Sejarah Majapahit 4

Sejarah Majapahit 4
Pasal-pasal dalam kitab Kutaramanawa tersebut tidak bernapaskan kebudayaan luar (India), melainkan khas Jawa Kuno. Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya disebutkan adanya hutang piutang kerbau, sapi dan kuda; pencurian ayam, kambing, domba, kerbau, sapi, anjing dan babi; ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal hutang piutang padi. Walaupun di beberapa bagiannya terdapat konsepkonsep dasar dan kebudayaan India (Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno. Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.
Kitabhukum tersebut sudah pasti disusun dan dihasilkan dalam kondisi masyarakàt yang stabil dan aman. Oleh karena itu, para ahli hukum dapat deñgan tenang berembuk menyusun kitab yang isinya begiturinci dan hampir menjangkau aspek hukurn yang dikenal dalam masanya. Kiranya dapat diasumsikan bahwa kitab hukum Kutaramanawa itu diciptakan dan diundangkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah Majapahit yang aman dan sejahtera.
Karya Sastra yang digubah oleh para pujangga agamawan pun berkembang dengan semarak. Beberapa karya sastera penting yang disusun dalam zaman itu adalah Nagarakrtagama, Arjunawijaya dan Sutasoma. Selain itu, terdapat pula karya sastera yang digubah dalam zaman selanjutnya, tetapi masih mengacu kepada kemegahan Majapahit, misalnya Pararaton. Berdasarkan pengamatan terhadap uraian isi serta penggambaran detail yang termaktub di dalamnya, dapat disimpulkan gambaran “dunia” dan “lingkungan” tempat para penggubah karya sastera itu berada. Kesimpulan ini hanya secara garis besar saja, namun mungkin dapat dijadikan pijakan bagi kajian selanjutnya.
Maka, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar para penggubah karya sastera Jawa Kuno berasal dan lingkungan kaum agamawan. Hal ini disebabkan oleh kemahiran tulis menulis, pengetahuan tentang kaidah susastera, ajaran keagaman telah menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan meiajadi ciri keprofesionalan mereka yang eksklusif. Dalam masa Jawa kuno terdapat istilah khusus untuk mereka yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu wiku. Mereka ada yang mempunyai hubungan akrab dengan istana, bahkan dalam menggubah kakawinnya, raja yang bersemayam di istana itu justru menjadi penaja yang melindungi serta merestui pekerjaan para wik’u yang bertindak sebagai kawi (penggubah kakawin). Dalam hal ini misalnya yang terjadi antara Mpu Prapanca dngan Rajasanagara (Hayam Wuruk) ketika sang mpu menggubah Nagarakrtagama dan juga antara Mpu Tanakung yang menggubah Siwaratri-kalpa dengan Raja Sri Adi Surprabhawa atau Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas yang memerintah di Majapahit antara tahun 1466 – 1474 M.
Berdasarkan data yang ada dapat pula diketahui bahwa terdapat para pujangga yang mandiri, tinggal di luar keraton dan tidak ada hubungan dengañ raja dan kehidupan keraton. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya sastera. Isi karyanya mengungkapkan dunia berbeda dengan para pujangga yang akrab dengan kehidupan istana. Dalam hal ini dunia yang terungkap lewat karya sasteranya adalah kehidupan keagamaan di lingkungan mandala (pendidikan agama). Karya sastera yang mungkin dihasilkan di lingkungan mandala adalah Tantu Pagelaran, Korawasrama dan Bhimaswarga. Selain itu, terdapat pula kehidupan pertapaan individu di pedesaan yang jauh dan keramaian. Para pertapa individual tersebut dapat dihubungkan dengan karya sastera jenis tertentu, misalnya Bhubhuksah-Gagangaking dan Nirarthaprakerta.
Kajian karya sastera masa Majapahit pun sebenarya dapat dibantu dengan penyelidikan terhadap penggambaran relief di candi-candi. Beberapa karya sastera Jawa Kuno ada yang dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi. Tujuan pemahatan karya sastera dalam bentuk relief tersebut antara lain adalah:
  1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
  2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
  3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihias dengan karya sastera misalnya:
  1. Candi induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
  2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
  3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
  4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
  5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tokoh Utama di Pentas Kerajaan
  1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
  2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
  3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihIas dengan karya sastera misalnya:
  1. Candi Induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
  2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
  3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
  4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
  5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tôkoh Utama di Pentas Kerajaan
Kejayaan Majapahit sebenamya tidak terlepas dan penguasa yang sedang memerintah tuasa itu, yaitu Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Sebenamya Hayam Wuruk menikmati hasil jerih payah para penguasa pendahulunya yang diawali dengan pemerintahan pendiri Majapahit, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana, disusul oleh Jayanagara atau Uri Wiralandagopala Sri Wiralandagopala Sri Sundarapandyadewadiswara atau disebut pula Sri Sundarapandyadewanama Maharaja-bhiseka Sri Wisnuwangsa dan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhhani, ibunda Hayam Wuruk, Hayam Wuruk tinggal meneruskan tapak-tapak awal pendakian menuju kejayaan Majapahit sehingga berhasil berada di puncak kemegahan kerajaan tersebut.
Hayam Wuruk tidak akan berhasiljika tidak mampu memerintah dan menjadikan dirinya sebagai raja yang menjadi pusat perhatian dan tumpuan pemujaan seluruh rakyat Majapahit. Hayam Wuruk adalah seorang raja yang piawai dalam pemerintahan. Hal ini terlihat saat Gajah Mada tidak lagi menduduki jabatannya, ia segera mengundang Pithom Nàrendra untuk merundingkan siapa pengganti mahapatih Majapahit tersebut. Meskipun kedudukan Gajah Mada tidak dapat tergantikan oleh seorang tokoh, tugasnya kemudian dibagi-bagikan pada beberapa pejabat. Majapahit dengan Hayam Wuruk masih tetap berdiri hingga tahun 1389 M.
Menurut uraian Nagarakrtagama pupuh 85-91, setiap tahun di istana diadakan: acara pertemuan besar (paseban). Pada waktu itu, seluruh pembesar kerajaan hadir, begitupun para pemimpin negara daerah di Jawa mempersembahkan upeti. Pasar penuh sesak dengan para pengunjung, aneka barang, penganan, kain dan hasil bumi dijajakan. Keraton dihias indah, begitupun bale panangkilan dan witana di wanguntur dihias dengan semarak. Gamelan dimainkan tiada putus-putusnya berbunyi mengiringi upacara di bangunan-bangunan suci dekat istana. Para pendeta Siwa Budha dan kaum Rsi rnembacakan kitab-kitab suci dan mantra untuk keselamatan baginda.
Acara berikutnya adalah arak-arakan mengelilingi kota. Hayam Wuruk tampil dalam kereta indah yang ditarik lembu berhias dan berbusana warna keemasan dengan mahkota kencana. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pendeta yang membacakan sloka berjalan mengikutinya. Rombongan para penguasa negara daerah menyusul beserta permaisurinya dari Pajang, Lasem, Paguhan dan lain-lain. Mereka menaiki kereta diiringi para pejabat dan pengiringnya yang berbeda-beda pekaiannya.
Acara paseban agung dilaksanakan di istana. Acara itu dihadiri oleh para pembesar, mantri, ksatrya, aryya, kepala desa, tamu-tamu dan Nusantara serta para pendeta dan brahmana, pertemuan membicarakan upaya mengenyahkan kemiskinan, kebodohan, kejahatan serta meningkatkan kesejahteraan dan keagungan negara. Selain itu, kitab-kitab peraturan agama dan pemerintahan juga dibacakan.
Dua hari kemudian diadakan perayaan besar di tanah lapang Bubat. Raja berkunjung pula dengan tandu yang dihias disudut-sudutnya dengan bentuk singa diarak dan diiringi para pembesar yang dikagurni rakyat kerajaan. Raja bersemayam di tepi timur lapangan dalarn bangunan besar beratap tumpang menjulang tinggi, di dekatnya terdapat wesma mirip istana yang tiang-tiangnya diukir relief cerita parwa-parwa. Di tepian lainnya, Bubat didirikan panggung-panggung berbeda ukurannya bagi para pembesar yang mau menonton berbagai pertunjukan dan pertandingan. Para pemenangnya akan dijamu oleh baginda raja. Acara setiap hari ditutup dengan menyantap hidangan bersama sambil menyaksikan pertunjukan kesenian.
Perjalanan-perjalanan Rajasanagara ke berbagai daerah juga membawa dampak positif pada din raja. Ia dapat mengetahui keadaan wilayah kekuasaannya di Jawa bagian timur hingga ke pedalamannya. selain itu, rakyat di pedalaman dapat mengetahui kemegahan rombongan raja, pasukan pengiring raja dan wajah rajanya sendiri yang bagaikan dewata menjelma ke dunia. Perhatikan urajan Nagarakrtagama tentang salah situ episode perjalanan Hayam Wuruk ketika pulang dan keliling wilayah Lumajang dalam tahun 1359 M.
Naragakrtagama menyatakan:
“tuhun i dhatong nire pasuruhan manimpang angidul ri kapanangan, anuluy atut dhamargga madulur tikang ratha dhateng ring andoh wawang, muwah i kedhu peluk lawan i hambal antya nikang pradesenitung, jhathiti ri sanghasaripura rajadharma dinunung narendramgil” (Nag. 3: 1).
(Sampai di Pasuruhan, ia membelok ke selatan menuju Kapanyangan, kemudian mengikuti jalanraya, rombogan bersama-sama tiba di Andoh Wawang, serta Kedhung Peluk dan Hambal, desa terakhir yang dicatat, raja langsung menuju tempat tinggalnya di Istana Singhasari)