan derita duniawi. Seseorang yang secara sejati bekerja tanpa pamrih tidak akan pernah mau mengkhayal mengharapkan sedikit pun akan penerangan Ilahi, semua pekerjaan ia lakukan secara tulus dan penuh dengan tekad, yaitu dengan pemikiran terjadilah kehendakNya semata, dan pekerjaan adalah hukum alam di dunia ini bagi semuanya, sebagai misi yang diembannya dari Yang Maha Esa. Itulah kaidah atau hukum spiritual ini — yakinlah akan Yang Maha Esa dan semua kehendakNya. Tyaga yang sejati berarti bekerja tanpa pamrih, bukan tidak bekerja sama sekali.
11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang memiliki raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya — disebut sebagai seorang tyagi.
12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya – ketiga sifat ini adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan perbuatannya. Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil perbuatannya, tak ada semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak mengabaikan pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di sloka di atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan tanpa pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya. Bagi orang semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu efek atau buah (karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu dengan kehendakNya. Di Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah seperti tyaga dan sanyasa, tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini sebenarnya adalah istilah-istilah alternatif yang dipergunakan oleh Sang Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita. Sang Kreshna pada prinsipnya tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau mengabaikan pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari semua kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk setiap pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai (tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana lagi, karena ia sudah tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan Yang Maha Esa.
13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab, penyelesaian semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin Sankhya.
14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang Jiwa (Karta) berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan yang kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima penyebab atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam, yaitu raga atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam (rumah-tinggal) Sang Jiwa dan berbagai keinginan kita. Yang pertama ini adalah raga duniawi atau jasad kasar kita. Yang kedua disebut karta atau sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain dan tidak bukan adalah sang jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja ego. Bergabung dengan Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang Asal dan Asli, yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun lain berkata “aku,” “akulah yang memiliki ini dan itu,” “akulah yang berbuat,” dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka rasa ego ini harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini. Yang ketiga disebut karanam atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa intelek, dan ahankara kita. Yang keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi prana atau energi-vital atau nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam, takdir, sesuatu yang tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang menentukan dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap usaha dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua tindak-tanduk kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang menjadi penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang negatif, baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.
15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui raganya, kata-kata dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah – kelima unsur inilah penyebabnya.
16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya, yang karena tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya pelaku (setiap perbuatannya) — sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari setiap tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini disebut sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.
17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang pengertian (intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang ini, ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa Jawa), dan selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama itu juga segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang Kreshna (Yang Maha Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah alat dariNya belaka, tidak lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa “akulah yang sebenarnya berbuat,” dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati Diri, dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya. Tetapi jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang rasa ego, atau fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang ekstrim!) masih tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka penghayatan yang salah akan berakibat amat fatal bagi sesamanya. Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk memahami sloka ini? Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara sejati dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio atau intelektual anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan di sloka ini. Mereka yang telah secara total berlindung di dalam Yang Maha Esa dan pasrah dengan segala kehendakNya, yang telah melewati rasa dualisme yang bertentangan, akan tahu secara sadar (sejati) akan makna dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
18. Pengetahuan, obyek pengetahuan (hal-hal yang diketahui), subyek yang mengetahui (yang mengetahui), adalah tiga unsur stimulus ke arah setiap tindakan. Sang alat, tindakan, dan sang jiwa adalah tiga unsur gabungan dari setiap tindakan.
Setiap tindakan ada dua penyebabnya: subyektif dan obyektif. Yang subyektif ini dimaksudkan dengan rangsangan-rangsangan awal dari setiap tindakan, yaitu suatu kondisi sebelum suatu tindakan diambil, yaitu konsep yang tergambar dahulu dalam benak pikiran, yang lalu ditransformasikan dalam bentuk tindakan ragawi. Keadaan ini disebut karmachodana, dan hal ini terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, yang diketahui dan yang mengetahui.
Sedangkan yang obyektif disebut karmasangraha. Sewaktu sesuatu tindakan dilakukan, maka ada tiga faktor yang menyertainya: karana, yaitu alat, instrumen atau indra-indra kita; kemudian subyek tindakan/aksi, yaitu karta, Sang Jiwa; dan akhirnya, obyek tindakan/aksi, yaitu karma itu sendiri, yaitu akhir atau tujuan yang ingin dicapai oleh tindakan yang dimaksud. Dengan kata lain, karmachodana ini adalah perencanaan secara mental dan karmasangraha adalah perbuatan atau tindakan hasil dari perencanaan secara aktual.
19. Pengetahuan, aksi (tindakan) dan sang pemeran dikatakan dalam pengetahuan tentang sifat-sifat (guna-guna dalam filosofi Sankhya), ada tiga jenis saja, sesuai dengan perbedaan sifat-sifat (guna-guna) ini. Dengarkanlah juga dengan seksama mengenai hal ini.
20. Sesuatu pengetahuan dengan mana seseorang melihat Yang Maha Esa dan Tak Terbinasakan di dalam semua makhluk — tak terpisah-pisah di dalam keterpisah-pisahan – ketahuilah pengetahuan tersebut bersifat sattvik (bersih).
Dalam sesuatu kepercayaan yang bersifat sattvik, maka Yang Maha Esa dianggap Satu-Satu-Nya Inti Kehidupan yang hadir dalam setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Yang Maha Esa ini juga disebut sebagai Avyayam, yaitu Tak Terbinasakan, juga disebut sebagai Avibhaktam, yaitu Keseluruhan Yang Tak Terpisahkan.
Yang Maha Esa itu hadir secara sama rata dalam setiap makhluk, benda dan manusia. Baik dalam seorang kaya atau miskin, dalam seorang kriminal maupun dalam seorang pendeta, hadirlah Yang Maha Esa secara sama dalam setiap jiwa ini, tanpa diskriminasi atau perbedaan sedikitpun. Walau di alam semesta ini terdapat jumlah jiwa-jiwa yang tak terbatas dan terhitung jumlahnya, pada hakekatnya semua jiwa-jiwa ini ber Intisari atau berasal dari Satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi dengan kata lain, semua jiwa ini sifatnya Eka atau Satu dan identik dengan Yang Maha Esa. Pengetahuan atau kesadaran semacam ini disebut bersifat sattvik.
21. Pengetahuan yang melihat berbagai-ragam kelainan dalam berbagai makhluk-mahuk, setiap makhluk lain dari yang lainnya, yang beraneka-ragam pengetahuan itu ketahuilah olehmu sebagai rajasik.
Seseorang yang berpengetahuan rajasik memandang setiap makhluk atau benda di dunia ini sebagai terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri. Bagi orang semacam ini setiap individu makhluk, atau benda adalah unsur yang berbeda-beda. Pengetahuan rajasik adalah pengetahuan tentang nama dan rupa seseorang belaka, bukan pengetahuan tentang Intisari yang sejati. Ibarat seseorang yang tahu bahwa sesuatu benda disebut tempayan, tetapi tidak tahu bahwa benda tersebut dibuat dan berasal dari apa. Ibarat seseorang mengetahui apa itu lampu, tetapi tidak mengenal unsur cahaya di dalamnya, atau ibarat mengenal yang namanya baju tetapi tidak tahu unsur apa yang menjadi bahan dasar dari baju tersebut.
Bagi seorang yang berpengetahuan rajasik semuanya nampak berbeda-beda dan berlainan derajatnya. Bagi orang semacam ini status seseorang dewa, brahmana atau seekor tikus itu lain, padahal sabda Sang Kreshna semua yang ada di alam semesta ini berintikan satu unsur yang sama, yaitu Yang Maha Esa.
22. Pengetahuan yang tergantung pada suatu unsur atau obyek yang seakan-akan adalah segala-galanya, tanpa mau tahu akan asal-usul unsur tersebut, tanpa mau menyadari yang realitas, dan berpandangan sempit – disebut sebagai pengetahuan yang tamasik.
Pengetahuan yang bersifat tamasik adalah pengetahuan yang palsu dan tak berdasar sama sekali. Orang yang berpengetahuan ini amat sempit pandangannya. la melihat suatu obyek kecil sebagai sesuatu yang amat penting dan lalu bergantung kepada obyek tersebut seakan-akan tidak ada lagi yang lainnya di dunia ini. Misalnya seseorang yang mencintai seorang wanita cantik dan menganggap wanita tersebut sebagai segala-galanya di dunia ini, atau seseorang berpikir bahwa keluarganya adalah di atas segala-galanya di dunia ini, Tuhan lalu dinomorduakan. Hal semacam ini disebut moha (keterikatan) dan keterikatan ini disebut pengetahuan yang bersifat tamasik atau gelap.
Hal yang sama berlaku sekiranya seseorang hanya tergantung pada pesta-pesta pora, makanan atau kenikmatan dan keterikatan duniawi lainnya, yang memberikannya kenikmatan yang bersifat sementara dan merasa itulah arti kehidupan dunia. Pengetahuan semacam ini adalah hampa dan irasional. Pengetahuan tentang Sang Atman adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan tentang logika duniawi yang berdasarkan perbedaan atau diskriminasi adalah rajasik. Sedangkan pengetahuan yang tanpa dasar, tanpa pengorbanan atau pengertian pada Yang Maha Esa adalah sifat tamasik.
23. Suatu tindakan yang berdasarkan moral, yang lepas dari keterikatan, yang dilakukan tanpa mengharapkan suatu pamrih dan yang dilakukan bukan karena cinta atau benci — tindakan tersebut adalah sattvik (bersih).
Suatu tindakan, aksi atau perbuatan yang bersih atau yang benar dan sejati disebut sattvik, yaitu perbuatan yang berdasarkan nilai-nilai moral, kewajiban dan prikemanusiaan. Pekerjaan seperti bekerja sehari-hari, mencari nafkah secara jujur demi kehidupan keluarga adalah pekerjaan yang bersifat sattvik. Seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya dengan baik adalah seorang yang sattvik dan bekerja sattvik. Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan yang dianjurkan pustaka-pustaka kuno seperti yagna, tapa dan dana adalah perbuatan sattvik. Berbicara jujur, menolong yang harus ditolong, memuja Yang Maha Esa adalah perbuatan sattvik yang harus dilakukan. Dan semua pekerjaan ini harus dilakukan tanpa mengharapkan kembali sesuatu pamrih atau imbalan dalam bentuk apapun juga baik dari siapapun maupun dari Yang Maha Esa atau para dewa-dewa.
Semua pekerjaan ini harus lepas dari rasa ego dan keterikatan, secara total harus dihayati bahwa yang berbuat ini sebenarnya hanya alat dari Yang Maha Esa, tidak lebih dan tidak kurang. Setiap pekerjaan harus dikerjakan lepas dari hawa-nafsu dan dengan tanggung-jawab dan penuh kewajiban terhadap sesama makhluk dan terutama terhadap Yang Maha Esa, karena Ialah sumber atau asal-mula kehidupan ini.
24. Tetapi suatu tindakan yang dilakukan secara penuh dengan ketegangan (stres) oleh seseorang yang ingin memuaskan keinginan-keinginannya, dan yang berdasarkan kepentingan dirinya — disebut bersifat rajasik (mementingkan diri pribadi).
Tindakan atau perbuatan rajasik selalu bercirikan kepentingan pribadi, dan tindakan ini sebenarnya tidak akan menghasilkan suatu keuntungan spiritual, melainkan akan menghasilkan duka atau penderitaan. Tindakan-tindakan rajasik ini memperlihatkan tanda-tanda khas seperti:
a. Tindakan-tindakan ini selalu dilakukan secara bergegas secara menggebu-gebu, dan penuh semangat yang menderu-deru, tetapi diikuti oleh rasa tegang yang luar biasa atau stres berat dan penghamburan energi secara sia-sia.
b. Pekerjaan ini dilakukan karena pengaruh karma (nafsu) atau keinginan-keinginan duniawi untuk mendapatkan kepuasan seksual, harta-benda, kedudukan, kekuasaan, wanita dan lain sebagainya.
c. Tindakan-tindakan ini dilakukan berdasarkan kepentingan atau kepuasan pribadi ego, kesombongan pribadi, dan ini semua disebut ahankara.
25. Tindakan yang dilakukan berdasarkan moha (cinta dan keterikatan duniawi) tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya – yang merugikan dan melukai yang lain – yang tak memikirkan kemampuan pribadinya – disebut sebagai tindakan atau perbuatan yang tamasik.
Ciri-ciri perbuatan atau tindakan tamasik adalah:
a. Dikerjakan karena keterikatan akan hal-hal yang sifatnya duniawi dan gelap.
Orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan ini sudah jauh tenggelam dalam kegelapan duniawi.
b. Dilakukan tanpa memikirkan akibat-akibatnya, yang bukan saja dapat menghancurkan dirinya, tetapi juga orang-orang atau makhluk-makhluk lainnya. Semua ini dilakukan tanpa pikir panjang karena mabuk kekuasaan, karena kenikmatan dunia dan lain sebagainya.
c. Dan perbuatan-perbuatan ini dilakukan tanpa melihat atau sadar akan keterbatasan orang yang melakukan ini, karena jalan pikiran yang sudah gelap dan buntu. Dan kalau ia gagal, ia akan menempuh segala jalan baik yang bersifat kekerasan maupun yang gelap, walaupun itu harus dibayar mahal olehnya.
26. Seseorang yang bertindak lepas dari keterikatan, yang pembicaraannya jauh dari rasa egois yang penuh dengan tekad yang teguh dan antusiasme yang tak tergoyahkan oleh sukses atau kegagalan – orang ini disebut sattvik karta (orang yang benar atau bersih perbuatannya).
Seorang sattvik karta ini benar-benar bertindak sesuai dengan kewajibannya, menerima semua kehendakNya. Dalam menghadapi sukses atau kegagalan ia tenang-tenang saja, dalam menghadapi yang jahat dan suci, yang busuk dan bersih, ia sama saja sikapnya. la maju terus dengan tekad yang amat teguh, yaitu selalu bertindak tanpa pamrih, hanya demi kebenaran dan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa semata. Orang semacam ini memiliki beberapa tanda atau ciri khas:
a. la selalu bertindak tanpa pamrih dan keterikatan. la tidak membutuhkan pujian, jasa, sanjungan, keagungan dan kehormatan duniawi untuk apa saja yang dilakukannya.
b. la tidak membual akan apa yang dilakukannya. Tak mau ia berkata bahwa tanpa dia sesuatu hal mustahil terjadi. Setiap patah katanya jauh dari rasa egoisme atau demi kepentingan diri sendiri.
c. la penuh dengan kesabaran dan semangat yang tinggi. Dalam setiap halangan ia penuh dengan tekad, berjuang terus dan tidak patah semangat.
d. la memiliki rasa sama, yaitu selalu bersikap sama baik dalam menghadapi keuntungan maupun kerugian, baik dalam kesenangan maupun penderitaan. Tak tersentuh ia oleh kemenangan dan tak terganggu oleh kekalahan, sama dalam sukses maupun kegagalan.
27. Seseorang yang terombang-ambing oleh kepentingan nafsunya, yang mencari imbalan dari hasil perbuatannya, yang serakah, merugikan yang lainnya, yang tidak bersih (perbuatannya), yang terombang-ambing oleh kesenangan dan penderitaan — orang ini disebut seorang rajasik karta.
Seorang rajasik karta mempunyai beberapa tanda dan sifat-sifat tertentu seperti:
a. Ia tenggelam dalam nafsu duniawi beserta segala kenikmatannya. la terikat pada indra-indranya.
b. la selalu memerlukan imbalan untuk setiap perbuatannya. Setiap tindakannya penuh dengan motivasi tertentu.
c. Ia amat serakah.
d. la bersifat brutal, sifatnya ini selalu merugikan, melukai dan menyakiti orang lain, atau pun makhluk-makhluk lain,
e. Dalam setiap sukses dan kemenangan ia cepat gembira, dalam kegagalan dan kekalahan ia cepat putus asa.
28. Seorang yang tak stabil, kasar, keras-kepala, penuh kepalsuan, beritikad jahat, malas, tak punya harapan, mudah putus-asa, dan selalu menunda-nunda sesuatu — disebut seorang tamasik.
Seorang tamasik nampak aneh atau eksentrik dan tak berbudaya dalam tingkah-lakunya. Hati atau pikirannya tidak tertuju pada tindakan-tindakannya. la juga pandir dan keras kepala. la penuh tipu-daya dan licik atau penuh dengan kepalsuan. la gemar menunda-nunda sesuatu dalam tindakan dan perbuatannya, dan sering membatalkan sesuatu yang akan dikerjakan dengan alasan-alasan tertentu. la mudah putus asa dan orang dengan sifat-sifat ini bekerja atau bertindak dengan motif-motif kejahatan dan berdasarkan pengaruh jahat dan iblis. la bisa saja berwajah meyakinkan dan hidup mewah dan necis, tetapi secara kejiwaan ia tak berbudaya dan memiliki semua karakter tamasik di dalam dirinya.
29. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, diterangkan secara lengkap dan berulang-ulang, ketiga bagian, yang didasarkan pada ketiga guna (sifat-sifat) dari buddhi (intelektual) dan dhriti (kebulatan tekad).
Ada tiga macam atau jenis buddhi (intelektualitas atau kesadaran manusia). Dan juga ada tiga jenis sifat dari dhriti, yaitu tekad atau suatu keputusan tetap yang diambil seseorang berdasarkan kadar intelektualitasnya, atau kadar kesadaran dan pengertiannya.
Buddhi dan dhriti ini sangat dekat dengan setiap tindakan yang kita ambil. Buddhi menganalisa apa yang harus dilaksanakan seseorang dalam setiap aksi, sedangkan dhriti memutuskan dan menyelesaikan suatu aksi atau tindakan sehingga selesailah atau tuntaslah perbuatan tersebut. Buddhi dengan kata lain adalah suatu kekuatan yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk, yang salah dengan yang benar. Sering sekali kita manusia memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk ditunjukkan jalan yang benar dalam menghadapi rintangan-rintangan di depan kita. Yang memohon ini sebenarnya adalah suatu faktor pengertian atau kesadaran, dan ini disebut buddhi (intelektualitas). Tindakan selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut adalah yang didasarkan pada kebulatan tekad atau suatu keputusan yang tuntas, dan ini secara keseluruhan disebut dhriti.
30. Buddhi yang menyadari akan pravritti (tindakan yang benar) dan nivritti (tindakan yang tidak harus dilakukan) – apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, apa yang harus ditakuti dan apa yang tidak harus ditakuti, perbuatan dan pekerjaan apa yang mengikat dan apa yang membebaskan — pengertian (buddhi) tersebut, oh Arjuna, adalah sattvik (suet dan bersih).
Sloka di atas jelas sekali pengertiannya dan kita manusia seharusnya tahu akan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita jauhi dan cegah. Siapakah sebenarnya yang harus ditakuti dalam hidup ini dan siapa pula yang harus kita lawan dan hadapi. Lebih dari itu pengertian atau kesadaran yang bersih akan memberikan pengetahuan akan apa yang mengikat secara duniawi dan apa saja yang akan melepaskan kita dari lingkaran penderitaan dan karma kita.
31. Sesuatu yang diketahui secara menyimpang, secara salah — tentang dharma dan adharma (yang betul dan salah), tentang apa yang harus diperbuat dan yang tidak harus dilakukan – pengertian semacam itu, oh Arjuna, bersifat rajasik.
Sesuatu pengertian atau buddhi yang bersifat rajasik yang terpengaruh sifat-sifat raja ini adalah suatu pengertian berdasarkan konsep yang salah atau menyimpang karena berdasarkan semangat egoisme. Pengertian semacam ini selalu mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk. Sedangkan pengertian sattvik akan tegas dalam keputusan dan pengertiannya. Buddhi secara rajasik sering melakukan perbuatan salah dan menyimpang karena keputusan yang diambil selalu berdasarkan nilai-nilai yang salah persepsinya. Keputusan semacam ini mencampur-adukkan kewajiban dengan kesenangan, benar dengan salah, dan lain sebagainya dan menganggap semua itu adalah tindakan yang benar. Bagi seorang yang bersifat rajasik, nilai-nilai kebenaran jadi kabur penghayatannya.
32. Buddhi yang terbungkus oleh kegelapan, yang berpikir bahwa adharma (kesalahan) sebagai dharma (benar), dan melihat semuanya secara tidak benar – buddhi (atau pengertian) ini, oh Arjuna, adalah tamasik.
Suatu pengertian yang bersifat tamasik, malahan mengacaukan semuanya, semua nilai-nilai moral bisa saja jadi kacau-balau oleh pola pemikiran semacam ini. Semua ini karena kegelapan yang menyelimuti pengetahuan orang yang bersifat tamasik ini. Yang salah malahan terasa benar baginya. Buddhi ini tidak sadar atau tahu mana yang benar dan mana yang salah. Bagi seorang tamasik, pemujaan kepada Yang Maha Esa itu salah, bersikap anti-Tuhan dan anti-kebenaran malahan benar jadinya. Baginya kebenaran akan hidup dan dunia ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang semacam ini lebih condong ke arah kekuatan-kekuatan gelap.
33. Suatu tekad atau keputusan (yang diambil seseorang) yang tidak terombang-ambing sifatnya, melalui yoga atau konsentrasi pengendalian aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan dan indra-indranya — tekad tersebut, oh Arjuna, adalah tekad (atau keputusan) yang sattvik sifatnya.
Tekad atau keputusan ini disebut dhriti. Tekad yang bersih dan sattvik karena:
• bersifat tegas dan tidak mudah digoyahkan, alias stabil,
• diperkuat atau didasari oleh latihan-latihan dan konsentrasi yoga,
• mengendalikan secara benar aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan (meditasi) dan indra-indranya. Orang ini lalu mempunyai potensi lahir-batin yang amat kuat, tegas, teguh pendirian dan raganya.
Tekad yang bersifat sattvik ini, mengendalikan pikiran atau jiwa kita ke arah pengetahuan akan tenaga-tenaga yang tersembunyi dan juga potensi-potensi yang tak nampak tetapi sebenarnya banyak terdapat dalam diri kita. Juga akan terbuka potensi dan kekuatan yang ada di alam semesta ini yang dapat dikaruniakan kepada orang yang teguh, yang penuh dedikasi kepadaNya semata. Tekad sattvik kemudian menimbulkan kendali pada pemikiran kita, yang kemudian mengendalikan setiap tindakan kita, sehingga kita pun berubah menjadi sattvik, tanpa pamrih. Hanya bertindak karena harus dan karena kewajiban yang bersifat dedikasi semata.
Tekad yang bersih ini mendisiplinkan pikiran, nafas, dan indra-indra kita, dan diarahkan semua ini ketujuan yang benar. Indra-indra kita akan terkendali secara otomatis secara bertahap. Dan ini bukan ilusi, tetapi kenyataan yang telah dialami oleh mereka-mereka yang telah bersifat sattvik, walaupun dalam abad modern ini.
34. Seseorang yang bertekad kuat pada dharma (kewajiban), pada kama (kenikmatan), dan pada artha (harta) tetapi menginginkan imbalan untuk tekadnya ini — tekad semacam ini, oh Arjuna, adalah rajasik.
Tekad yang bersifat rajasik adalah suatu tekad yang hanya dilakukan untuk suatu imbalan tertentu.
35. Sesuatu tekad yang diambil seseorang, yang berasal dari kebodohan, terlalu banyak tidur, ketakutan, kesusahan, depresi dan kepentingan diri sendiri –tekad tersebut, oh Arjuna, bersifat tamasik (gelap).
Seseorang yang bersifat tamasik sangat keras sifatnya, tetapi kekerasannya bersifat ngawur, karena berdasarkan kemalasan dan kebodohan. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan opini sendiri yang didasarkan pada sifat-sifat pribadinya yang dominan dan serba gelap. la pun selalu dekat dengan rasa takut, depresi, penderitaan dan selalu berada di dalam lingkaran gelap.
36. Dan sekarang dengarlah dariKu, oh Arjuna, tiga bentuk kebahagiaan. Kebahagiaan ini, bagi seseorang yang mempelajarinya (mempraktekkannya), akan menghasilkan kebahagiaan yang mengakhiri penderitaannya.
37. Yang terasa bagaikan racun pada awalnya tetapi serasa air-surgawi pada akhirnya, dan yang terpancar dari pengertian yang murni dari Sang Atman -kebahagiaan tersebut dikatakan bersifat sattvik (bersih).
Kebahagiaan sattvik yang sejati timbul dari kesadaran diri atau dari penampilan/wahyu atau wangsit dari Sang Atman pada diri kita. Tetapi kebahagiaan ini tidak mudah didapat karena harus dipelajari dan dipraktekkan untuk jangka waktu yang lama yang tidak dapat ditentukan oleh seseorang, dan harus diikuti oleh kepasrahan total kepada Yang Maha Esa. Ada tiga ciri khas sattvik-sukha (kebahagiaan sattvik) ini:
1. Dicapai dengan abhyasa (praktek dan usaha spiritual seperti pemujaan dan meditasi pada Yang Maha Esa secara berkesinambungan).
2. Sangat sukar dan pahit rasanya pada permulaan ini dilakukan, tetapi terasa nikmat dan manis pada akhirnya.
3. Tidak didapatkan dari suatu unsur luar raga kita, tetapi terpancar keluar dari diri sendiri yang sudah bersih dari awan-awan gelap dan kebodohan, terpancar keluar dari lubuk jiwa kita yang paling dalam. Sang Atman, Sang Jati Diri kita Yang Sejati akan memancarkan kenikmatan Ilahi ini secara langsung pada waktunya.
Sattvik-sukha ini bersifat ananda, yaitu bersifat amat menenangkan jiwa, suatu kebijaksanaan atau kesadaran yang amat menentramkan dan membahagiakan jiwa kita.
38. Sesuatu yang terjadi karena kontak-kontak indra dan obyek-obyeknya (vishaya), yang pada mulanya, terasa sebagai air-surgawi, tetapi pada akhirnya terasa sebagai racun – kebahagiaan atau sukha ini dikatakan sebagai rajasik.
Kenikmatan atau kebahagiaan rajasik itu terasa manis seperti amrita (air-surgawi) pada mulanya, karena memang bersifat duniawi dan tercipta akibat hubungan antara obyek-obyek sensual dan indra-indra kita. Tetapi sesudah itu berakibat penderitaan yang amat menyakitkan. Semua kenikmatan duniawi baik itu secara seksual, maupun melalui pesta-pora dan hidup mewah terasa nikmat pada mulanya tetapi selalu terasa pahit pada akhirnya, karena tidak disertai oleh nilai-nilai moral yang sejati, yaitu demi dan untuk Yang Maha Esa semata, tetapi demi kesenangan dan kenikmatan pribadi, dan ini disebut kebahagiaan rajasik, yaitu bersifat sementara saja.
39. Kenikmatan yang pada mulanya dan kemudian selanjutnya menyesatkan sang jiwa, dan yang timbul dari tidur, kemalasan dan kekurangan perhatian –kenikmatan tersebut dikatakan tamasik (gelap).
Kenikmatan tamasik sudah menyesatkan dan menderitakan seseorang dari awal-mula dan selanjutnya pada akhirnya tetap mendatangkan penderitaan. Seseorang yang terbius secara tamasik ini tenggelam dalam kenikmatan yang diakibatkan oleh kebodohan, kekurang-pengetahuan, dan kekacauan jiwa-raganya.
40. Tak ada satu makhluk pun, baik di bumi atau juga di antara para disvarga-loka, yang bebas dari ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) ini, yang lahir dari Prakriti (alam).
41. Mengenai para Brahmin, Kshatrya, Vaishya dan para Sudra, oh Arjuna, aktivitas-aktivitas mereka ini telah dijelaskan, sesuai dengan guna-guna yang lahir dan sifat sejati mereka.
Svabhava, atau sifat seseorang, adalah pembawaan karma seseorang atau sesuatu makhluk dari kehidupan masa lampaunya. Keempat varna (sistim kasta) manusia pun terpengaruh oleh sifat atau guna-guna ini, dan semua itu mempengaruhi cara kerja atau sifat perbuatannya. Svabhava dengan begitu menentukan suatu kewajiban atau perbuatan seseorang berdasarkan guna-guna yang dominan dalam orang tersebut. Kewajiban setiap varna dengan kata lain datang dari Prakriti itu sendiri.
Sattva dominan dalam seseorang yang ditakdirkan menjadi Brahmin sejati, raja dominan dalam seorang Kshatriya, dan kemudian setelah sifat raja ini menyusul dua sifat, yaitu sattva dan tama dalam Kshatriya. Dalam Vaishya yang dominan adalah unsur atau sifat raja plus tama, unsur sattva menyusul kemudian.
Dalam Shudra, unsur yang dominan adalah tama, kemudian menyusul raja dan terakhir sattva. Tetapi ingat dalam naungan Sang Atman, setiap makhluk dan manusia adalah sama, yaitu hanya satu unsur, yaitu Sang Atman Sendiri. Dalam IntiNya yang sejati dan secara spiritual kita semua adalah berasal dari satu unsur yang tunggal. Satu dalam perjalanan, tujuan dan takdir kita. Tetapi di dalam olahan sang Prakriti kita berbeda-beda, dan ingat sistim varna atau kasta adalah produk dari sang Prakriti ini!
Semua bentuk kasta-kasta ini adalah ibarat alat-alat atau anak-anak dari Yang Maha Esa. Kepandaian, ilmu pengetahuan, dan kekayaan dunia lahir dan batin, dibagikan secara sama rata kepada masing-masing kasta ini sesuai dengan kewajiban-kewajibannya di dunia ini untuk mencapai Yang Maha Esa kembali. Tetapi tidak ada perlombaan kekuasaan atau kedudukan atau diskriminasi yang dianjurkan di antara mereka-mereka ini. Yang ada hanya sifat-sifat dominan pada seseorang, dan sifat-sifat inilah yang menentukan kewajibannya dan kastanya. Jadi kasta itu ditentukan oleh jenis sifat, pekerjaan dan perbuatan seseorang sehari-hari dan bukan karena status kelahiran seseorang. Seseorang dalam perjalanan hidupnya di dunia ini bisa raja berubah dari seorang yang lahir secara (atau tidak) Vaishya menjadi seorang brahmana sesuai dengan panggilan atau ketentuan Ilahi, menurut takdirnya masing-masing, dan begitupun sebaliknya. Mukti atau pembebasan spiritual terbuka untuk siapa saja tanpa pandang bulu, yang penting seseorang itu mau bertindak tanpa pamrih, dan penuh dengan dedikasi yang luhur terhadap Yang Maha Esa.
Sekali lagi ditegaskan di sini, Svabhava adalah sanskara (penderitaan duniawi) yang diakibatkan oleh perbuatan dari kelahiran yang silam. Sesuai dengan sanskara ini, maka dalam hidup ini terciptalah pada seseorang unsur-unsur sattva, raja dan tama. Dan sesuai atau berdasarkan guna ini timbullah keempat sistim varna (kasta) atau jenis-jenis profesi dan perbuatan masing-masing orang, bukan diskriminasi atau perbedaan kekayaan/kedudukan/status seseorang. Status seseorang, makhluk dan benda di mata Yang Maha Esa adalah sama saja, yaitu satu: sebagai alatNya belaka, tidak lebih dan benda tidak kurang. Om Tat Sat.
42. Ketenangan, pengendalian diri, disiplin spiritual, kebersihan lahir-batin, kesabaran, menjunjung tinggi kebenaran, kebijaksanaan, pengetahuan dan iman — adalah kewajiban seorang Brahmin, lahir dari sifatnya yang pribadi.
Keempat sistim varna ini sebenarnya kalau ditinjau dengan kaca-mata yang benar, maka melambangkan suatu fungsi sehat dari suatu tata-negara dalam satu negara yang baik dan bijaksana pemerintahannya. Negara yang sehat dan kuat, aman dan makmur adalah suatu negara di mana kaum brahmana, kshatriya, vaishya dan sudra bersatu, bergabung, bahu-membahu bekerja demi kesejahteraan yang lainnya, dan bukan saling mendepak, menjatuhkan atau merendahkan lainnya.
Tetapi inti dari sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah kaum Brahmin. Bukan harta-benda atau jumlah tentara yang melimpah-ruah, bukan perencanaan ekonomi yang fantastis, atau pidato-pidato kosong yang muluk-muluk para politisi, tetapi kehidupan orang-orang awam yang berdedikasi, bermoral tinggi dan beragama secara saleh, yang sebenarnya menjadi dasar atau sendi utama dari varna atau kasta-kasta lainnya. Dan orang-orang yang sederhana tetapi bermoral tinggi inilah yang sebenarnya yang disebut brahmin-brahmin dalam arti yang sebenarnya, yang orientasinya selalu dalam menegakkan dharma dan bhaktinya. tanpa pamrih demi Yang Maha Esa dan masyarakat banyak. Dan kalau masyarakat banyak bermoral baik, maka negara itu akan baik, sehat dan kuat. Tetapi seandainya masyarakat itu sakit, maka negara itupun akan sakit dan lemah. Semakin banyak yang bersifat brahmin dalam suatu masyarakat atau negara makin jayalah negara itu, karena akan selalu jauh dari unsur-unsur yang merugikan. Seorang brahmin sejati adalah seorang guru bagi sesamanya.
43. Keberanian, semangat, ketegaran, pandai berunding, tidak bersifat pengecut (tidak lari dari suatu peperangan), bermurah-hati dan berwibawa sebagai pemimpin (sifat asli seorang pemimpin) – semua ini adalah kewajiban seorang kshatriya yang lahir dari sifat-sifat pembawaannya.
Brahmin yang sejati adalah guru, dan kshatriya yang sejati adalah pengayom masyarakat yang bersedia mati setiap saat ia dibutuhkan demi tegaknya kebenaran, kedamaian dan kemajuan atau kemakmuran suatu negara dan masyarakat. Orang-orang yang berjiwa kshatriya tidak mengenal takut, selalu bersemangat baja, dan tak mudah dipengaruhi oleh uang dan harta-benda. Harapan bangsa terletak di pundak mereka, dan itulah dharma-bhakti mereka pada Yang Maha Esa dan masyarakat. Salah satu contoh adalah Sang Bhishma, suatu waktu Yudhishthira pernah memohon kepada Sang Kreshna agar ia dijadikan muridnya. Oleh Sang Kreshna ia diminta berguru ke Bhisma, dan salah satu ajaran Sang Bhishma pada Yudhishthira adalah, “Di mana Sang Kreshna bekerja, di situ terdapat dharma (kebenaran), di mana dharma berfungsi, di situ terdapat kemenangan.” Seorang kshatriya sejati adalah yang bekerja berdasarkan dharma, dan tak merasa takut akan apapun juga selain Yang Maha Esa. Biasanya seorang pemimpin semacam itu sudah lahir dengan wibawa dan kharisma semacam itu. Maka dikatakan, seorang kshatriya adalah seorang pemimpin bangsa, sedangkan seorang brahmin adalah guru dari masyarakat (semuanya).
44. Berladang, menjaga ternak dan berdagang adalah kewajiban seorang vaishya, lahir dari sifat pribadinya. Tindakan atau perbuatan yang bersifat jasa atau pelayanan (masyarakat) adalah kewajiban seorang shudra, yang lahir dari sifat pribadinya.
Seorang yang berkarakter atau hidup sebagai seorang vaishya berciri khas seperti (1) petani dan yang berhubungan dengan pertanian, (2) beternak dan menjaga agar ternak-ternak dipelihara dengan baik karena sapi, kerbau dan sejenisnya dianggap suci dan amat bermanfaat dalam agama Hindu, (3) berdagang atau berwira swasta dalam berbagai bidang ekonomi adalah sifat-sifat dominan seorang vaishya. Sedangkan yang digolongkan sebagai shudra adalah orang-orang yang berkerja di bidang jasa atau pelayanan secara umum, juga sebagai buruh, karyawan, dan petugas dalam segala bidang pekerjaan milik pemerintah maupun non-pemerintah.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian golongan kerja, dan bukan pembagian hak hidup seseorang yang dapat diatur semena-mena. Tidak boleh ada orang yang merasa dilahirkan dalam kasta ini atau kasta itu. Yang benar adalah sewaktu seseorang tersebut dewasa dan ingin menentukan pekerjaan dan jalan-hidupnya sendiri maka terserah olehnya pekerjaan apa yang akan dipilihnya. Jadi sistim kasta yang berlaku sekarang ini yang membeda-bedakan, hak, status, nama dan sebutan, dan pekerjaan adalah salah besar. Yang benar itu, kasta ini hanyalah sekedar pembagian golongan, yang dalam abad modern ini bisa disebut sebagai berikut: para rohaniwan untuk sebutan modem para brahmana (tercakup di dalamnya para guru dan ilmuwan dan lain sebagainya yang berhubungan), kemudian para ekonom adalah sebutan modern atau masa kini untuk para pedagang, bankir dan lain sebagainya yang berhubungan dengan bidang ekonomi, para petani dan nelayan termasuk juga dalam golongan ini. Para politisi, pejabat negara, tentara dan pamong-praja dan lain sebagainya adalah istilah modern para kshatriya; dan para buruh, pekerja, petugas dan lain sebagainya yang berstatus bekerja pada seseorang, negara, dan lainnya disebut shudra. Keempat golongan ini menjadi tiang-tiang utama dari sebuah negara, dan saling menunjang karena setiap tiang ini sama kekuatan dan kedudukannya. Satu tiang patah maka patahlah juga tiang-tiang lainnya, karena tidak akan mampu menyanggah negara yang ibarat sebuah gedung besar bertiang empat.
Seandainya sesuatu bangsa dan negara tidak melakukan suatu diskriminasi dengan, golongan-golongan yang ada di dalamnya, dan menghargai setiap golongan ini, maka aman-sejahtera dan sentosalah negara ini. Berbeda-beda tetapi eka, berbagai aspirasi tetapi satu tujuan, yaitu kesejahteraan bagi sesama dan semuanya adalah misi yang dikandung di sloka-sloka di atas ini, dan ingat bukan perbedaan kasta yang diskriminatif. Sebuah bangsa dan negara yang besar, maju dan sejahtera adalah yang masyarakatnya harmonis, dan duduk sama penting di antara sesamanya.
45. Seseorang mencapai kesempurnaan apabila ia berdedikasi kepada kewajibanya sendiri. Dengarkanlah olehmu bagaimana kesempurnaan ini didapatkan oleh seseorang yang setia kepada kewajibannya sendiri.
Yang dimaksudkan dengan kesempurnaan ini adalah penyadaran akan Ilahi. Seseorang dapat mencapainya dengan bekerja secara setia dan penuh dedikasi kepada kewajibannya sendiri, yaitu bekerja sesuai dengan sifat sejati yang dimilikinya. Sewaktu seseorang menyerahkan semua pekerjaan dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih sedikitpun, maka secara bertahap ia akan mencapai kesempurnaan ini atas karuniaNya. Tidak menjadi masalah kalau pekerjaan itu secara duniawi sifatnya amat sederhana atau kecil. Sekali perbuatan atau pekerjaan ini diserahkan secara total kepadaNya maka terbukalah jalan ke arah Yang Maha Esa.
Bekerjalah demi Yang Maha Esa sesuai dengan sifat-sifat kita yang sejati, janganlah iri atau berganti-ganti profesi karena harta duniawi, padahal belum tentu kita menghayati pekerjaan baru kita karena tidak berbakat ke arah itu. Pekerjaan, profesi atau perbuatan seharusnya dilakukan karena dedikasi kita kepada Yang Maha Esa, bukan karena nafsu atau keinginan duniawi. Maka sebaiknya setiap orang mengerjakan pekerjaan yang disenanginya, dihayatinya dan sesuai kodratnya, walaupun profesi tersebut tidak menghasilkan sesuatu harta duniawi. Harta sesungguhnya di dunia ini adalah Yang Maha Esa sendiri dengan segala karunia-karuniaNya, jadi seyogyanyalah kita selalu bekerja demi Yang Maha Esa semata, tanpa pamrih dan tulus jiwa-raga. Om Tat Sat.
46. la dari siapa semua makhluk dan benda ini datang dan oleh siapa seluruh ciptaan ini dijaga — dengan memujaNya melalui kewajibannya masing-masing, maka seseorang akan mencapai kesempurnaan.
Suatu pekerjaan yang menjadi kewajiban seseorang dapat menjadi pemujaan kepada Yang Maha Esa seandainya semua itu dipersembahkannya kepada Yang Maha Esa secara mental dan ragawi, untukNya, demi Ia semata tanpa pamrih. Tetapi pekerjaan ini harus selaras dengan kewajiban orang tersebut, yang juga senada dengan kewajibannya terhadap sesamanya secara tulus, bukan pekerjaan atau perbuatan orang lain yang ditiru atau dipaksakan olehnya.
Yang Maha Esa adalah sumber segala ciptaanNya di alam semesta, dan Ia juga yang menjaga semua itu, maka dengan bekerja demi Yang Maha Esa sesuai kewajiban kita masing-masing sebenarnya seseorang ikut melestarikan dan menjaga alam semesta ini. Dan Yang Maha Esa pun lalu tentu dengan senang hati akan membuka jalan ke arah kesempurnaan bagi sang pemuja yang penuh dengan bakti yang tulus ini.
47. Lebih utama dharma seseorang itu sendiri, walaupun ada kekurangan-kekurangannya, daripada melakukan dharma orang lain walaupun dikerjakan dengan baik. Seseorang yang melakukan dharmanya sendiri, yang didasarkan pada sifatnya pribadi (svabhava), tidaklah berdosa.
Jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban anda, untuk sesuatu perbuatan atau pekerjaan orang lain, walaupun perbuatan atau pekerjaan tersebut nampak dan terasa lebih baik dan menghasilkan laba yang lebih besar, atau nampaknya lebih bermanfaat daripada pekerjaan seseorang itu sendiri. Contoh: seorang yang bersifat dan berpembawaan sejati sebagai brahmana janganlah melakukan pekerjaan seorang politisi, akibatnya bisa kacau nanti semua hasil akibatnya lahir dan batin. Pekerjaan atau kewajiban kita yang asli adalah di mana svabhava (sifat pembawaan) kita menemukan ekspresi keluarnya yang sejati tanpa berdasarkan suatu rasa iri-hati, dengki dan cemburu. Biarkanlah alam bekerja melalui diri kita masing-masing secara alami, dan itu akan lebih utama bagi kita, daripada menentang kodrat dan kemauan alam yang ada dan hadir setiap saat dalam diri kita. Seorang tukang pembuat sepatu sebaiknya bekerja sebagai tukang sepatu, ia boleh bercita-cita setinggi langit, itu haknya, tetapi ia lebih baik mengembangkan usaha yang dihayatinya daripada ia merasa iri-hati terhadap salah satu saudaranya yang diangkat menjadi kepala desa oleh masyarakat setempat. Begitu iri-hatinya sang tukang sepatu sehingga ia mengorbankan segala-galanya untuk mendapatkan posisi tersebut, padahal ia sama sekali tidak menghayati peranan seorang kepala desa yang harus bekerja untuk seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa pamrih. Hal semacam ini tidak akan diterima oleh Yang Maha Esa, dan semua usahanya sia-sia saja secara spiritual. Ia, Yang Maha Esa, lebih mengutamakan kewajiban seorang yang sejati walaupun sifat pekerjaan itu sederhana saja, karena pekerjaan yang sederhana ini kalau dikerjakan penuh dengan dedikasi kepadaNya semata akan mengantar orang ini ke moksha. Seorang penjaga toko atau seorang kusir kereta yang sederhana mungkin lebih dekat dengan kehidupan yang benar dan sejati dibandingkan seorang raja atau presiden yang hidupnya bergelimang kemewahan tetapi lupa akan kewajibannya yang sejati akan rakyat yang menjadi tujuannya mengabdi.
48. Yang sudah menjadi kewajiban seseorang walaupun cacat, tidak boleh dilepaskan. Karena semua perbuatan itu terselubung oleh kecacatan ibarat api yang terselubung oleh asap.
Jangan sekali-kali melepaskan kewajiban yang sudah menjadi panggilan nurani kita yang tulus dan sebenarnya. Walaupun kewajiban tersebut terasa kurang sempurna dalam pelaksanaannya. Karena sebenarnya tidak ada sesuatu pekerjaan pun, atau aksi dan perbuatan yang sempurna. Semuanya selalu ada saja cacat atau kurungnya, yang sempurna adalah Yang Maha Esa dan segala kehendak-kehendakNya, yang scring sekali tidak dapat dimengerti oleh manusia. Secacat-cacatnya suatu pekerjaan pada mulanya, pasti akan lebih sempurna pada tahap-tahap selanjutnya. Bekerjalah sesuai dengan kewajiban kita semata, dengan segala ketulusan dan kesucian hati kita, dan secara bertahap akan makin dekatlah kita kepadaNya.
49. Seseorang yang buddhinya (pengertian) tidak terikat di mana pun juga, yang telah mengendalikan dirinya, yang keinginannya telah lari jauh – dengan pemasrahan segala hasil pekerjaannya secara total, orang ini menuju ke Kesempurnaan Yang Agung yang disebut naishkarmya (kebebasan dari perbuatan atau tindakan).
Inilah salah satu petunjuk penting dalam Bhagavat Gita, yaitu melalui suatu perbuatan atau tindakan, seseorang dapat mencapai suatu bentuk kesempurnaan dalam non-tindakan atau non-aksi (perbuatan). Kesempurnaan ini adalah suatu kebebasan dari karma, kesempurnaan ini adalah suatu penyadaran akan Yang Maha Esa secara sejati. Ada tiga tahap dalam jalan ke arah kesempurnaan ini: a. Pada tahap pertama seseorang melepaskan rasa ego, rasa “ke-aku’an” nya, rasa memiliki, rasa superior atas dirinya sendiri, atas setiap tindakan dan perbuatannya. b. Pada tahap kedua ia melepaskan semua hasil atau buah dari perbuatan, aksi dan tindakannya, termasuk hasil dari semua pekerjaannya. c. Pada tahap ketiga ia melepaskan semua pemikiran atau ide-ide mengenai kewajibannya, ia melepaskan semua karma-karmanya. la menjadi tuan atau majikan bagi dirinya sendiri, yaitu yang dalam agama Hindu disebut mencapai suatu kekuatan dari non-perbuatan (non-aksi yang sempurna). Ia dengan kata lain mencapai penyatuan dengan Sang Brahman, Yang Maha Agung, yang jauh dari semua tindakan-tindakan di dunia ini. la sadar sesungguh-sungguhnya bahwa bukan ia yang bekerja, tetapi Ia yang bekerja dan berbuat, sesuatu non-aksi dalam setiap aksi.
Dalam sloka di atas, sanyasa yang berarti penyerahan total dari setiap hasil perbuatan disamakan dengan tyaga yang berarti penyerahan atau pelepasan nafsu dan keinginan. Naishkarmya di sloka di atas bukan berarti akarma, melainkan berarti tidak berbuat aksi atau tindakan yang dapat menimbulkan keterikatan duniawi.
50. Pelajarilah dariKu secara singkat, oh Arjuna, bagaimana sesudah mencapai kesempurnaan, orang itu mencapai Sang Brahman — Yang Maha Memiliki Kebijaksanaan.
Pada sloka-sloka berikutnya, Sang Kreshna mulai mengajarkan kepada Arjuna bagaimana seseorang yang telah berhasil melakukan usaha-usaha non-tindakan, non-aksi dan non-perbuatan ini dapat mencapai Sang Brahman, yang menjadi tujuan kesadaran dari Sang Atman dalam diri kita. Berbagai tahap-tahap dalam pencapaian kesadaran diri ini diterangkan di sloka-sloka berikut ini.
51. Penuh dengan pengertian yang bersih, secara tegar mengendalikan dirinya, menjauhi suara dan obyek-obyek sensual (indra-indra dan obyek-obyeknya), melepaskan rasa senang dan rasa benci akan sesuatu.
52. Tinggal di tempat yang sepi dan tenang, memakan secukupnya (sedikit yang diperlukan saja), mengendalikan kata-kata, raga dan pikirannya, selalu terserap di dalam yoga meditasi, berlindung (kepadaNya) tanpa sesuatu keinginan duniawi.
53. Menjauhkan “rasa-kepunyaanku,” kekerasan, kepentingan pribadi, keinginan (dan nafsu), harta-benda; merasa dirinya bukan apa-apa dan bersifat damai — orang semacam ini pantas untuk bersatu dengan Sang Brahman.
Seorang pemuja, untuk mencapai Sang Brahman, harus berjuang melalui berbagai tahap-tahap yang jauh dari sifat-sifat duniawi. Yang pertama adalah sadar akan pengetahuan yang sejati dan pengetahuan ini dicapai melalui karma (tindakan atau perbuatan yang tidak mementingkan diri pribadi. Yang kedua, lain menyusul dedikasi dalam pemujaannya kepada Yang Maha Esa.
Sewaktu mencapai pengetahuan sejati melalui tindakan atau perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, maka sang pemuja Yang Maha Esa ini mengalami berbagai hal seperti berikut:
a. Timbul dalam dirinya suatu pengertian yang bersih, suci dan murni, dan bangkit juga tekadnya akan hal-hal yang bersih, suci dan murni, yang lepas dari ilusi-ilusi duniawi; dan sang pemuja ini sadar bahwa raganya lain dengan Yang menumpang raganya, yaitu Sang Atman.
b. la menjauhi semua kenikmatan-kenikmatan sensual atau indra-indranya seperti menjauhi suara-suara yang berisik, yang penuh polusi dan rangsangan sensual, dan lain sebagainya yang menyebabkan gangguan pada jiwa; juga menjauhi melihat dan menyentuh hal-hal yang negatif baginya.
c. la akan mampu mengendalikan dirinya dan berada di atas sifat-sifat dualislik yang saling bertentangan seperti suka-duka, cinta-benci, panas-dingin, dan seterusnya.
d. la akan menyenangi tempat yang sepi dan tenang.
e. Makan-minumnya, tidur dan bicaranya akan secukupnya saja, amat bersahaja dan sattvik sifatnya. Baginya sedikit tetapi mencukupi sudah amat baik baginya.
f. la terkendali dalam kebutuhan dan gerak-gerik tubuhnya, pikirannya dan pembicaraannya.
g. la selalu terserap dalam meditasi, demi Kebenaran Yang Sejati, demi Yang Maha Esa.
h. Jauh dari rasa keinginan-keinginan duniawi, dari nafsu dan mengarah kepada hal-hal yang tidak bersifat duniawi atau keterikatan (vairagya).
i. Jauh dari ambisi, rasa memiliki atau “aku,” kepalsuan, kekerasan, kesombongan, ego, nafsu, dan rasa marah.
j. Selalu bersikap damai, penuh dengan ketenangan jiwa, sopan-santun, budi baik, penuh simpati kepada sesama makhluk, penolong dan tidak serakah.
54. Menyatu dengan Sang Brahman, jiwanya tenang, ia tidak bersedih, atau bernafsu. Memandang setiap benda dan makhluk sama rata, ia mencapai dedikasi nan agung di dalamKu.
Seorang pemuja Yang Maha Esa yang telah menyatu akhirnya dengan Sang Brahman, tak akan pernah bersedih untuk apapun juga dan tak pernah bernafsu untuk hal-hal yang bersifat duniawi maupun yang bersifat spiritual demi kebutuhan-kebutuhan egonya. Raga, jiwa dan batinnya telah berubah suci, bersih dan murni, dan ia telah lepas dari semua karma-karmanya. la bahagia dengan dirinya sendiri. la melihat secara sama-rata pada setiap benda dan makhluk. la mencintai Yang Maha Esa dengan penuh bakti, kasih yang tulus dan dedikasi yang murni. Bagi Yang Maha Esa, Sang Kreshna, pemuja semacam ini adalah agung dan merupakan Sang Atman sendiri secara keseluruhan. Dan bakti pemuja ini dianggap berada di atas semua sifat-sifat alam (guna-guna) Sang Maya (Prakriti), di atas semua bentuk karma.
Bakti pemuja semacam ini sesungguhnya mulai setelah ia menyadari atau mendapatkan penerangan Ilahi. Begitu bergabung dengan penerangan yang dikaruniakan Yang Maha Esa, maka tindak-tanduknya, intuisi, maupun pemikiran dan pemujaannya akan sinkron dan selaras dengan kehendak Yang Maha Esa (Sang Atman), pemujaannya akan penuh dedikasi yang tulus dan murni, secara sejati ia akan memuja Yang Maha Esa.
55. Dengan dedikasi dan kesetiaan ia mengenalKu, (menyadari) apa kemampuanKu dan apa Aku ini dalam arti yang sejati, kemudian setelah mengenalKu secara sejati, maka berlanjutlah ia memasuki Itu, Yang Maha Agung.
Untuk mencapai atau memasuki Sang Brahman adalah dengan mencintai dan mengasihi Sang Kreshna setulus-tulusnya. Untuk mencintai Sang Kreshna adalah dengan mengenal Sang Kreshna dulu, mengenal betapa menakjubkan Ia, apa saja bentuk sejati dari sifat-sifatNya, keajaiban-keajaibanNya, mukjizat-mukjizatNya dan kegaibanNya, keagungan dan kebesaranNya. Untuk mengetahui ini semua adalah dengan memasuki kehidupanNya. Dan seseorang bekerja dan bertindak bukan untuk dirinya lagi, tetapi hanya demi Ia semata. Jadi dengan kata lain, klimaks dari kesadaran akan kasih itu sebenarnya terletak pada bhakti (bakti) dan prema (kasih-Ilahi). Memasuki atau menyatu dengan Yang Maha Esa bukan berarti “menyia-nyiakan diri kita,” tetapi lebih berarti bahwa Sang Jiwa kita harus dilepaskan dari ikatan-ikatan duniawinya, kemudian akan terbukalah tabir yang selama ini menutupi jiwa kita, dan terlihatlah sifat gaib Yang Maha Esa dalam diri kita, yang sebenarnya adalah duplikat atau rupa dari Yang Maha Suci dan Agung, Sang Kreshna Yang Sejati; Menyatu atau masuk ke dalamNya berarti menjadi gambaranNya, menjadi seperti Sang Kreshna. Dan karena Sang Kreshna, Yang Maha Esa, itu kasih adanya, maka menyatu denganNya berarti mencintai dengan kasih Yang Tak Kunjung Habis secara konstan dan abadi, selama-lamanya, kepadaNya dan sesama makhluk dan manusia di alam semesta ini. Bayangkan seperti apakah kasih ini: di luar kata-kata untuk menggambarkan kebesaran dan keagunganNya, di luar batas-batas khayalan manusia awam!
Mencintai Sang Kreshna adalah dengan (sekali lagi!) mengenalNya, mengenal sifat-sifatNya yang paling dalam mengenal kebenaran apa saja Ia ini sebenarnya. Melalui pengetahuan kasih ini, Sang Jiwa kita akan memasukiNya. Dan dengan dedikasi yang disertai dengan kasih yang tulus dan sejati, maka Sang Jiwa akan tinggal di dalam Sang Kreshna sampai saat ajal datang menjemput, kemudian secara abadi ia larut dan bersatu tinggal di dalam Yang Maha Esa (setelah kematian pemuja yang tulus ini).
56. Melakukan semua tindakan secara konstan, apapun jenis tindakan ini, berlindung kepadaKu, dengan karuniaKu, ia akan mencapai tempat nan abadi, yang tak pernah binasa.
Dalam sloka ini Sang Kreshna menggabungkan seluruh doktrin atau ajaran-ajaranNya yang terdiri dari unsur-unsur karma, gnana dan bhakti. Seorang pemuja Sang Kreshna yang sejati tidak perlu malu-malu untuk ber-karma. la dapat melakukan pekerjaan apa saja yang positif tentunya, selama itu disertai oleh rasa bhakti yang tulus. Dan karunia Yang Maha Esa akan memutuskan seluruh ikatan-ikatan karmanya. Seseorang yang secara sejati telah bersandar kepada Sang Kreshna, Yang Maha Esa, walau ia bertindak apa saja, apapun yang dilakukannya walau mungkin terkesan salah bagi sebagian orang, sebenarnya hasil atau buah dari perbuatan itu sudah diambil dan dinetralisir oleh Yang Maha Kuasa. Pemuja ini sebenarnya sudah bersandar total kepadaNya, dan hanya hidup dan bekerja atas karuniaNya yang sejati. Ada tiga pemikiran yang dapat disimpulkan dari sloka-sloka di atas, yaitu:
a. Sang Jiwa dituntun ke arah gnana (pcngetahuan atau kesadaran) oleh tindakan-tindakan yang tanpa pamrih, atau yang telah dipasrahkan secara total kepada Yang Maha Esa.
b. Sarnagati, yaitu bersandar pada Yang Maha Kuasa, (walaupun mungkin dengan motif-motif yang penuh dengan maksud-maksud pribadi), mendedikasikan berbagai kewajiban-kewajiban kepadaNya.
c. Prema-bhakti, yaitu melalui cinta atau kasih yang agung dan suci.
57. Menyerahkan dalam pikiran semua tindakan kepadaKu, memandangKu sebagai Yang Maha Agung, berlindung dalam buddhi-yoga, yoga kebijaksanaan yang dapat membedakan, maka pusatkanlah pikiranmu senantiasa kepadaKu.
Di sloka ini Sang Kreshna bersabda agar secara mental Arjuna mcnyerahkan atau memasrahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa dari lubuk hati dan jiwanya secara tulus dan sejati.
Yang dimaksud di sini amat penting, yaitu menjadikan diri kita tidak lain dan tidak bukan semacam wakil atau utusan dari Yang Maha Esa Itu sendiri, yang ditugaskan bekerja dan beribadah kepadaNya di bumi ini, sesuai dengan kehendakNya, dan senantiasalah berpikir akan Yang Maha Esa dan memohon petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunanNya. Kemudian secara tulus memasrahkan secara total semua perbuatan itu dan hasil-hasilnya kepada Yang Maha Esa: terjadilah kehendakNya. Dan janganlah ini disertai dengan pamrih atau pemikiran akan imbalan sedikitpun, sekecil apapun, janganlah terlintas pikiran akan pamrih ini! Dengan belajar, berusaha dan mempraktekkan tahap demi tahap, langkah demi langkah buddhi-yoga sebagai dasar dari semua yoga-yoga lainnya, seseorang harus hidup di dunia ini dengan segala kewajiban-kcwajibannya, dengan segala efek dan aspek dari kewajiban, perbuatan, pekerjaan dan aksi ini, bukannya melarikan diri dari semua aspek kehidupan yang kita hadapi ini dengan berbagai alasan, misalnya berdosa atau sukar melakukan sesuatu. Semua alasan-alasan yang dicari untuk menghindar dari aksi-aksi yang positif dan sesuai dengan kewajiban adalah kebodohan yang amat sangat. Bekerjalah, berbuatlah, berkarmalah, beraksilah, semuanya dengan dasar kewajiban kita, memakai istilah agama Islam, berdasarkan ibadah kita kepada Yang Maha Kuasa, dan serahkan hasilnya secara total dan murni kepadaNya semata. Dengan demikian bersihlah karma kita dari ikatan-ikatan duniawi ini. Sekali lagi, bersatulah dengan Yang Maha Esa dalam tekad, iman, jiwa dan kesadaran!
58. Berpikir akan Aku, maka dikau akan mengatasi semua rintangan-rintangan dengan karuniaKu. Tetapi kalau terdorong rasa egoisme dikau tak mau mendengarkan Aku, maka dikau akan binasa.
Sang Jiwa harus bermeditasi kepada Sang Kreshna dan melupakan pikiran akan kepentingan diri-pribadinya sendiri. Seseorang yang telah membunuh rasa egonya, akan mendapatkan bimbingan Sang Kreshna ke arah sukses spiritual. Tetapi seseorang yang karena hanya mementingkan egonya dan tak mau acuh kepada ajaran-ajaran Sang Kreshna akan binasa. Jadi tinggal memilih sendiri keselamatan atau kehancuran. Kalau kita menginginkan kehancuran maka percayalah diri-sendiri dan ikutilah segala kemauan diri ini. Kita bisa saja menentang yang Maha Esa, tetapi tidak mungkin menentang kehendakNya. Sekali menentangNya, maka jatuh, hancur dan binasalah kita, dalam arti masuk ke dalam lingkaran setan kelahiran dan kematian yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya.
Seandainya secara salah kita mengidentifikasi diri kita dengan badan dan pikiran kita, dan hanya tergantung pada “ego” kita, (dan berpikir bahwa kitalah pelaku setiap tindakan) atau pun yang ada disekitar kita berdasarkan ego kita pribadi, maka kita pasti akan jatuh. Dengan demikian kita akan jauh dari Yang Maha Esa, kalau kita makin jauh maka kita akan bertambah kotor dan penuh dengan polusi duniawi, dan hancurlah kita kemudian jadinya. Biasanya rasa kesombongan, ego dan kebesaran kita akan diri kita ini akan hancur dahulu sebelum kita sendiri kemudian menyusul hancur. Tetapi bergandengan tangan dengan Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka tujuan dan sukses pasti akan tercapai. Dengan kata lain, kejatuhan sang jiwa kita adalah karena tidak patuhnya, karena pertentangan kita dengan kehendakNya. Dalam perjalanan atau evolusi hidupnya Sang Jiwa ini lalu menjadi cacat dan cemar, dan inilah yang disebut kehancuran dan kejatuhan Sang Jiwa ini ke dalam kegelapan.
59. Kalau bertahan dalam egoisme, dikau berpikir, “Aku tak akan berperang,” maka ketahuilah bahwa keputusanmu itu sia-sia saja. Alam (pembawaan dan takdir) akan memaksamu untuk bertindak!
60. Oh Arjuna, terikat oleh tindakan-tindakanmu sendiri, lahir dari sifatmu sendiri. Hal-hal yang karena kekurang-sadaranmu tidak ingin kau lakukan, tanpa daya akan kau lakukan juga.
Seandainya Arjuna yang berstatus kshatriya ini tidak ingin berperang karena rasa egonya yang salah tidak menginginkan ia berperang. Tetapi tanpa akan disadarinya segala naluri alaminya, sifat dan pembawaannya beserta takdir yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa akan memaksanya untuk bertindak dan berperang demi kelangsungan hidupnya atau demi alasan-alasan lainnya. Semua tindakan ini sebenarnya berdasarkan akan karma-karma yang kita buat sendiri pada kelahiran-kelahiran yang lalu. Jalan yang paling benar secara spiritual dan kejiwaan adalah dengan mempersembahkan secara tulus dan penuh kesadaran jivva-raga kita kembali kepada Yang Maha Esa. Lalu karma-karma kita secara tahap demi tahap akan menyesuaikan diri dan berubah karakternya menjadi penuh dengan dedikasi dan kesetiaan demi Yang Maha Kuasa. Bahkan seorang yogipun tak akan bisa berubah sekaligus, semua atau setiap orang harus melalui tahap penyerahan total kepadaNya dulu. Ada suatu hal yang tak dapat kita perkirakan, yaitu episode-episode yang akan terjadi dalam perjalanan hidup kita ini, bahkan setiap hari kita jumpai kisah-kisah yang penuh dengan pengalaman yang unik, dan semua itu bisa saja jauh dari perkiraan dan rencana kita yang sudah matang. Bahkan sering kita melakukan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan dulunya, bahkan sering sekali kita melakukan hal-hal tanpa kesadaran; sering sekali bahkan secara suka-rela, sering juga tanpa daya dan terpaksa, hal-hal ini semuanya ada yang bertentangan dengan diri kita, ada yang selaras, ada yang setelah dilakukan menimbulkan sesal, ada yang setelah dilakukan secara terpaksa tetapi kemudian mendatangkan suatu kesenangan tersendiri. Sebenarnya tanpa kesadaran kita, semua ini telah diatur dan tercipta sewaktu kita sendiri mulai tercipta di dunia ini bahkan mungkin sebelumnya. Seperti wayang atau pemain sandiwara kita ini sudah diatur cara bermainnya oleh sang dalang dan sutradaranya, mau tak mau kita harus memainkan peranan kita masing-masing, karena itulah karma-karma kita yang berjalan di bawah kuasa Sang Prakriti.
61. Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati (jiwa) setiap makhluk, oh Arjuna, mengakibatkan mereka terputar oleh Sang Maya (kekuatanNya), ibarat makhluk-makhluk ini diletakkan di atas suatu alat (yang berputar).
Sebenarnya semua yang kita berbuat adalah perbuatan atau kehendak Yang Maha Esa itu sendiri yang bersemayam di dalam jiwa kita dan dalam jiwa setiap makhluk lainnya. Ia lah yang ‘membolak-balikkan” kita tanpa kita bisa berdaya atau menentang kehendakNya sedikitpun, dan alat pemutar ini adalah Sang Maya (ilusi, tenaga alami, dan juga kekuatanNya). Sering alat-pemutar ini disebut juga ibarat gangsing oleh penterjemah sloka ini di versi-versi lain dari Bhagavat Gita). Yang Maha Esa adalah ibarat seorang dalang dalam pertunjukan, Yang Mengatur segala-galanya baik segi kostum, tata-ruang, penampilan dan semua gerak-gerik dan dialog kita. Sedangkan motor penggerak atau alat penggerak dibalik semua itu adalah Ia juga dalam benluk kekuatannya, yaitu Sang Maya yang diciptakanNya Sendiri; tanpa Sang Maya tidak akan ada kekacauan dan kebaikan di dunia ini. Sang Maya ini dengan kehendakNya membuat kita “menang, berlari, jatuh-bangun, tunggang-langgang, terbuai, dan lain sebagainya.
Yang Maha Esa ini, oh manusia, Yang Menentukan seseorang harus berperang, berjuang, dan melawan kegelapan, kezaliman dan kekurangan pengetahuan kita. Prakriti memberikan kepada setiap makhluk, manusia dan benda peranan-peranan tertentu dalam kehidupan kita ini, tetapi semua itu juga diikuti oleh ikatan-ikatan duniawi, jadi mau tak mau harus bertindak, berbuat dan beraksi sesuai dengan pola dari Sang Prakriti ini (kekuatanNya).
Di alam semesta ini yang merupakan suatu roda dari Sang Waktu, maka Yang Maha Kuasa telah menggariskan atau merencanakan setiap karma bagi setiap makhluk-makhluk ciptaanNya yang harus dilaksanakan oleh makhluk-makhluk ini. Jadi setiap manusia dan makhluk dan benda harus berputar atau berfungsi ibarat di atas suatu alat pemutar pembuat keramik, dan sewaktu diputar ini maka keramiknya atau tanah-liat yang akan dijadikan benda keramik inipun dipoles dan dibentuk sesuai dengan kehendak dan cita-rasa sang pembuat keramik. Dan dalam proses pembuatan keramik ini, tentu saja tidak semua keramik ini akan terbentuk dengan sempurna atau sama. Ada yang cacat, dan ada juga yang pecah berantakan, tetapi banyak juga yang cantik dan sempurna bentuknya. Jadi dengan kata lain, tidak ada suatu kejadian atau nasib atau takdir yang kebetulan sifatnya atau penuh dengan “seandainya,” yang ada hanyalah Yang Maha Esa dan semua rencana-rencanaNya, tidak lebih dan tidak kurang!
62. Berlarilah mencari perlindungan di dalamNya dengan segenap jiwa-ragamu, oh Arjuna! Dengan karuniaNya dikau akan mendapatkan Kedamaian Yang Agung — Tempat Tinggal Yang Abadi.
Sang Kreshna Yang Maha Bijaksana setelah mengajarkan rahasia yang amat suci dan agung sifat ini, masih saja bersifat amat demokratis dan tidak mau menang sendiri atau memaksakan ajaran-ajaran ini kepada Arjuna atau kita semua. Malahan Ia menganjurkan agar semua ajaran dan wejangan ini dipelajari dan direnungkan dulu, dengan kata lain, kita semua diberikan kebebasan olehNya untuk bertindak atau memutuskan apa kita ingin mengikuti semua ajaran-ajaran ini secara semestinya, atau ingin bebas beritikad sesuai dengan selera kita sendiri.
Pengetahuan tentang kesadaran atau pencapaian Sang Brahman oleh manusia melalui tindakan atau perbuatan tanpa pamrih secara total adalah sebuah rahasia atau misteri yang sifatnya lebih dari rahasia itu sendiri, apapun bentuk rahasia itu. Rahasia yang lainnya adalah bahwa Sang Kreshna, Yang Maha Esa itu, adalah monitor yang bersemayam di dalam diri setiap makhluk, yang sebenarnya menyelenggarakan dan yang dengan kekuatanNya (Sang Maya) mcmbuat kita bertindak, berbuat, bekerja, beraksi dan “menari-nari” tanpa daya di panggung dunia ini. Maka berlindunglah selalu kepadaNya semata, kepada Yang Maha Esa, kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kebijaksanaan ini amat jelas sifatnya, terserah kepada kita semua mau mengikuti semua ajaran-ajaran kebijaksanaan ini dan mengamalkan kepada sesama kita dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih atau mengikuti kehendak pribadi kita sendiri. Yang Maha Esa jelas sifat dan pendirianNya, yaitu amat demokratis dan tidak memaksa. Semua ini tentunya kembali lagi kepada kita untuk direnungkan dan dijalani.
63. Demikianlah ilmu pengetahuan yang paling rahasia dari semua mistik, telah Ku-ajarkan kepadamu; Setelah mempertimbangkan semua ini sepenuhnya, bertindaklah seperti yang engkau kehendaki.
Setelah sekian banyak ajaran yang telah diberikan Kreshna kepada Arjuna, hingga saat ini. Dia sepenuhnya menyerahkan segala keputusan akhir di tangan Arjuna sendiri, yang bebas memilih dan menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya. Disini Arjuna harus menemukan jati dirinya terlebih dahulu agar dapat menentukan arah yang tepat dan benar bagi penentuan selanjutnya. Ajaran dari Sri Kreshna ini bukanlah indoktrinasi dan memberikan kebebasan penuh kepada siswa untuk mempergunakan penalaran dan kemampuan pemahamannya dalam mengambil keputusan akhir.
64. Dengarkanlah lagi kata-kataKu yang agung, yang paling rahasia sifatnya dibandingkan semuanya. Dikau adalah yang amat Kukasihi, maka akan Kukatakan kepadamu demi kebaikanmu.
Sebenarnya sabda atau wejangan-wejangan Sang Kreshna adalah “sabda-sabda nan agung” sifatnya, yang menjadi intisari dari Bhagavat Gita, intisari dari yoga atau ilmu pengetahuan yang sejati.
65. Pusatkanlah pikiranmu padaKu; berdedikasilah kepadaKu; berkorbanlah demi Aku; sujudkanlah dirimu di hadapanKu. Maka dikau dengan demikian akan datang kepadaKu. Aku menjamin dikau dengan kebenaranKu; dikau adalah kesayanganKu!
Arjuna adalah kesayangan Sang Kreshna, maka diturunkanlah ajaran mengenai bhakti yang amat murni sifatnya ini kepadanya. Sang Kreshna atau Yang Maha Esa pun menyayangi kita semua, dan diturunkanlah ajaran Bhagavat Gita kepada kita semuanya, maka dengan memberikan segenap jiwa-raga kita secara total kepadaNya, dengan mencintai dan mengasihiNya, memujaNya, selalu mengingatNya, tunduk dan bersujud selalu kepadaNya bekerja untukNya semata apapun jenis pekerjaan itu tanpa pamrih, maka kita semua akan menemukanNya, menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan dari segala bentuk kehidupan dan tujuan kehidupan ini, kehidupan kita semua ini. Om Tat Sat.
66. Serahkanlah semua kewajiban, datanglah kepadaKu semata untuk berlindung. Janganlah bersedih! Akan Kubebaskan dikau dari semua dosa-dosa.
Sloka ini dianggap sebagai sloka yang amat penting dalam Bhagavat Gita, dan merupakan suatu ungkapan dan ajaran yang dianggap amat rahasia sekaligus penuh dengan kasih-sayang Yang Maha Esa yang tak terbatas. Ajaran atau wejangan ini dianggap sebagai suatu kebijaksanaan yang amat dalam artinya dan menjadi patokan yang amat disegani dan dihormati oleh umat Hindu yang suci semenjak ribuan tahun yang silam di India dan di mana saja agama Hindu ini berkembang. “Serahkan semua kewajiban,” pada sloka ini berarti tanggalkan atau lepaskanlah dharma yang ditekankan atau terdapat di pustaka-pustaka suci kuno untuk sesuatu yang nilainya lebih luhur dan agung, yaitu dengan menjadikan Yang Maha Esa secara tunggal tempat kita berlindung, memohon dan mengabdi, dan memandangnya sebagai Yang mengayom dan Yang Menuntun kita sesuai dengan kehendakNya semata. Jangan membuang-buang waktu untuk mendiskusikan soal kasta yang sudah jelas maksudnya, yaitu pembagian kerja dan bukan perbedaan status atau diskriminasi. Jangan membuang-buang waktu yang berharga dengan melakukan tradisi dan upacara-upacara yang membingungkan dan membuang-buang energi, tetapi langsung saja menuju ke suatu perbuatan nyata yang hakiki dan sejati sifatnya, yang tanpa pamrih demi dan untuk Yang Maha Esa semata, dan bukan demi kepuasan mata, kepuasan jiwa atau indra-indra dan pikiran pribadi kita. Janganlah menerapkan kewajiban-kewajiban atau instruksi-instruksi dalam dharma-shastra kita secara ngawur dan salah, secara metafisik dan etika belaka, tetapi lakukanlah secara murni sesuai dengan sabda-sabda Sang Kreshna, Tuhan dari semua dewa-dewa dan kekuatan-kekuatan di alam semesta ini. Semua kewajiban dan instruksi yang terdapat di dalam dharma-shastra ini akan hilang nilai dan artinya sekali seseorang sudah melakukan bhakti yang luhur dan tulus kepada Yang Maha Esa secara langsung.
Seorang jignasu (pencari kebenaran) harus menyerahkan secara total, jiwa dan raganya bagi Yang Maha Esa, dan Yang Maha Esa pasti akan membebaskannya dari segala dosa-dosa dan keterbatasannya, dari kekurang-pengetahuannya dan dari semua segi negatifnya. Ini adalah janji tulus Sang Kreshna, Yang Maha Esa, kepada kita semua dan ini menunjukkan kasihNya Yang Agung dan Suci. Rahasia ke Tuhan Yang Maha Suci adalah bhakti yang tulus dan tanpa pamrih, tanpa benci, tanpa keinginan duniawi, tetapi hanya demi dan untuk Ia semata. Terjadilah kehendakNya. Om Tat Sat.
Seseorang yang dedikasinya kepada Yang Maha Esa masih dalam taraf yang belum matang, sewaktu bertindak sesuatu akan menganalisa dan mengkonfirmasikan setiap tindakan dan efeknya secara mental, fisik, moral, kewajiban, hukum, kaidah, kegunaan, bahkan dari segi spiritual juga akan diperhitungkan olehnya. Tetapi sekali ia berjalan dan berdedikasi secara tulus, tanpa pamrih dan dengan kesadaran yang matang, maka semua unsur, kaidah, dan nilai-nilai kewajibannya akan sirna, dan kemudian hanya timbul satu kesadaran Ilahi yang amat sukar diterangkan dengan kata-kata atau bahasa awam. Kesadaran ini bentuknya amat spiritual dan orientasinya hanya Yang Maha Esa semata. Di sini semua yang dikerjakan, diperbuat dan setiap aksi akan menjadi ibadah atau dedikasi yang amat tulus sifatnya dan setiap bentuk perbuatan pemuja ini akan sinkron dengan kehendakNya, dan inilah misteri dari kehendakNya, yang hanya bisa dimengerti secara spiritual dan duniawi oleh pemuja itu berkat karuniaNya juga. Suatu bentuk pengalaman atau kehidupan yang sukar dapat diterangkan dengan logika duniawi. Maka seyogyanyalah jangan menjadikan diri anda sebagai budak dari tradisi, kewajiban yang belum tentu positif nilainya, atau sesuatu tindakan yang nampaknya positif berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Ini bukan wejangan sesat atau ajaran Sang Kreshna yang salah, tetapi bhakti yang tulus kepada Yang Maha Esa memang akan menimbulkan semacam prema (kasih-Ilahi) yang tak terbatas agung dan suci yang penuh dengan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang sukar dijangkau dengan logika duniawi, dan sukar diterangkan dengan kata-kata biasa, dan kebijaksanaan atau kesadaran Ilahi ini berada di atas semua kebaikan dan keburukan duniawi. Tanggalkanlah semua baju-baju duniawi anda, dan secara “telanjang-bulat” lepaslah dari nafsu-nafsu dan keinginan. Sambutlah Yang Maha Esa dengan bhakti yang tulus, berlindunglah di dalamNya dan selalulah berdoa “terjadilah kehendakNya.” Inilah intisari ajaran Bhagavat Gita yang agung dan suci ini. Aliran Ramanuja di India menyimpulkan sloka 66 ini sebagai intisari atau klimak dari ajaran Bhagavat Gita. Bekerja, bertindak dan berbuat suatu apapun; misalnya hal-hal yang dianggap terbaik dan suci, tetapi demi Yang Maha Esa semata dan tanpa harapan akan imbalan, maka perbuatan ini akan dilindungi oleh Yang Maha Esa dan sang pemujanya akan diselamatkan dari segala mara bahaya. Tetapi kalau sang pemuja sebaliknya berpikir bahwa semua tindakan tanpa pamrih ini malahan akan melepaskannya dari mara-bahaya dan akan dilindungi oleh Yang Maha Esa, maka pikiran semacam ini tidak murni lagi karena sudah terkena polusi dari pamrih itu sendiri. Ingat secercah harapan sekecil apapun merupakan tanda bahwa dedikasi itu sudah tidak murni lagi. “Terjadilah kehendakNya,” apapun itu! Baik yang terlihat negatif maupun positif, Yang Maha Esa yang tahu apakah hasil dan efek yang diberikannya kepada seseorang itu negatif atau positif. Seorang yang bersatu denganNya secara sejati akan mendapatkan juga pengetahuan ini, dan ia akan selalu bahagia dengan apapun yang dibcrikan oleh Yang Maha Esa kepadanya. Om Tat Sat.
67. Jangan sekali-kali dikau bicarakan ajaran ini kepada seseorang yang tidak berdisiplin secara spiritual dalam hidupnya, juga tidak kepada seseorang yang tak memiliki dedikasi, juga tidak kepada seseorang yang tidak ingin mendengarkannya, juga tidak kepada yang menjelek-jelekkan Aku.
Kebenaran yang sejati ini jangan diajarkan atau dibicarakan dengan mereka-mereka yang hidupnya penuh dengan kemewahan dan kenikmatan duniawi, yang sudah terbius oleh semua unsur duniawi ini juga tidak kepada yang tak memiliki dedikasi atau ibadah kepadaNya, atau kepada mereka-mereka yang tak mau melakukan disiplin-disiplin spiritual seperti puasa, pemujaan, sembahyang, meditasi dan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya yang berorientasi kepada Yang Maha Esa, atau mereka-mereka yang tidak mau memikirkan sesamanya. Jangan juga ajarkan Bhagavat Gita kepada orang-orang yang anti-Tuhan dan yang senang dan gemar menjelek-jelekkan Tuhan Yang Maha Esa. Juga jangan ajarkan Bhagavat Gita kepada mereka yang nafsu sensualnya terlalu besar, atau mereka-mereka yang selalu mencari-cari kesalahan dalam setiap agama dan ajaran-ajaran suci lainnya. Karena ini sama saja meletakkan sebutir mutiara yang berharga dihadapan seekor babi, yang hanya senang makan kotoran dan tidak sadar atau tahu akan nilai mutiara ini.
Ajarkanlah Bhagavat Gita kepada mereka yang memperlihatkan dedikasi yang tinggi kepadaNya, yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik bagi sesamanya, yang berdisiplin secara spiritual, karena orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ini akan salah mengerti akan ajaran-ajaran Bhagavat Gita, dan menyalah gunakannya. Jadi lebih baik tidak diajarkan, karena malahan akan menimbulkan kekacauan dan kebatilan daripada kebaikan dan kebenaran.
68. Seseorang yang membukakan (menjelaskan) rahasia agung ini kepada pemuja-pemujaKu, memperlihatkan dedikasi yang tertinggi kepadaKu – ia, tanpa diragukan, akan datang kepadaKu.
69. Juga tak ada di antara manusia yang lebih tinggi dedikasinya kepadaKu selain ia. Juga tak akan ada orang lain yang lebih Kukasihi di bumi ini selain ia.
Seseorang yang dengan bakti dan dedikasi yang tulus mengajarkan Bhagavat Gita kepada yang lain-lainnya adalah seorang manusia yang amat dikasihi oleh Sang Kreshna, oleh Yang Maha Esa, demikian sabda Sang Kreshna disloka-sloka di atas, karena orang ini membantu orang lain untuk menyeberangi kehidupan (sansara) ini ke Tujuan Nan Abadi, Tempat Tinggal Kita Yang Selama-lamanya. Om Tat Sat.
70. Dan seseorang yang mempelajari dialog Kita yang suci ini, maka ia akan memujaKu dengan mengorbankan (mempersembahkan) ilmu pengetahuan. Begitulah ketetapanKu.
Mempelajari atau melakukan suatu studi akan Bhagavat Gita secara tulus adalah suatu bentuk pemujaan akan Yang Maha Esa. Barangsiapa mempelajari Bhagavat Gita berarti mempersembahkan suatu persembahan yang tak ternilai harganya bagi Yang Maha Esa. Ini sudah menjadi ketetapan Sang Kreshna, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
71. Dan seseorang yang penuh dengan iman dan tanpa itikad mencemoohkan, walaupun ia hanya mendengarkan saja, ia pun, lepas (dari perbuatan-perbuatan iblis), akan mencapai loka-loka kebenaran nan terang-benderang.
Bahkan seseorang yang tidak mempelajari Bhagavat Gita, dan hanya mendengarkan ajaran-ajaran ini dari mulut orang lain, dapat berubuh menjadi seorang mukta, yaitu yang mendapatkan mukti (kebebasan), selama ia mendengarkannya dengan penuh iman dan kepercayaan penuh tanpa maksud untuk mencemohkan ajaran ini. Tetapi kebebasan yang didapatkan orang ini bukan kebebasan dari lahir dan mati yang berulang-ulang, tetapi kebebasan dari dosa-dosanya, dari perbuatan-perbuatan buruknya — karena dosa-dosa atau perbuatan-perbuatan iblis seseorang adalah hambatan-hambatan yang sukar di jalan bakti atau dedikasi kepada Yang Maha Esa. Sekali terbebas dari dosa-dosanya, dan setelah meninggal-dunia, ia akan pergi ke loka-loka di mana tinggal orang-orang yang selama hidupnya penuh dengan tindakan-tindakan yang suci dan murni.
Bhagavat Gita adalah salah satu karya Ilahi yang berbentuk amat spiritual; yang menghancurkan kegelapan bagi seseorang yang tekun dan mau untuk merenungi ajaran-ajaran suci ini. Ajaran ini menghancurkan keragu-raguan seseorang yang beriman kepadaNya. Dengarkanlah pesan-pesan Sang Kreshna dengan penuh penghayatan, dan kalau ada yang kurang di mengerti jangan ragu-ragu untuk bertanya kepada guru atau pada yang mengetahuinya, dan suatu saat yang tepat nanti kita akan sampai ke tujuan hidup ini, yang sebenar-benarnya, yaitu kehidupan yang sejati bersamaNya.
72. Sudahkan dikau dengarkan ini, oh Arjuna, dengan pikiran yang terpusat pada suatu arah? Sudah hancurkah moha (kegelapan) mu yang dikarenakan oleh agnana (kekurangan-pengetahuan), oh Arjuna?
Sang Kreshna kini bertanya kepada Arjuna apakah keragu-raguannya yang dikarenakan oleh kekurang-pengetahuan akan ilmu pengetahuan yang sejati telah pupus kini, setelah mendengarkan wejangan dan sabda-sabda suci Sang Kreshna. Apakah moha (kasih-sayang atau keterikatan duniawinya) akan keluarga dan negaranya telah berganti menjadi kasih-sayang Ilahi Yang Sejati, yang penuh dengan kesadaran sejati akan arti dan hakikat misi kita ke dunia ini?
Berkatalah Arjuna:
73. Hancurlah sudah kegelapanku, telah kudapatkan kesadaran ini melalui karuniaMu, oh Kreshna! Tegarlah daku kini, dan hilanglah sudah keragu-raguanku. Daku akan bertindak sesuai dengan sabda-sabdaMu.
Akhirnya, Arjuna mendapatkan kesadarannya dan siap melakukan sabda-sabda Sang Kreshna, tegarlah sudah jiwa, pikiran dan raganya. Kebenaran Ilahi, kebenaran dan penerangan Sang Atman datang sudah ke dalam dirinya. Hilang sudah kegelapan dari diri dan jiwanya, dan sadarlah Arjuna kini, bahwa Sang Jiwa itu sebenarnya adalah abdi Yang Maha Kuasa yang sifat sejatinya adalah abadi dan tidak bisa binasa. Tempat sebenarnya dari Sang Jiwa di dunia adalah di telapak kaki suci Sang Kreshna, Yang Maha Esa. Dengan kata lain, ini berarti Sang Jiwa seharusnya mengabdi di dunia sesuai dengan kehendakNya dan bukan sesuai dengan kehendak dan nafsu Sang Jiwa sendiri, dan Arjuna pun sadar akhirnya bahwa kebijaksanaan yang tertinggi adalah dalam bentuk penyerahan total jiwa, raga, pikiran dan perbuatan serta hasil perbuatan-perbuatan itu, secara tulus dan tanpa pamrih, kepada Yang Maha Esa semata. Tidak mengherankan kalau di sloka ini Arjuna akhirnya berkata, “Daku akan bertindak sesuai dengan sabda-sabdaMu.”
Begitulah selalu, setelah Sang Jiwa dalam diri kita sadar maka — egoismenya akan hilang, ilusi-ilusi di sekitarnya hilang, kegelapannya tersibak dan keragu-raguannya hancur-lebur, maka — akan terdengarlah sebuah suara kecil dari Yang Maha Esa di dalam dirinya, dan mulailah ia bertindak mengikuti semua instruksi-instruksi dan tuntunan-tuntunanNya, ia menjadi alat atau instrumen Yang Maha Kuasa dengan penuh kesadaran dan penerangan Ilahi penuh dengan ilmu pengetahuan yang sejati.
Berkatalah Sanjaya:
74. Demikianlah telah kudengar dialog yang amat menakjubkan antara Sang Vasudeva (Kreshna) dan Partha (Arjuna) yang berjiwa luhur (besar), dialog ini membuat bulu-bulu romaku berdiri.
Sanjaya yang pada awal Bhagavat Gita memulai kisah Bhagavat Gita kepada Raja Dhritarashtra; telah menceritakan semua yang didengarkan dan yang dilihatnya ini pada sang raja, dan di sloka-sloka berikutnya ia akan mengakhiri kisah
Bhagavat Gita.
75. Dengan kebaikan Vyasa, kudengar rahasia agung ini, Yoga yang diajarkan sendiri oleh Sang Kreshna, Tuhan dari segala ilmu pengetahuan yang bersabda didepanku.
Sanjaya menerangkan kepada raja Dhristarashtra bahwa dengan pertolongan Resi Vyasa yang memberikan Sanjaya penglihatan mistik, maka ia telah mendengarkan sabda-sabda Sang Kreshna kepada Arjuna, tetapi tidak dengan telinga duniawi milik raganya, karena kekuatan mistik Resi Vyasa. Bukan saja Sanjaya mendengarkannya, tetapi ia pun bertekad untuk mempelajari dialog suci ini. Sang raja sebaliknya akan menderita karena masih penuh dengan itikad-itikad jahat.
76. Mengingat-ingat dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang menakjubkan dan suci ini, oh raja. Aku gemetar dalam kebahagiaan, lagi dan lagi!
Sanjaya sendiri yang mendengar dan melihat dari jauh tak dapat melupakan dialog suci ini dan raganya berulang-ulang gemetar kalau meningat-ingat lagi akan apa saja yang ia saksikan dan dengar. Sebaliknya raja Dhritarashta, ayah para Kaurawa tidak nampak tertarik akan ajaran-ajaran suci Sang Kreshna ini, karena ia lebih mementingkan keluarga dan putra-putranya. Sanjaya di lain pihak akan bertambah terus keyakinannya terhadap Sang Kreshna dan ajaran-ajaranNya.
77. Teringat, dan teringat juga, bentuk yang menakjubkan dari Sang Kreshna, besar takjubku, oh raja, dan aku gemetar dengan kebahagiaan, lagi dan lagi!
78. Di mana hadir Sang Kreshna, Tuhan dari ilmu pengetahuan, di mana hadir Arjuna, sang pemanah, terjaminlah di sana kemakmuran, kemenangan (kejayaan), kesejahteraan dan neeti (kebenaran atau moralitas).
Sang Kreshna adalah ilmu pengetahuan yang sejati, dan Arjuna adalah energi. Kalau kedua unsur ini bergabung maka terciptalah kemenangan, kejayaan, kesejahteraan, kesentosaan, kemajuan dan kebenaran. Dengan kata lain, Sang Kreshna adalah Sang Para-Atman yang bersemayam di dalam diri kita semua. Arjuna adalah tidak lain dan tidak bukan, kita, manusia di dunia ini. Kalau kedua unsur ini bergabung secara sejati, maka terciptalah kebenaran yang sejati. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini adalah yang kedelapan-belas yang berjudul:
Moksha Sanyasa Atau
llmu Pengetahuan mengenai Pembebasan melalui Penyerahan secara Total
Om Shri Kreshna Arpanam Astu Shubham Bhavantu
Puja-puji bagi Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
Semoga tercipta kebahagiaan di manapun.
Dengan ini berakhirlah Upanishad Bhagavat Gita,
Semoga damailah setiap benda dan makhluk di alam semesta ini.
Om Tat Sat. Om Shanti, Shanti, Shanti. Om Tat Sat.