Sejarah Majapahit 10
Berbicara tentang bangunan air di Majapahit, kita mengenal waduk dan kanal, termasuk di dalamnya kolam dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisa bangunannya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pemerintah kerajaan dan masyarakat Majapahit membuat bangunan-bangunan air tersebut sebagai fungsi pengelolaan air. Kanal dan saluran air dibangun untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk; kolam-kolam berfungsi sebagai tempat penampungan dan penyimpanan air serta pengendali banjir.
Hasil penelitian membuktikan sekurangnya terdapat 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno, Waduk Bauno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton dan Kedung Wulan merupakan waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya d antara Kali Gunting disebelah barat dan Kali Brangkal di sebelah timur. Lima waduk yang pertama masih dapat ditemukan, namun waduk Kedung Wulan tidak terlihat lagi sisa-sisa bangunarinya, baik pada foto Udara maupun di lapangan.
Waduk Baureno adalah waduk yang terbesar. Bendungannya dikenal dengan sebutañ Candi Lima. Waduk ini terletak 0,5 km dan pertemuan Kali Boro dengan Kali Pikatan membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang cukup besar ini, pada sisi barat dahulu terdapat Waduk Dornas. Tampaknya palung Kali Brangkal di desa Kedungrupit, sebelum mencapai Waduk Domas, diperdalam untuk memperlancar aliran sungai sehingga ketika musim hujan tiba air yang melimpah dapat dikendalikan dan tidak meluap menggenangi kota Majapahit. Di tempat ini lebar sungai hanya 10 meter dan tebingnya yang curam jelas merupakan buatan manusia.
Waduk Kumitir, yang sekarang dikenal penduduk sebagai Rawa Kumitir, merupakan daerah yang lebih rendah di antara daerah pesawahan yang luas yang terletak di sebelah barat Waduk Kumitir berhasil menemukan susunan bata yang diperkirakan merupakan sisa tanggul waduk tersebut.
Dan Waduk Baureno tampak sebuah saluran air yang mengalir masuk ke sebelah tenggara Waduk Kumitir. Saluran air lainnya mengalirkan air dan bagian utara Waduk Kumitir ke aráh barat laut menuju sebuah cekungan alamiah yang tidak terlalu besar, disebut Waduk Kraton, letaknya di utara Gapura ajangratu. Waduk yang terakhir adalah Waduk Temon yang letaknya di Selatan Waduk Kraton, di barat daya Waduk Kumitir. Di tempat ini sekarang banyak ditemukan mata air. Di samping waduk-waduk, di Trowulan terdapat tiga buah kolam buatan yang terletak berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder dan Balong Dowo, Kolam Segaran memperoteh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Di utara Segaran ditemukan saluran lainnya yang mengalirkan air keluar dari Segaran. Balong Dowo saat ini merupakan rawa yang ditumbuhi rumput liar, terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal dan bata-bata besar di keempat sisinya. Sekarang merupakan peninggalan bangunan air yang terlibat paling monumental di kota. Majapahit.
Kolam Segaran untuk pertama kalinya ditemukan oleh Maclaine Pont pada tahun 1926 yang ketika itu sedang menekuni pencarian reruntuhan kota Majapahit. Kolam ini berukuran panjang 375 meter, lebar 175 meter, dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timur laut – barat daya. Dinding-dindingnya dibangun dari batu-bata yang direkatkan tanpa bahan perekat dengan cara menggosok pemukaan bata satu sama lain hingga rekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk ke kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar yang menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder. Karena ada saluran keluar dan saluran masuk, maka masuk akal jika kolam Segaran berfungsi sebagai waduk penampungan dari satu sistem irigasi. Para ahli menduga bahwa kolam Segaran tidak lain adalah “telaga” seperti yang disebutkan dalam kitab Nagarakrtagama Pupuh 8 : 5.
Keberadaan waduk-waduk di sekitar kota Majapahit telah diketahui sejak tahun 1924, tetapi baru pada tahun 1970-an, dari foto udara yang dibuat di Situs Trowulan dan sekitarnya, diketahui dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Di samping itu ada pula jalur-jalur yang agak menyerong. Lebar jalur-jalur tersebut bervariasi, umumnya antara 35 – 45 meter, tetapi ada pula yang hanya 12 meter dan ada yang mencapai 94 meter. Perbedaan lebar ini disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini berkenaan dengan pertanian dan pembuatan bata yang cenderung mengikis tanggul-tanggul kanal tersebut atau membuat jalur barru yang polanya sama dengan kanal-kanal yang sudah ada (utara-selatan atau barat-timur). Melihat kegiatan masyarakat masa kini kanal-kanal tersebut dahulu tentunya tidak selebar yang terlihat sekarang.
Kanal-kanal ini di daerah pemukiman terlihat jelas sebagai daerah yang lebih rendah dan merupakan daerah pesawahan. Pengeboran yang pernah dilakukan pada sejumlah kanal memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sampai sedalam empat meter. Hal ini menunjukkan bahwa jalur-jalur tersebut dahulu jauh lebih dalam dari sekarang dan dialiri oleh air. Di samping itu, di daerah yang padat temuan arkeologinya, yang diperkirakan sebagai pusat kota, pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter, yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul. Pada waktu yang lalu kedua tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul bata. Mungkin tidak semua kanal di situs ini diberi tanggul, hanya pada lokasi-lokasi tertentu yang dianggap penting untuk diperkuat.
Kanal-kanal ini ada yang ujungnya berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting. Sekurang-kurangnya tiga kanal mempunyai ujung yang berakhir di Kali Kepiting, di selatan kota Majapahit. Kali kepiting ini memperoleh airnya dari Waduk Temon.
Kanal. waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di Trowulan gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan. Ukurannya yang cukup besar memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah. Di samping itu, ditemukan pula pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.
Jelaslah bahwa ada kaitan yang erat antara kanal, waduk kuno serta kolam buatan yang ada di kota Majapahit. Bangunan-bangunan air ini dibuat dengan perencanaan yang matang dan tenaga manusia yang tidak sedikit. Tampaknya pembangunan waduk-waduk yang umumnya terletak di timur dan tenggara pusat kota ini selain untuk menampung air untuk irigasi, dimaksudkan juga untuk mengendalikan air pada musim hujan. Waduk-waduk ini dapat menampung luapan air agar pusat kota terhindar dari bahaya banjir. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekedar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil. Hal lain yang dapat diperhitungkan adalah kemungkinan kanal-kanal tersebut mempunyai arti kosmomagis, dimana iklim daerah Trowulan yang kemaraunya lebih panjang akan menjadi lebih sejuk.
Melihat besarnya bangunan-bangunan air ini dapat diperkirakan bahwa pembangunannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur, bukan saja dalam hal pengaturan sumberdaya manusianya, tetapi juga penyediaan logistik bagi para pekerja. Pemeliharaan bangunan-bangunan air serta jaringan pendukungnya juga membutuhkan struktur masyarakat yang teratur dan terkoordinir dengan baik. Skala bangunan air yang ada jelas menunjukkan bahwa masyarakat yang menghasilkannya merupakan masyarakat perkotaan yang maju dan sadar bahwa daerah hunian mereka merupakan daerah rawan banjir, tetapi dapat dikendalikan. Hal ini terbukti dari pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindung serta aman dihuni. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa ada sebagian pemukiman, termasuk Gapura Bajangratu, dibangun di atas lapisan lahar. Hal ini memperlihatkan bahwa perkembangan penduduk telah menyebutkan dibukanya lahan baru bagi pemukiman dan pertanian, termasuk daerah-daerah yang dianggap kurang ideal karena letaknya di bagian yang sering terlanda banjir. Dengan dibangunnya waduk-waduk dan kanal-kanal yang dapat mengendalikan banjir, maka wilayah yang sebelumnya rawan banjir dapat dilindungi dan dikembangkan sebagai tempat pemukiman dan pertanian.
Sampai sekarang baik dari prasasti maupun naskah-naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal ini dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya waduk dan kanal-kanal ini mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro pada tahun 1451 yang membawa lapisan lahar yang tebal yang membobol Waduk Baureno dan mengakibatkan kerusakan pada waduk-waduk lain serta sistern jaringan air yang ada di kota Majapahit. Pada sisa waduk-waduk tersebut terlihat lapisan lahar yang menutupi dasarnya. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhya pernah tertutup oleh lahar. Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan, ditambah dengan munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir menyebabkan kerusakan bangunan-bangunan air di kota Majapahit tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus terjadi mengakibatkan daerah ini tidak layak dihuni dan pertanian tidak lagi menghasilkan panen yang menguntungkan. Hal inilah yang kemungkinan besar mengakibatkan kota Majapahit semakin tidak terawat dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penduduknya.